Februari 08, 2012

Getar Suara Sang Matahari, KH. Idris Jauhari



sore itu, terrebah tubuh yang sepanjang rekam jejak kenanganku masih kuabadikan sosok figur yang kuat berkharisma. aku masih belum tuntas meredakan ketidakpercayaanku. ada dua tanda tanya besar dan tanda seru menyembul keluar, mengambang di atas kepalaku. semua gegarit ilmu, kabar berita tentang atau berasal dari beliau pasti segera aku mantapkan hati mempercayainya. tapi bila yang tersiar kabar bahwa beliau dibekap sakit, rasa-rasanya tidak ada sejengkal ruang dalam hatiku yang rela menerima kehadiran berita itu.


sosok beliau yang kukagumi memang telah menancapkan kesan dalam diriku sebagai sosok kuat. beliau tidak pernah mau berkompromi dengan "ilham tubuh" yang mengisyaratkan tubuhnya untuk istirahat. logika medis mesti beliau patahkan. beliau mampu mengatasi tubuhnya dengan segenap pertanda yang datang menghampirinya. beliau tidak pernah ramah dengan tamu-tamu "rasa sakit". aroma kedatangan mereka yang memang telah tercium bermil-mil jauhnya sudah mampu beliau kibas-kibaskan dengan kepingan hatinya yang teguh. hingga sekali mereka nampak ujung batang hidungnya, serta merta beliau mengusirnya. "aku tidak pernah mempersilahkan rasa sakit bertamu dalam diriku!! maka bila ia nampak jelas "merayuku" berusaha meyakinkan diriku untuk istirahat dari aktivitas yang menuntut kehadiranku maka kuserukan dengan seyakin-yakinnya bahwa, AKU TIDAK SAKIT!!, teriak beliau kala kuberkalang dedebu ilmu beliau.



kalau boleh mengandaikan. minimal aku diijinkan memakai teori millahnya Siddharta Gautama (dia tidak pernah mengklaim dirinya Tuhan). maka aku berani katakan, Umar ibnu al-Khattab telah bereinkarnasi ke dalam diri beliau. pribadinya tegas setegas umar. keras sekeras umar. disiplin sedisplin umar. berkemauan kuat sekuat umat. hampir tidak ada kepribadian umar yang berselisih dengan beliau. semua yang pernah meletakkan hatinya pada jejak pengajarannya akan sependapat dengan diriku. meski mngkin ada beberapa yang mendebat kengawuran argumenku. tidak apa-apalah. minimal aku mampu membantu menghadirkan kembali ingatan mereka, bukankah tumpahan ribuan santri dalam masjid mesti selalu berderet-deret rapi saat beliau meresonansikn ilmunya?!; tiada satupun mata sembab oleh kantuk kala beliau mengguratkan ilmunya di hati mereka di kala subuh yang dingin?!; bila beliau bergerak, sekurang-kurangnya terompahnya terdengar dari kejauhan maka lapanglah jalan itu, segan santri menjajari langkahnya menyusuri jalan yang sama; jalan depan kediaman beliaupun selalu dijadikan alternati terakhir santri untuk melintas. klo pun toh terpaksa, paling tidak mereka mengambil tepian terjauh dari mulut pintu halaman kediaman beliau. jangan harap ada selontaran suara riuh bila beliau berada di kelas menghadapi santri. suara dehemnya yang sampai duluan sebelum diri beliau muncul di ambang pintu kelas telah cukup mampu membuut seluruh isi kelas senyap. tiada yang menggerakkan mereka. selain kharisma terpancar yang meliputi diri beliau.



KH. Idris Jauhari, yang hanya tamatan KMI Gontor atau bila sekiranya pas dibandingkan dengan ukuran pendidikan formal umum, maka beliau hanya tamatan SMA. meski mungkin ada banyak orang yang salah kira bahwa ada dua kata berkait bersanding di belakang namanya; MA (magister of art, titel S2nya Timur Tengah). dengan kocaknya (walau sebenarnya beliau tidak "bakat" dengan ini dengan wajah kokohnya) beliau berkelakar, "MA saya adalah madura asli!". namun di balik kebersahajaan pendidikannya jangan tanya mengenai kedalaman ilmunya. bila orang belum pernah tahu beliau, pasti penilain diri mereka muncul mendahului diri mereka sendiri; kyahi Idris kayaknya tamatan pendidikan manajerial papan atas; sepertinya mantan Dirut di sebuah korporat berkelas; pasti beliau ini mutakharrij di sebuah jami'ah di timur tengah dg predikat mumtaz (klo boleh ditambah jiddan); bisa jadi, motivator spiritual kenamaan; lulusan terbaik AKABRI karena manna cumlaude kedisiplinannya.



sore itu, di depan kami, terrebah figur yang kami cintai. berita yang telah kutangkap tentang sakit beliau itu ternyata sampai saat ini masih belum mampu mengalahkan kekuatan beliau. aku tidak mendapati jejak-jejak rasa sakit dari raut muka beliau. raut wajah itu masih seperti dulu, kokoh. aura rupa beliau tak sedikitpun sanggup diredupkan oleh deraan siksa sakit. aura itu senantiasa bersinar. mungkin, yang bisa memaksa kebengalan pikiranku adalah selang infus yang tertancap di pergelangan tangan kanan beliau. hanya itu. sisanya, bagai menjenguk raja agung sedang rebah. itu saja. bila toh pun ada suara lirih terbatah dari mulut beliau itu tak lebih dari suara parau khas orang sedang rebah yang baru terjaga dari tidurnya. suara sepenggal-penggal itu tidak kuasa mereduksi ketegaran beliau.



hingga getar suara itu terdengar perlahan:



"aku tahu betapa sibuknya dan jauhnya kalian. namun kalian, anak-anakku, telah berbesar hati berlelah-lelah membawa serta cinta kalian, menghadirkan padaku di ruangan ini. aku ucapkan terima kasih...



sudah empat puluh tahun terhitung sejak tahun 1971 hingga sekarang aku telah membangun, membesarkan, memperjuangkan ma'had kita. dan aku sama sekali tidak pernah sakit selama itu...



bila mungkin menurut Allah hari-hariku di masa yang datang membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi ma'had, ummat, masyarakat, bangsa dan negara, maka aq pinta padaNya untuk sudi memberikan kesembuhan padaku.



tapi bila memang ternyata hari-hariku, masa depanku, tidak membawa dampak apa-apa, tidak mampu menghadirkan kebaikan dan kemanfaan bagi ummat, mayarakat, bangsa dan negara maka lebih baik bagiku memilih meminta padaNya untuk menjemput cintaku menemui diriNya. biarlah aku memohon agar Allah menghentikanku di sini. mencukupkan diriku sampai di titik ini..."



...

Ya Allah, jangan Engkau bergesa mencabut pijar sinar itu

kami masih membutuhkan terangnya

gelap di sini belumlah mengusai terterangi



Ya Allah, genapkan takdirnya

sebagaimana kami masih membutuhkannya

jangan genapkan gelap membekap



Ya Allah, benang-benang sinarMu

telah Engkau gulung satu persatu dari negeri gelap ini

akankah Engkau gulung serta satu yang tersisa

.....





*terima kasih pd saudara2ku yg berpayah2 brsama2 menjenguk beliau: FathorRozy "kepenk", Asy'ady Syahril, Kholid Mubarok, Eroqi Riyadi, Nururroman, Junaidi "kahin" :) and me too... :) bserta seluruh "putera matahari"*

0 komentar:

Posting Komentar