Februari 16, 2009

Fajar Kurniawan, Community Development Manager PT. Sampoerna : Sosok Di Belakang Lahirnya Taman Belajar Masyarakat


“Semangat Kita Adalah Bagaimana Membuat (Masyarakat) Lebih Berdaya”


Tahukah anda keberadaan “perpustakaan kampung” TBM (Taman Belajar Masyarakat) dan “perpustakaan mobil keliling” STO (stop over) yang sudah tersebar di dua kota, Surabaya dan Pasuruan, yang sekarang bisa melahirkan Buletin Jendela Pustaka yang ada di tangan anda, berawal dari gagasan pria ramah satu ini.

Pria yang biasa disapa mas fajar ini bergabung dengan perusahaan Sampoerna pada tahun 2005. Sebelum bergabung sebenarnya program serupa yang dikelola oleh Sampoerna telah ada, Program tersebut bernama Program Bimbingan Sampoerna. Namun, masih hanya menggarap segmen anak sekolah. Setelah mas fajar diberi amanah meneruskan program ini, ia segera melakukan terobosan baru. Melalui sentuhan tangannya terjadilah pergeseran arah sasaran program. Program yang telah berdiri tahun 2003 lalu yang awalnya hanya khusus sekolah kini diperluas sasarannya dan sekarang telah eksis di tengah masyarakat. Program yang telah bermetamorfosis menjadi Program Pustaka Sampoerna tersebut akhirnya berhasil mendirikan sepuluh TBM dan mengoperasikan delapan STO di dua kota tersebut.

Satu hal momen paling berat yang dialami bapak berputera tiga ini, adalah kala harus melewati fase transisi dari program yang sebelumnya akrab di sekolah menuju layanan pengabdian ke masyarakat. Karena betapa masih cukup tingginya animo sekolah terhadap kehadiran program ini hingga masih saja beberapa di antaranya “enggan” dilepaskan begitu saja. Kendati pun demikian, pergeseran sasaran tak dapat dielakkan. Dengan berat hati bapak yang mengaku bisa bahasa arab meski hanya sedikit ini, harus konsisten dengan arah kebijakan barunya ini

Untuk menjalankan kebijakan baru ini, awalnya Sampoerna bermitra dengan sebuah yayasan yang juga mengajak kantor arsip dan kepustakaan Surabaya dan Pasuruan. Namun program tersebut berjalan tidak sesuai harapan.

“Ternyata masyarakat membutuhkan pendampingan, membutuhkan orang yang bisa diajak berbagi cerita, untuk curhat dan juga bisa memberikan wawasan baru. Akhirnya kita mencoba memilih YPPI (Yayasan Pengembangan Pustaka Indonesia) untuk menjadi mitra kita, karena selain bertugas teknis ngurusin buku, dia juga memberikan pendampingan kemudian menciptakan inovasi baru berupa pelatihan, penerbitan buku. Itu kan inovasi yang diharapkan. Sebelum dengan YPPI itu semua gak muncul”, urainya menjelaskan.

Bantur. Di desa yang secara geografis berada di daerah Malang Selatan inilah pria tersebut dilahirkan 31 tahun silam. Masa kecil putera dari seorang ayah yang berprofesi sebagai guru ini tak beda jauh dengan masa kecil anak lain seusianya. Selepas SMA, dengan berbekal keyakinan merenda masa depan yang lebih cerah, pria berperawakan tinggi sedang ini menjejakkan kakinya di Bogor guna melanjutkan studinya di IPB (Institut Pertanian Bogor).

Hari-hari di luar bangku kuliahnya banyak diisi dengan menerjuni beragam kegiatan sosial. Hingga perlahan kematangan insting sosialnya berkembang. Setelah meraih S1 di IPB tahun 2000, putra sulung dari dua bersaudara ini bekerja sebagai konsultan di Jakarta lalu bekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit yang bertugas di bidang sosial. Maka jangan heran jika pria enerjik ini dipercaya menduduki posisi Community Development Manager. Posisi yang menangani divisi pendidikan, sosial dan lingkungan di perusahaan Sampoerna. Sebuah bidang yang sangat relevan dengan pengalaman hidupnya selama ini.

“..Semangat kita adalah bagaimana membuat (masyarakat) lebih berdaya (pen; secara pendidikan, ekonomi dan sosial). Hingga bisa mereduksi masalah yang timbul baik illiterasi (buta aksara), kemiskinan dan lain-lain...” ujarnya menuturkan salah satu motivasi program pustakanya.

Menurutnya.lagi, program pustaka ini bisa dikatakan berhasil. Pertama, manakala masyarakat bisa melanjutkan program TBM ini secara mandiri. Karena tak selamanya mereka didampingi dan disusui. Suatu saat mereka pun pasti disapih. Kedua, manakala banyak orang yang berhasil di lingkungan tersebut sebagai hasil akibat dari terinspirasi dengan keberadaan TBM.

Di akhir sesi obrolaannya, pria yang hobi banget baca buku ini memaparkan pandangan dan harapannya. “Kita berharap buletin menjadi sebuah alat untuk mempererat jalinan komunikasi antar TBM, mahasiswa dengan STO ataupun dengan masyarakat secara luas. Yang perlu lagi bahwa itu saja tidak cukup. Harus ada semangat kebersamaan untuk lebih memacu TBM dan STO-nya dalam menjadi pusat aktivitas masyarakat. Karena kalau sudah mengarah ke situ berarti program itu berhasil. Tapi kalau program itu hanya dinikmati beberapa orang, itu-itu saja, berarti program itu gagal. Tapi ketika TBM dan STO menjadi pusat nongkrongnya anak muda, bapak-bapak rapat, pengajian ibu-ibu itu justru adalah keberhasilan. Karena pertama, apresiasi terhadap keberadaan TBM. Kedua, berusaha menghidupkan TBM” begitu pungkasnya.
Read More......

Februari 06, 2009

SENYUM SYNDROME


Hingar bingar pesta pemilu kian menampakkan kemeriahannya. Di sudut-sudut kota semakin banyak bermunculan figur wajah para kontestan. Pose mereka ramai menghiasi ruang strategis kota. Beragam gaya terpampang jelas di baliho. Namun satu yang menarik, ekspresi mereka nyaris tak ada bedanya. Sama-sama menyunggingkan senyum! Baik wanita maupun pria saling berlomba-lomba menunjukkan kebolehan mereka dalam bersenyum. Masa bodoh dengan penilaian “pasar” pemilih tentang senyumnya. Bagi mereka yang penting senyum, senyum, dan senyum.

