Februari 08, 2012

Risalah Cinta



Pernikahan adalah ibadah. Sedang ibadah yg benar-benar diterima di sisi Allah adalah ibadah yg bnr2 berlandaskan keikhlasan. Selama pernikahan kita belum menyentuh esensi ikhlas, maka, belumlah pantas pernikahan kita disebut ibadah. Kita bisa dikata telah menciderai nilai luhur ibadah bila kita tidak menyertakan ikhlas dalam ritual pernikahan kita.


Tidak ada paksaan dalam pernikahan.Ttidak pula dilegalkan kepura-puraan. Beribadah harus murni berangkat dari hati. Begitu pula pernikahan. Ia harus berangkat dari hatimu. Bukan dari hatinya, bukan hati mereka. Tidak absah bila diberangkatkan dari hati orang lain yang sejatinya bukan hatimu. Pernikahan bukan persekongkolan keluarga demi harap tertentu. Pernikahan bukan pula untuk sekadar menakzimi hati orang tua yang selalu mengatasnamakan bakti orang tua.



Menikah adalah pengejawantahan dari kerelaan hati dari kedua belah pihak. Ttidak boleh tidak. Menikah harus berlandaskan "taraadhin", saling ridho saling rela. bila kerelaan ini belum dipenuhi maka tidak legallah ijab qobul itu, begitu menurut Imam Syafii. Bila tiada rela yang terhela di antara keduanya, maka gugurlah nilai ibadah nikah. Menikah adalah manifestasi dari didihan cinta di antara keduanya. Bila hati belum terdidihkan dengan bara cinta maka tidaklah konstitusional ritual ibadah kita.



Sungguh sangat rapuhlah bila ibadah dibangun dari bata kepura-puraan. Ibadah harus dihindarkan dari ketersengahan hati. Ibadah harus utuh bersinar dari suluh hati kita. Allah terlalu agung untuk dipersembahkan sepaket cinta yang sebenarnya tiada ruh ikhlas di dalamnya. Untuk menjumpai Tuhan, sungguh sangat tidak sopan bila berbusana kemunafikan.



Tragedi cinta Layla dan Majnun mengingatkan perenungan kita. Betapa kokohnya cinta keduanya hingga suatu saat terpisahkan dan dipisahkannyalah hati keduanya yang sebenarnya telah bersenyawa. Hati yang telah bersenyawa terpaksa dan dipaksa harus terpisahkan hanya karena betapa silaunya hati keluarga Layla pada bujukan materi pihak ketiga. Layla menikah dengan hati yang tiada seruangpun pernah singgah dalam hatinya. Layla menikah tanpa sertaan kerelaan hatinya. Ia menikah atas nama kepura-puraan. Sungguh betapa menderitanya Layla, saban hari selalu memperbaharui wajah kepura-puraannya. Sepanjang hari ia musti merias wajahnya dengan kosmetika hiprokisme. Dalam peraduan cintanya, ia memasung hasratnya. Ia menjaga jarak untuk tidak bisa disentuh oleh si penjajah cintanya. Namun bila ia keluar menjumpai orang sekitar, dikenakanlah topeng kebahagiaannya. Ia menyunggingkan senyum yang sejatinya tidak berbanding lurus dengan diagram hatinya. Layla terbenam dalam limbah kemunafikan demi keluarga.



sobatku, Rasulullah pun tiada pernah menganjurkan hegemoni kuasa kita terhadap cinta. Rasul selalu menekankan prinsip tawar pada sang pemilik hati itu. Siapapun dia meski ia berada di bawah kuasa kita. Orang tua harus menanggalkan superioritas keinginannya. Rasul memerintahkan para orang tua untuk memasrahkan putusan cinta itu dari lidah si empunya hati. Putusan itu harus berasal dari suaranya bukan dari kehendak tunggal orang tua. Maka, dalam sebuah riwayat hadisnya, bila ada pinangan, beliau menyuruh ummatnya untuk menanyai trlebih dahulu pada si putri tercinta. Bila ia menolak maka orang tua selayaknya berbesar hati. Bila hanya diam yang didapatkan, maka itulah persetujuannya. sukuutuha jawabuha..



Sobatku, bakti orang tua juga bernilai ibadah. Kemarahan orangtua adalah kemarahanNya, ridhonya tentu ridhoNya pula, begitu jamak kita tahu. Namun, birrul walidain tidak sama dengan itho'il walidain. Birrul walidain (berbuat baik pada orang tua) mutlak dibebankan pada semua anak. Apapun kondisi orang tua hatta terburuk sekalipun kita harus menghormatinya. Walaa taqul lahuma 'uffin, jangan sekali-kali kamu berkata "uhf!" pada mereka. Tapi bila bicara itho'il walidain (kepatuhan pada orang tua), ada opsi di sana. Bahkan essay pun tersedia. Sepanjang orang tua berada di garis itho'illahi wa ithoirRosul (masih mematuhi Allah dan RasulNya) maka kita wajib mengikutinya. Namun bila koridor Allah dan RasulNya diterabas oleh mereka, maka kita diperkenankan tidak mengikuti mereka.



Oleh karenanya, percayakanlah pernikahanmu pada hatimu semata. Pasrahkanlah harmoni cintamu pada kerelaanmu. Perserahdirikanlah hidupmu pada keridhoanmu. Ridhomu adalah nilai intrinsik ibadahmu. Ia adalah esensi sejati hidupmu. sungguh, bila napas, detak jantung, gesture, gerak, sikap, prilaku, tingkah dan segala rancak peristiwa tidak didasarkan pada ridho kita, maka sungguh kita telah menjauhkan diri kita dari harum surga.



Sobatku, surgaNya hanya bisa didiami oleh mereka yang ridho. Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji'i ila robbiki rodhiatan mardhiah, wahai jiwa yang tenang kembalilah pada Tuhanmu dengan RIDHO dan diRIDHOi. bagi hati yang belum ridho, tiada jalan baginya menuju surga. Sang Malaikat Pintu Surgapun bernama RIDWAN, yang -penuh- keRIDHOan.



Sobatku, hanya semata-mata demi keRIDHOanmu dan RIDHO Allah dan RasulNyalah kau menikah.

Semoga kau temukan dia yang melapangkan ridhomu...


0 komentar:

Posting Komentar