Beragam senyum yang mereka tawarkan. Ada senyum natural (karena memang pada dasarnya murah senyum, kalee), senyum artifisial rekayasa (sudut bibir ditarik keras ke atas meski terasa kurang pas dengan bibirnya yang pas-pasan), ada senyum sedikit kemalu-maluan, ada pula senyum meyakinkan sok kemanisen serta senyum bimbang tak bisa ditebak mau senyum atau manyun, tak jelas.

Memang seiring dekatnya masa-masa kampanye mendadak banyak orang yang suka tersenyum. Senyum yang dulunya seakan seberat pesawat kini seringan kapas. Tak jarang orang yang tadinya kalau dilihat sepet dipandang tiba-tiba suedepp nian di mata. Orang yang sebelumnya sangat ekonomis banget, mau senyum saja masih harus dihitung untung ruginya kini berani obral senyum. Di mana pun tempat dan suasana selalu tebar pesona, setiap orang yang ditemuinya disuguhi senyum, tak peduli kenal apa tidak. Bahkan kalau bisa mereka mengundang masyarakat hanya untuk unjuk senyum. Senyum seolah-olah menjadi epidemi baru negeri ini.

Sindrom epidemi ini sudah mulai mewabah. Tiba-tiba di seantero negeri dipenuhi orang-orang “pengidap” senyum. Dari tembok kosong, di lengangnya trotoar, di kaca-kaca angkot, nebeng space iklan hingga bergelantungan liar di pohon tak lepas dari foto orang tersenyum. Nyaris tak ada “lahan tidur” yang tak dimencloki sang pengidap senyum.

Banyak jurus jitu yang diperagakan si pesenyum. Dari pendistribusian beribu gambar “photogenic”-nya yang belepotan senyum di stiker, pamflet, kalender maupun dalam bentuk karya kreatif lainnya. Acara pertemuan kejutan tingkat RT/RW hingga acara hiburan besar lainnya yang dikemas begitu apik tak henti-hentinya disusupi orang SKSD (sok kenal sok dekat) yang bertopeng senyum. Bahkan aneka pertemuan nampak seolah-olah bazaar senyum yang menyuguhkan beragam etalase senyum dengan aneka kategori senyum. Baik dari yang kelas “kacangan” hatta yang high quality senyum.

Lain halnya bagi pesenyum yang tergolong kaum elitis. Pesenyum yang memang sedang mengunduh buah “kursi” yang lebih besar, terutama pesenyum yang berkantong lebar. Senyum “bertuahnya” ditebarkan melalui media yang lebih strategis dan bergengsi. Maka tak heran masyarakat saban harinya disuguhi tontonan pengidap senyum di televisi.

Beragam gaya dan warna tingkah lakunya ramai dipertontonkan di televisi. Ada pesenyum yang seakan-akan merasa paling manis sendiri senyumnya, dengan angkuhnya meremehkan pesenyum yang lain –padahal, bukankah sesama pengidap senyum dilarang saling melecehkan-. Hingga ada beberapa yang saling mengklaim senyumnyalah yang paling menarik, saling mengklaim kemajuan yang telah dicapainya musim lalu. Ada juga pesenyum yang lihai mengambil keuntungan di balik perseteruan antar pesenyum, dengan cerdasnya mengekspos dan mengeksploitasi adegan pesenyum yang saling klaim tersebut. Ada pula pesenyum yang nampak seolah-olah kurang percaya diri hingga masih saja menyandingkan figur dan nama besar klannya di setiap eksibisi senyumnya.

Untungnya ada beberapa pesenyum yang masih santun –mudah-mudahan saja begitu-memasang senyumnya, dengan tidak terjebak pada saling menjatuhkan pesenyum lainnya. Malah dengan kata-kata indah penuh bijak mereka tak henti-hentinya menggugah semangat kemajuan dan spirit kemandirian yang kini sulit ditemukan di negeri ini.

Namun terlepas dari keindahan tuturnya, mereka tetap sama saja dengan pesenyum lainnya, sama-sama mengidap senyum musiman ini. Pada dasarnya mereka telah terjangkit epidemi ini. Tak bisa didiagnosa apa faktor penyebab epidemi ini. yang pasti epidemi ini muncul saat negeri sedang mengadakan hajatan pemilu.

Tidak bisa diketahui dengan pasti dari mana asalnya sindrom ini. Hipotesa awal memperkirakan kemungkinan disebabkan oleh sejenis “virus” lokal yang langka adanya hanya di Indonesia. Virus ini memiliki sifat unik, tak bisa terdeteksi dengan mikroskop paling canggih manapun. Seolah tak kasat mata. Para ahli pun hanya bisa mengetahuinya setelah si korban telah memasuki stadium kronis. Barulah dinyatakan bahwa si virus telah menjangkiti korban. Virus ini memiliki masa inkubasi singkat. Perlahan virus berkembang pesat. Grafiknya pun terus menaik hingga mencapai puncaknya pada musim coblos menjelang.

Gejala sindrom ini diawali demam caper (cari perhatian) dengan suhu ambisi kuasa tinggi. Sering juga disertai jantung berdebar-debar (khawati kalah) dengan kejang-kejang kepentingan. Bahkan ada kasus tertentu yang saking napsunya mengalami “muntah-muntah” suap. Sindrom ini kalau tidak segera diatasi bisa memperparah keadaan juga bisa menular secara cepat. Tapi jangan takut, virusnya hanya menular pada kalangan tertentu saja.

Ironisnya, dari sebagian besar para korban nyaris tak ada satu pun yang merasa menderita penyakit ini. meski toh “penyakit” yang diderita sudah masuk stadium akut. Korban, tak lain “pengunduh posisi” tidak sadar bahwa mereka sedang sakit. Mereka tidak merasa dirinya sedang ada “kelainan”. Makanya kemana mana mereka tidak risih menebar senyum. Semakin besar respon masyarakat semakin lebar pulalah senyumnya. Semakin kumat jua pulalah penyakitnya.

Satu hal lagi yang aneh dari fenomena virus ini adalah ketiadaan minat dari pakar untuk mencari anti virusnya. Seolah-olah “penyakit” ini dibiarkan parah begitu saja tanpa adanya upaya bagaimana menanggulanginya. Karena dari pengalaman bertahun-tahun sebelumnya virus ini memiliki karakter yang pasti, masa hidupnya berangsur berkurang bahkan hilang dengan sendirinya setelah berlalunya masa jangkitnya, musim pemilu.

Pasti. Selepas musim perebutan kursi usai, sindrom senyum lenyap seketika. Bak sekedipan mata perilaku tebar senyum, yang biasa dilakukan si “penyakitan” saat turba ke masyarakat untuk merangsang dan menjemput suara, kini tak terlihat. Masyarakat yang sering mereka kunjungi, masyarakat yang acapkali mereka suguhi senyum dengan aneka bingkisan menarik berikut janji-janji menggairahkan mendadak terlupa. Padahal baru saja kemarin mereka beramah tamah mengobral senyum.

Memang benar si penderita telah sembuh dari sindrom senyum. Negeri telah siuman dari teror virus senyum. Namun sayangnya kepergian virus ini menyisakan problema baru. Masyarakat sekali lagi dibuat terperangah. Seiring “buah” kursi yang telah berhasil diunduh dengan galah suara rakyat, si penderita yang telah sembuh kembali terjangkit sindrom lain. Sindrom yang tak kalah ganjilnya. Sindrom amnesia! Bisa lupa segalanya. Lupa senyum yang dijaja kemarin hingga lupa bahwa mereka pun pernah berjanji!
Read More......

Februari 03, 2009

CATATAN PERJALANAN


Dari Belantara Beton Sampai Rimba Pinus

Semangat untuk meningkatkan potensi tulis menulis menggugah para peserta untuk memenuhi undangan panitia. Undangan yang disebar eksklusif hanya untuk kalangan anggota TBM (Taman Belajar Masyarakat) dan STO (Stop Offer) sukses direspon positif oleh seluruh anggota TBM dan STO yang tersebar di Surabaya dan Pasuruan. Secara kalkulatif, Jumlah TBM di masing-masing kota telah berdiri 4 unit. STO masing-masing 5 unit. Jadi, total keseluruhan sudah ada 8 TBM dan 10 STO.

Pelatihan yang mengambil tema Pelatihan Penulisan Media ini diselenggarakan oleh YPPI (Yayasan Pengembangan Pustaka Indonesia) selaku “eksekutor” dan panitia acara dengan PT. HM. Sampoerna sebagai fasilitator sekaligus pemrakarsa ide adanya TBM dan STO. Pelatihan tersebut diikuti oleh sekitar tiga puluhan lebih anggota TBM dan STO. Dengan mengambil tempat di lokasi peristirahatan pegunungan, The Taman Dayu, Pandaan, Pasuruan.
Jumat 12 Desember 2008

Sekitar kurang lebih jam sepuluhan pagi, para peserta mulai berdatangan berkumpul memenuhi lobi graha sampoerna, kompleks Plant Rungkut 1, Rungkut, Surabaya. Lobi yang tadinya lengang, kontan lebih hidup diwarnai suara ibu-ibu, yang memang mayoritas pesertanya berasal dari kaum ibu. Lobi yang tenang dan nyaman, tiba-tiba menjelma ruang “ngrumpi” darurat khas ibu-ibu. Tak ada yang lebih pas kiranya untuk mengisi waktu senggang menanti tibanya mobil penjemput selain “diskusi” kecil-kecilan gaya ibu-ibu. Mulai dari sekedar “say hello-lah”,”how are you-lah” sampai ke guyonan khas mereka.

Tak seberapa lama berselang, dua mobil yang tadi sempat “dirasani” seketika menampakkan “batang bempernya”, berhenti persis depan pintu graha sampoerna. Tanpa menunggu aba-aba, serempak para peserta beranjak dari tempat duduknya masing-masing, berhamburan keluar menuju dua mobil yang sudah “stand by”.

Dua mobil, dua-duanya berwarna hitam.Tiap sisinya terpampang stiker “sampoerna”. Masing-masing memiliki fisik yang berbeda. Satu mobil berjenis MPV agak lebih gemuk daripada satunya yang nampak lebih kecil, seketika penuh dengan peserta. Ada sedikit kekacauan saat mulai menaiki mobil, nampaknya kapasitas mobil kurang bisa menampung banyaknya peserta. Satu-satunya jalan dibuat “pengkompresan” muatan. Kursi yang wajarnya hanya mampu memuat tiga orang, dijejali empat orang. Sontak, saling empet-empetan, nyaris tak menyisakan ruang buat merenggangkan kaki atau sekedar selonjoran. Yang lebih “teraniaya”, peserta yang cenderung memiliki postur lebih “seksi”, “dipimpong” dari mobil satu ke lainnya, guna merakayasa sisa ruang yang masih ada. Namun, semua ketidaknyamanan ini tak sedikitpun mengurangi keceriaan para peserta.

Perlahan dua mobil hitam ini, beringsut beriring meninggalkan lokasi. Mobil yang lebih gemuk berada di depan seolah memandu mobil satunya yang menyusul di belakangnya. Sepanjang perjalanan terlihat dari balik kaca jendela, matahari menunjukkan sisi ”keakuannya”, teriknya menampar wajah kota. Untungnya mobil overload ini dilengkapi AC. Kalau tidak, bisa jadi para peserta tak ubahnya ikan asap, ditumpuk empet-empetan di atas pemanas, diasapin dikipasin. wuiih… “kemringat” gosong bo!!.

Meski sedikit macet sekeluar dari jalan tol, tak mengurangi keriangan wajah-wajah peserta. Memang, sepanjang ruas jalan, depan “ground zero” lokasi bencana Lumpur Lapindo seringkali terjadi kemacetan, terutama di pagi dan sore hari. Selain karena mobilitas transportasi meningkat di jam-jam ini, juga, disebabkan sebagian badan jalan terdistorsi oleh musibah lumpur. Apalagi, ada galian insidental pipa PDAM, semakin memperparah penyumbatan jalan ini.

Selepas dari Surabaya, kini mobil yang kami tumpangi memasuki wilayah Pasuruan. Ada pemandangan kontras. jalan yang sebelumya hanya datar-datar saja kini mulai beranjak menanjak. Hawa sejuk dari pegunungan Pasuruan turun menyergap, seolah-olah menyambut kedatangan mobil peserta yang tadinya terpapar “kejamnya” hawa panas Surabaya.
Dari kejauhan, nampak bangunan kuning ngejreng berdiri kokoh persis di tengah pintu keluar masuk tempat peristirahatan, Taman Dayu, Pandaan. Bangunan yang sangat menyala warnanya ini, didisain dengan gaya arsitektural Aristocrat American Taste dengan eksterior sedikit cenderung minimalis. Uniknya, dipadu dengan sentuhan Chinese Style yang cenderung maksimalis, kuat kelihatan di gaya atapnya juga di disain interiornya, warna merah khas cina menyembul di pintu masuk sisi dalam ruko. Semakin ke dalam, deretan pujasera memanjang di sisi kanan jalan masuk kompleks Taman Dayu. Bangunan yang “down to earth” menyatu harmonis dengan lingkungan taman yang asri, teduhkan suasana, menambah betah pengunjung penyuka aneka kuliner.

Mobil mulai menyusuri kelokan halus menanjak. Kanan kiri, rindang pohon anggun berjejer rapi di antara bebukitan hijau. Sesekali terlihat koloni rumah penduduk setempat dibiarkan tanpa sekat antara lokasi kompleks taman dayu dengan kehidupan masyarakat. Jalan menuju areal dalam kompleks juga digunakan oleh masyarakat menjalankan aktivitas sehari-hari. Kesan natural terasa kian menguat.

Jauh di depan sana, di antara tanjakan dan bebukitan, di selepasnya lereng yang melandai, tampak deretan paviliun berkerumun menyebar membentuk blok-blok yang saling terpisah satu sama lain. Masing-masing memiliki karakter arsitektur beragam. Tiap blok secara tegas dipisahkan oleh permainan bentuk kontur tanah yang bergelombang. Ada blok segaris paralel dengan landainya jalan, sebagian menukik ke bawah lebih rendah, ada yang berada di ketiak bukit, blok lain naik lebih tinggi dari sekitarnya, bahkan ada segelintir tak lebih dari hitungan jari bertengger menyendiri di puggung gunung.

Mobil masih juga enggan berhenti, hingga tiba pada persimpangan jalan. Di kanan kami, tepat di muka sebuah areal yang luas tertutup, sebuah baliho berdiri menyapa. Water Park, wahana hiburan air di tengah kompleks, menjelaskan isi pesan baliho. Gemericik air dan suara tawa berderai bocah-bocah sayup sampai menyentuh daun telinga. Di antara persimpangan, gapura khas cina coklat memudar, tegap menantang melintang di atas jalan yang lebih sempit dari jalan lainnya. Beraspal. Namun, teksturnya lebih kasar.Di sana sini lubang aspal dibiarkan apa adanya, mengelupas hingga kelihatan lapisan bawahnya. Membentuk cerukan. Air kecoklatan bercampur tanah tergenang. Rupanya hujan menyisakan jejaknya di sepanjang jalan ini.

Lamban. Akselerasi mobil melamban . Memang, jalan ini memiliki sudut kemiringan cukup terjal. Permainan persnelleng “gigi” 1 dan 2 dominan dipakai untuk menaklukkan medan terjal. Memperlambat gerak laju dengan mempertajam kejelian pandang sang sopir mampu meminimalisir risiko ketergelinciran, jurang di sisi kiri jalan, siap menunggu kecerobohan.
Seluas mata memandang, nun jauh di bawah seberang jurang, terbentang lanskap menawan. Rerimbunan pohon menghijau yang membujur dari utara hingga selatan bidang lanskap memenuhi komposisi ruang pandang. Sekerumunan kecil rumah penduduk sedikit menyembul di antara lebatnya pepohonan. Satu dua bangunan, sekilas menyerupai bungallow bertebaran tak jauh dari jalan yang mengalur berurat, tak ubahnya urat daun. Gunung gagah menjulang berselimutkan awan. sesekali memperlihatkan wajah rupawannya dari balik awan. Mempertegas kemolekan panorama yang terhidang dari balik kaca jendela mobil.

Hampir sudah seperempat jam perjalanan mobil mendaki, suasana kanan kiri jalan perlahan tergantikan. “Sekawanan” pinus menghiasi sisi jalan yang mulai mendatar. Mobil memasuki sebuah areal menyerupai hutan penuh dengan pohon pinus berjajar tegak terhunus. Umbul-umbul sebuah perusahaan telepon seluler terpancang. Tenda-tenda besar hijau tua “army look” samar kelihatan dari balik barisan pohon pinus. Nampaknya sedang berlangsung kegiatan outbound di areal yang jamak disebut “The Pines”, rimba pinus.

Keraguaan sekelebat muncul. Peserta mulai bertanya-tanya; “Ah..mosok pelatihannya dilaksanakan di sini?.” Tak ada bangunan terlalu istimewa untuk dipercaya jadi tempat pelatihan, yang ada hanya bilik pos penjaga dan beberapa bale kecil. Namun, ada yang unk menggelitik, sekitar lima rumah kayu menggantung di atas pohon, mungil, sekira 6 muatan orang. Tak ada lagi. “Bukan di sini tempatnya.. Tempat pelatihan kita ada di bawah sana tadi!!..”, suara lantang sopir mobil depan terdengar memecah kesenyapan seakan tahu keraguan kami.”Tadi ibu-ibu minta naik ke sini, banyak yang penasaran”, sopir menjelaskan.
Mobil berhenti.

Sontak, beberapa peserta bergegas turun. Hawa sejuk lembab berat menyergap.Aroma khas pinus menusuk hidung. Seketika fisik yang lelah, segar kembali. Namun, kesemutan hebat yang dialami penulis tak kunjung pulih. Maklum, sedari Surabaya sampai lokasi kaki penulis ditekuk tak berbentuk, sama sekali tak bergerak dari saking overload-nya mobil kami.
“Ada toiletnya nggak sekitar sini?”, Tanya Rizal, salah seorang peserta sambil tergopoh-gopoh. Tersirat kuatnya harap. “Sebenarnya sudah dari Surabaya aku terjangkit HIV (hasrat ingin vivis). Waduh!!… Betah amat nih anak.
“tandaskan saja di balik pohon”, jawab penulis lugas. ”Gak bakalan ada yang tahu kok”, penulis berusaha meyakinkan, ”lagian siapa yang mo ngintip..” he .. he ..

Bergegas mobil “pemandu” meniggalkan lokasi. Mobil kedua belum juga beranjak. Setia, menunggu pulihnya kaki penulis yang mengalami kesemutan hebat. Parah, penulis harus melalui tiga kali “orgasme” (eiits.. jangan ditafsirkan yang tidak-tidak ya..). Karena, ternyata sedari Surabaya sebenarnya penulis terjangkit tiga fase kesemutan yang tidak dirasa, kesemutan “stadium 3”. Jadi, harus butuh tiga kali penetralisiran. (Kapan-kapan mbok yo disesuaikan dengan kapasitas muatan. Hmm..sudah gratis pake neko-neko lagi. Ya iya lah..he..he..)
Selepas “orgasme”. Segera mobil kedua menyusul turun dari ketinggian. Kembali menyusuri jalan hingga tiba pada persimpangan di mana lokasi Water Park tadi kami temui. Tak lebih dari sepuluh menit mobil membelok ke kanan, mengalun pelan melewati portal dan pos penjagaan yang tertapa apik. Agak turun melandai mobil menuju ke sebuah bangunan yang nampak beberapa panitia sedang menanti kedatangan peserta. Sesegera mobil naik ke kanan masuk pelataran villa.

Wuaah..leganya hati telah sampai pada tujuan akhir sebenarnya. Serta merta para peserta sudah berada di luar mobil disambut beberapa panitia. Dengan senyum ramah sigap meraih tangan peserta, menyalami dan menunjukkan tempat peristirahatan peserta. Rupanya villa tempat mobil kami berhenti tadi, dikhususkan untuk kaum hawa.
“Yang cowok ta’ ajak olahraga dulu, cari keringat..”, ujar seorang panitia tinggi berkerudung, Mbak Dian namanya, menyisakan tanda tanya. Peserta ho oh saja membeo mengekor di belakangnya. Di depan, di samping Mbak Dian, Mbak Ida berperawakan lebih kecil berkerudung juga menemani, turut menyertai cewek berbaju hitam biasa kami panggil Mbak Sari.
Setelah melewati taman, kami bergegas melewati trotoar depan villa yang berjejer rapi. Terhitung sudah delapan villa lebih yang kami lalui. Namun, belum juga ngeh maksud cari keringat. Hingga kami berhenti tepat depan sebuah villa. Di atas kaca lampu samping pintu masuk terpatri nama “welirang”. Woalaah..ini yang dimaksud cari keringat. Ternyata tempat peristirahatan peserta cowok ditempatkan jauh dari gedung pelatihan. Memang, butuh keringat juga sih.

Villa yang kami tempati benar-benar memanjakan. Ruangannya bertingkat dua menurun ke bawah. Memiliki 3 kamar, satu kamar mungil dengan ranjang “two on one bed” di lantai pertama. Kamar satu lagi juga mungil dengan “double bed”. Sisanya, kamar besar satu ranjang “two on one bed” ditambah empat buah kasur busa di atas lantai. Dua kamar yang terakhir berada di lantai kedua, bawah lantai pertama. Di tiap kamar tersedia kamar mandi lengkap dengan bath tub dan shower-nya disertai pilihan air panas dan dingin. Jika masih kurang nikmat? tinggal, blurrr… kolam renang belakang villa dengan view padang golf terbentang yang sesekali berseliweran nona-nona paddy girl menambah segarnya suasana berenang. Brrrr…segerrr…oui.

Tak kalah menariknya. Demi memperindah ruangan villa agar tak terkesan monoton, di beberapa dindingnya dipajang aneka lukisan. Mayoritas beraliran abstrak kubismenya “Picasso”, sebagian ada lukisan lugas khas childish, sedikit yang mengusung tema-tema realis. Lukisan-lukisan tersebut terasa berimbang dengan komposisi furnitur yang tersedia. Guna menghindari kesan sumpek, furnitur yang bisa mengakomodir kebutuhan peserta, yang memang banyak tersedia di sini, di-setting built in pada dinding. Sisanya yang tak memungkinkan di-set serupa dibiarkan non-built in. Dengan permainan ini, kesan lapang tetap terjaga.

Seiring gerimis turun mengiris, teman-taman peserta dari TBM dan STO Pasuruan, satu persatu sampai pada villa. Mereka datang tak dijemput, pulang juga tak diantar (he..he..emangnya jelangkung ta??..). Uniknya, usia peserta dari pasuruan dominan muda. Beda banget dengan rombongan dari Surabaya, tuwir-tuwir bro!!..he.. he..
Jarum panjang jam dinding villa menunjuk angka 1 lebih dua titik. Masih ada paruh waktu untuk sekedar rehat melepas lelah, mandi juga sholat. Efisiensi waktu harus berlaku di sini. Di lembaran skedul tersusun acara teramat padat. Wajar, waktu pelatihannya hanya dua hari, tak lebih. Untungnya setengah hari pertama ada rentang waktu senggang lebih panjang. Baru jam 2 nanti kami makan siang bersama sekaligus registrasi. Lalu, istirahat satu jam dilanjutkan pembukaan acara pelatihan pada jam tiga.

Jam tiga lebih beberapa menit peserta sudah memenuhi seisi ruang pelatihan. Meja kursi sudah tersusun rapi. Peserta sejenak duduk. Namun, tiba-tiba dikomando mendekat berkerumun mengelilingi sesosok perempuan tinggi sedang, rambut bergelombang, cekeran. “Mari kita bermain sebentar agar lebih fresh”, mbak yang kelihatan enerjik ini mengawali pembicaraan. Peserta cuma mesam mesem menunggu permainan apa yang akan diketengahkan. “Kepala..bahu..pinggul..lutut dan kaki..”, sambil memegang bagian anggota tubuh yag disebutnya, mbak yang ternyata bernama Eli, memberi gambaran jenis permainannya, “setiap anggota tubuh yang kusebut harus disentuh dengan tangan sambil digoyang. Yang salah gerakan, berdiri di tengah lingkaran memimpin permainan!!..”. Sontak, gerrr.. para peserta.
Dengan berakhirnya penjelasan mbak Eli, permainan seketika meledak. Gaduh. Ketawa-ketiwi para peserta bersahut-sahutan sepanjang permainan. Peserta langsung terhanyut dalam riuhnya. Sisi kelucuan mereka terungkap kontan di sini. Pinggul, kaki, bahu digoyang. Satu persatu peserta menjelma seolah inul dengan ngebornya, ada yang bergoyang gergaji ala Dewi Persik, ngecornya uut pun merasuk dalam gerakan mereka. Benar-benar seru man!.
Keringat yang mulai kemarin bersembunyi di balik kulit jangat, kini berani nongol melalui pori-pori kecil (merasa gerah kali ya..terus-terusan berada dalam kulit). Belum sempat keringat menguap, tiba-tiba.., “tak enak rasanya jika pertemuan ini tidak saling mengenal”, suara Mbak Eli kembali terdengar, seperti tak berkurang sedikitpun energinya. “Tiap peserta harus tahu nama tiga teman di sebelah kirinya. jika salah, perkenalan di-replay di depan…”. Spontan lingkaran peserta carut marut, masing-masing peserta sibuk menguber data tiga nama dari sebelah kirinya. Derai gelak tawa kembali meledak tak tertahan.

Belum usai tawa berderai. “Sekarang masing-masing peserta harus tahu enam nama sebelah kanannya, mulai!..”. Mbak Eli belum juga menghentikan kemeriahannya. Semakin kacaulah lingkaran disertai teriakan kegelian para peserta. Tiap orang berlarian ke sana kemari hanya demi mengorek enam nama teman sebelah kanannya. Napas tersengal memburu bebarengan dengan derasnya keringat mengucur tak dihiraukannya. Memang, permainan ini benar-benar menghanyutkan. Semua terlibat membaur. Tak ada sekat membatasi perbedaan. Semua tampak menyatu. Batasan usia yang memang kontras mendadak membias tak jelas. Dalam sekejap, perkenalan mengalir bebas, tak lagi saklek kaku. Sepuluh jempol buat Mbak Eli (uups..jempol penulis Cuma empat. Gak apa ah..yang penting te o pe habis deh!).

Peserta mulai kembali ke tempat duduknya dengan menyisakan desah memburu di petikan napasnya. Tak lebih dari sesruputan air minum, acara dibuka dengan beberapa sambutan.. Semua personel panitia diperkenalkan satu persatu. Direktur YPPI, Mbak Trini, turut memperkenalkan diri. Jargon dadakan tercipta di sini, “YPPI?”, “yess!!”. “TBM?”, “ok!!”. Jargon inilah yang selalu dikumandangkan saat acara dirundung lesu. Bagai bertuah, acara perlahan hidup.

Sambutan dilanjutkan dari pihak Sampoerna diteruskan Bapak Bambang, Kepala Arsip Kepustakaan Kab.Pasuruan mewakili pihak “tuan rumah”. Dengan dibantu “slide show” beliau memaparkan serba-serbi seputar siklus arsip berikut perputaran informasi dunia kepustakaan.
Bapak Bambang, yang pernah menjabat bapak camat sebanyak tiga kali ini, mengurai sambutannya dengan penjelasan tentang kearsipan kepustakaan Pasuruan. Di samping membahas kinerja personel perpustakaan Pasuruan, bapak berkumis tipis ini juga menunjukkan lokasi-lokasi perpustakaan cabang pasuruan yang tersebar di pelbagai kecamatannya beserta kemajuan-kemajuannya yang telah dicapai oleh instansi tersebut.
“Allahumma baarik barnaamajanaa…laa sahla illa maa ja’altahu sahla…”, petikan doa sapu jagat Ustad Rofi’ie mengalun hikmat, serentak diamini seluruh penghuni ruangan. Mudah-mudahan pelatihan ini membawa berkat dan manfaat.

Demi mempermudah jalannya koordinasi peserta, dibentuklah “tetua suku” peserta. Bapak Kartono, tokoh LSM di bilangan “Dollywood”sono, didaulat secara aklamasi sebagai “tetua sua”. Sedangkan Ibu Dien Syamsudin, eh… Ibu Dien Syamsul ditunjuk menemani sang tetua..
Deddy A. Machdan, Redaktur Pelaksana Majalah Lentera, majalah internal Perusahaan Sampoerna, membuka presentasi pertama. Materi yang dibahas tentang pengenalan bentuk media dan bentuk tulisan. Pembahasannya banyak disangkutpautkan dengan sejarah keberadaan Lentera, majalah yang digawanginya. tetek bengeknya dikuliti habis-habisan.dari mulai cerita suka dukanya mengurus Majalah Lentera, hingga memberi trik-trik ringan gimana cara mengatasi kendala-kendala yang ditemuinya. Pria lajang yang pernah nimba ilmu di negerinya Ratu Elizabeth sono. Menyajikan presentasinya secara interaktif. Malah, cenderung menjemput “bola”. Banyak pertanyaan yang dilontarkan dijawabnya dengan tuntas. Meski, ada saja yang bersifat sangat privacy. “Usia Kang Deddy berapa sekarang?”, tanya salah seorang ibu. “Sudah menikah apa belum?”, suara ibu lain ikut menimpali. Yang ditanya menjawab sambil cengengesan. Sosok pria berkaca mata ini memang, selera ibu-ibu banget. Di samping pinter, kasep lagi (high quality menantu kali ya... he..he..). Pertanyaan yang sempat dijawab tadi, secara tidak disadari membuka “kedok” Kang Deddy. Ternyata, hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-29. sontak, koor “happy birthday” yang dipimpin Bu Dien mengalun syahdu dalam ruangan ber-AC ini. Untuk hal yang satu ini, kaum ibulah yang paling antusias.
Sesi pertanyaan yang sempat tertunda oleh momen tak terduga ini, dilanjutkan kembali. Namun, belum genap setengah jam-an, kue “illegal” hasil persekongkolan panitia mendadak muncul. Konspirasi ini sengaja di-set untuk membuat surprise pria berpostur agak kurus ini. Agar lebih terkesan dramatis, lampu ruangan di-off. Terjadilah pemotongan kue. karena kuenya mungil, potongannya hanya dibagi ke beberapa peserta saja.

Jam di ponsel telah menjelang jam sembilan malam, Kang Deddy telah memberi sinyal akan mengakhiri presentasinya. Namun, sebelum disudahi, pria berkulit kuning ini, ternyata, juga mempersiapkan kejutan untuk peserta. Kaos dan mug bersablon Lentera ditebar ke seluruh peserta. Terpancarlah wajah sumringah mereka. Thanks ya Kang Deddy.

Sabtu 13 Desember 2008

Pagi-pagi. Lagi-lagi gerimis menyapa hari. Peserta beranjak pergi menuju gedung pelatihan. Di teras gedung telah tersaji aneka menu sarapan pagi. Sebagian peserta nampak telah menyudahi sarapannya, sebagian lain masih sibuk menciduk nasi.

Tepat jam delapan pagi, sesuai agenda. Seluruh peserta sudah nangkring di kursinya masing-masing. Seperti kemarin, tidak afdol rasanya jika tidak dimukadimahi permainan. Pokoknya, di pelatihan ini, permainan hukumnya wajib. Gak boleh tidak. Sebagai penyemangat permainan, masih juga Mbak Eli. Bola dijadikan media pengocok perut peserta. Serta merta suasana mulai mencair seiring mencairnya keringat peserta.

Ketua KJPL (Komunitas Jurnalis Pecinta Lingkungan ), Mas Teguh Ardi Srianto, membuka materi tentang penulisan berita. Dengan slide show, bapak kelahiran surabaya ini, mengupas tuntas segala hal tentang teknik penulisan berita di media. Di tiap akhir sub-bab materinya, dibuka kesempatan untuk bertanya. Tiap peserta ambil bagian, terutama kaum ibu, merekalah yang lebih aktif memanfaatkan sesi ini.

Di akhir materi, bapak yang menggeluti profesi wartawan karena “kecelakaan” ini –beliau sarjana hukum-, memberi tugas menulis berita. Serempak peserta mulai sibuk menguntai kata. Beragam berita telah tercipta. Sebagian dibaca sebagian tidak. Yang terbaca kebanyakan lucu. Ada berita mirip proposal, ada serupa surat (surat cinta kali?..he..he..) juga ada yang hampir persis sama dengan teman semejanya (ngopy ya..).

Anas Pandu Gunawan. Begitulah nama lengkap penyaji materi teknik menulis opini di media massa. Tak terlalu banyak yang dibahas oleh bapak satu anak ini. Di samping karena memang waktunya tak sepanjang materi penulisan berita, juga segmen opini cakupannya tak seluas menulis berita. Wartawan yang “bollywood” banget ini, juga menyediakan sesi tanya jawab. Lagi-lagi kaum ibu mendominasi alur sesi ini. meski, tak sedikit juga kalangan muda yang aktif berpartisipasi. Tak beda dengan mas teguh, wartawan yang juga mantan atlit renang ini, menyediakan waktu bagi peserta untuk menuangkan pendapatnya tentang apa saja di atas kertas. Nampaknya opini lebih mudah daripada berita, karena, opini memberi kebebasan mengeksplorasi khazanah inspirasi, tak harus connect dengan data faktual. Apa yang ada dalam batok kepala dibiarkan mengalir mengikuti gerak lincah pena tanpa harus mematuhi batasan tertentu. Hal ini dapat diketahui dari beragamnya tema yang diusung, juga, semakin panjangnya isi tulisan peserta.

Materi terakhir dari pelatihan hari ini, pengenalan fotografi. Materi yang diulas oleh mas ipung, begitu dia biasa dipanggil, cukup menarik, meski, kadang ada istilah-istilah yang sulit di ngeh peserta. Penjelasan secara visual lebih ditonjolkan di sini. produk jepretan pria nyentrik ini, satu persatu dibahas. Bahkan, ada beberapa karyanya yang pernah menjuarai berbagai perlombaan, dikupas. Nampaknya materi terakhir ini lebih nyantai, tak terlalu banyak teori dijejalkan, jadi, tak begitu menguras energi.

Di sela-sela penjelasannya, tak jarang, pria bernama lengkap Bhakti Pundhowo, memperagakan teknik-teknik pengambilan gambar. Mulai dari framing, bagaimana angle yang benar, rekayasa fill in atau fill out, hingga teknik pemilihan sudut yang sering menghasilkan gambar bagus. Di akhir materi, mas ipung memberi tips kreatifnya; “Setiap mau ngambil gambar, usahakan cari sudut yang paling ekstrim, sudut yang tak biasa digunakan..karena bisa menghasilkan gambar lebih impresif, tidak nge-flat..”.

Minggu 14 Desember 2008

hari ini adalah hari terakhir pelatihan. Maunya sih, lebih berlama-lama lagi. Apalah daya angan tak sampai… nanti, sekitar jam satu siang, seluruh acara sudah harus rampung, dan, seluruh peserta sudah harus check out. Seusai acara sarapan, tersisa satu acara terakhir, pamungkas dari rangkaian acara pelatihan. Terlihat mulai ada kerumunan peserta dalam gedung pelatihan, tepat pada saat jam menunjuk pukul setengah sembilan pagi. Rupanya telah berlangsung briefing, apalagi kalau bukan permainan. Memang, tak henti-hentinya panitia mengkombinasikan pelatihan dengan permainan. Suatu setting yang cerdik. Di samping menambah serunya acara, juga bisa memanej acara supaya tak terjebak pada kejenuhan.
“YPPI ?…”. “yess!!..”. “TBM?..”. “ok!!..”, Mbak Trini, selaku Direktur YPPI, membuka acara perumusan konsep general bulletin TBM dengan meneriakkan jargon khasnya yang langsung serempak dijawab seluruh peserta.

Sungguh seru!!. Acara yang diawali dengan presentasi usulan nama buletin dan rubrikasinya oleh wakil kelompok yang telah ditentukan kemarin malam, menuai beragam komentar. Masing-masing kelompok saling menjelaskan uraiannya. Voting pun digelar. Ada beberapa yang kurang setuju, bahkan ada pula yang abstain. Mbak Trini, sedikit kewalahan mengatasi interupsi-interupsi yang membombardir. Untungnya, karena bawaannya tegas, fokus acara tak kabur. Acara masih bisa di-handle. Meski, hasil musyawarah masih mentah. Hasil voting tetap disepakati, dengan catatan akan ada perumusan lebih mendalam oleh tim kecil yang segera diadakan beberapa hari setelah acara pelatihan.

Detak jam mengisyaratkan pada angka 12 tepat. Menandakan akan segera berakhirnya acara pelatihan penulisan media. memang tak ada awal tanpa akhir, momen ini harus segera disudahi. Terlihat seluruh peserta dan panitia sudah terlibat saling salam–salaman pertanda akan segera berpisah.Gita sayonara terasa berinteraksi dari hati ke hati antar panitia dengan peserta.
Salut buat kepiawaian panitia dalam menjaga stabilitas kesegaran acara. Sepanjang bergulirnya acara, nyaris kemeriahan selalu tercipta. Tiada sesi berlalu sepi, hampir seluruh peserta berpartisipasi, terutama ibu-ibu begitu sangat mendominasi. Jika seandainya ada penobatan “man of the match” buat acara ini, tentu ibu-ibulah orangnya.

Jam satu berlalu. Bus mini yang kami tumpangi telah berangsur meluncur turun meninggalkan lokasi. yap! kami akan kembali pada hiruk pikuk “belantara beton”, habitat kami. Rombongan warga “belantara beton” yang sempat terbagi dua waktu pemberangkatan, kini, kumpul jadi satu. Berdesak-desakan?? pasti. Bukankah yang berdesak-desakan inilah yang bisa mempertebal kebersamaan?? So pasti!!..
Read More......

URGENSI BENCANA KEMANUSIAAN PALESTINA DI ANTARA TUDINGAN KECURIGAAN TAK BERDASAR


Tanggapan Atas Kecurigaan Banwaslu Terhadap Demo Kader PKS (2/1/2009)

Sangat sulit dimengerti, di saat sekelompok orang berusaha berbuat baik justru malah deraan kecurigaan dituai. Maksud hati turut menunjukkan empati terhadap saudara kita di belahan dunia lain yang sekarang negerinya dibombardir tanpa ampun oleh sang penjahat perang sombong, keparat Israel. Eh.. Banwaslu, yang katanya punya peran vital mengawal pesta demokrasi sibuk mengendus, mencari-cari "kemungkinan" kecacatan aksi solidaritas yang digelar PKS di bunderan HI, jumat 2 Januari baru-baru ini.

Dalam berita yang dilansir Jawa Pos (3/1/2009) halaman ke-2 dituturkan bahwa salah satu anggota Banwaslu, Bambang Eka Cahya Widodo mencurigai adanya motif kampanye terbuka di belakang aksi demo kader PKS. Dengan hanya berpatokan pada atribut-atribut partai yang memang banyak dibawa peserta juga dari laporan keresahan dari beberapa golongan masyarakat – entah golongan mana yang dimaksud- Banwaslu meyakini ada indikasi penyusupan misi kampanye. Bahkan Pihak Banwaslu berencana mengusut dan memperkarakan "pelanggaran" tersebut.

Selang satu hari, dalam media yang sama, koordinator nasional dari sebuah lembaga independen , JPRR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat), Jeirry Sumampow mengamini apa yang dicurigai oleh Banwaslu. Malahan Jeirry menambahkan perlu adanya teguran kepada PKS. Namun, Tiffatul Sembiring, presiden partai tertuduh, membantah jika partainya sengaja menunggangi demo tersebut dengan misi kampanye. Urang minang tersebut justru menantang Banwaslu untuk menemukan bukti-bukti adanya motif kampanye.
MANA YANG LEBIH URGEN?
Apakah masih relevan di saat bencana kemanusiaan terjadi bebarengan dengan masa kampanye, kebebasan berekspresi terdistorsi oleh aturan-aturan kaku yang kurang menoleransi. Sudah tidak laik lagi untuk mengungkit keabsahan aksi demo di saat masyarakat membutuhkan media untuk menumpahkan kekesalan mereka terhadap serdadu biadab Israel. Bagaimana bisa Banwaslu masih sempat saja mencurigai aksi demo tersebut. apakah mereka tak menyadari bahwa reaksi spontan kegeraman beberapa komponen bangsa atas kebengisan Israel dengan membawa identitas komunitasnya merupakan sebuah kewajaran yang masih bisa diterima.

Suatu hal yang biasa bahwa suatu aksi tertentu pasti membawa serta "baju" yang menunjukkan identitas mereka. Panji, spanduk atau apa saja yang berhubungan dengan komunitas tersebut jamak diketahui. Mungkin yang sedang diributkan Banwaslu hanyalah sekedar kebetulan saja yang memang aksi demo yang digelar mendekati masa-masa kampanye. Namun apakah alasan ini yang membuat Banwaslu memperkarakan aksi demo mereka?.

Kalau kita mau jujur dan sedikit fair, sebenarnya bukan kali ini saja PKS menggelar aksi serupa menentang agresi begundal Israel. Bukan di momen kampanye saja partai tersebut menyuarakan aspirasi, di saat dibutuhkan untuk berdemo partai ini bergerak, aksi mereka bersifat aktual dan spontan, bahkan jauh sebelum masyarakat dunia ramai "mempergunjingkan" kepongahan Israel, PKS, sebagai parpol telah lama berteriak lantang. Bisa dikatakan, secara internasional, -dengan tidak bermaksud mengurangi peran ormas dan elemen masyarakat lain- parpol inilah yang mempelopori adanya penentangan agresi militer Israel, mereka paling konsisten memperjuangkannya. Lalu, Apakah kita masih mencibir aksi ini sebagai akal-akalan kampanye saja?.

Teramat sangat naïf jika kita langsung mencap aksi demo ini ditunggangi kepentingan kampanye. Jika hal ini dijadikan patokan, maka jangan harap parpol-parpol yang lain –yang seharusnya menjadi cororng aspirasi rakyat- tergerak mengekspresikan kemarahan mereka kalau sedikit saja sudah keburu diklaim "opportunis", memanfaatkan situasi. Bukankah lebih baik peristiwa ini dijadikan tolok ukur sederhana untuk menilai sejauh mana kepekaan "urat saraf" para penyambung lidah rakyat (parpol) yang jumlahnya kian membiak.

Selain itu, mestinya kita mengambil pesan sisi kemanusiaannya. Bukan malah meributkan tetek bengek yang kurang urgen diketengahkan. Memang benar peristiwa palestina sudah menjadi isu global saat ini, tapi bukan berarti pengerahan ribuan massa dengan mengusung identitas tertentu menjadi hilang kebermaknaannya. Bukankah demo besar-besaran ini setidak-tidaknya bisa menekan agresor Israel untuk mengurungkan niat bejatnya. apalagi jika segenap partai dan seluruh komponen masyarakat ikut bergerak, tentu akan jauh lebih berdampak

Setidaknya suara yang kita teriakkan bisa menenangkan kenestapaan hati bocah palestina tak berdosa. Apalagi kontribusi kita bisa berwujud rupa. Dalam hal ini kita harus bangga pada pemerintah kita –meski kita masih harus menuntut lebih dari pemerintah-, rupanya pemerintah kita selangkah lebih tergerak dibanding negara lain. Apalagi negara-negara liga arab yang bak "macan tolol" kehilangan "taringnya".

Eman. Sungguh sangat eman. Energi kita terkuras sia-sia hanya untuk mempersoalkan kelegalan aksi ini. tidakkah lebih baik kita "bercapek-capek" menghujat kedzoliman Israel. Ikut larut dalam gemuruh kemarahan masyarakat , menentang agresi Israel bejat. Bukankah aksi ini merupakan perwujudan dari keteguhan kita menjunjung amanat "founding father" kita. Betapa berharganya bila kita berpeluh karenanya. Ikut berperan meneriakkan anti penjajahan.

Sungguh tidak arif jika Banwaslu masih saja "ngotot" mengorek-orek "behind message" aksi demo PKS. Suudzon yang yang kurang tepat ditempatkan ini selayaknya kita tangguhkan sejenak. Mari kita sedikit mengendorkan urat leher kita, mari kita lebih membuka mata lebar-lebar. Kita jangan hanya terlalu menyorot indikasi adanya motif lain (kampanye) di balik aksi PKS. Esensi misi yang mereka usung jauh lebih berarti dan urgen daripada hanya meributkan hal "kekonyolan" ini.

Sudahlah, sudah. Jangan terlalu dipolitisir. Apa yang mereka pertontokan sebenarnya hanyalah merupakan refleksi kemarahan yang sudah tak bisa ditahan. Urat saraf mereka bagai tertusuk ratusan jarum melihat negeri palestina di bumihanguskan. Emosi siapa yang tak membuncah melihat kebiadaban ini. Tidakkah mereka tak tersentuh melihat bocah-bocah Palestina dibantai. Tidakkah mereka mendengar jerit tangis kepiluannya di antara desingan peluru dan dentuman martir bajingan Israel. Nyawa tak berdosa menguap sia-sia bersama pekatnya asap hitam yang mengepul di sela-sela reruntuhan bangunan sipil yang diluluhlantakkan oleh si "perompak tanah" durjana, Israel laknatullah.

Maka, sangat "out of date" bila Banwaslu –atau siapa saja- masih terus saja meributkan hal ini. Akan terkesan lebih bijak jika kita mengamini dan mengapresiasi aksi mereka, daripada hanya sekedar berpangku tangan, ongkang-ongkang menutup telinga apalagi menghujat sinis aksi mereka. "Aah.. itu hanya akal-akalan PKS untuk menaikkan pamor menjelang pemilu…".

Dan, tentu akan nampak lebih terhormat bila kita singsingkan lengan baju, slempangkan slayer, berderap bersama turun ke jalan satukan atribut kita dari mana saja kita berasal, lalu angkat tinggi-tinggi panji kita, teriakkan bahwa kita bangsa yang sangat anti penjajahan, kita adalah bangsa yang alergi terhadap ketidakadilan, bangsa yang masih punya hati nurani. Mari kita buktikan bahwa "urat saraf " kita masih sehat.
Read More......