Juni 12, 2009

GENERASI MUDA DAN DERASNYA ARUS VALENTINE

SEBUAH AJAKAN UNTUK (LEBIH) MEMBACA

Kalau saja ada lembaga survei yang mau menghitung ungkapan yang sering digunakan di bulan februari ini mungkin “Happy Valentine Day”-lah yang menempati posisi tangga chart teratas. Banyak ungkapan yang beredar di bulan ini yang kental dengan nuansa hari yang konon diyakini sebagai hari kasih sayang. Dari yang paling sederhana, sms valentine, kartu ucapan hingga assesoris bermuatan kasih sayang jamak dijumpai.


Tak kalah dalam semaraknya, pusat bisnis, perkantoran dan tempat hiburan lainnya di pelbagai kota sibuk berbenah menyambut hari “pink” ini. beragam assesoris yang identik dengan valentine digelar. Di pintu masuk, etalase hingga lobi tempat-tempat umum penuh dengan simbol valentine. Ditambah lagi dengan gebyar pemberitaan di sejumlah media massa makin menambah gegap gempitanya hari ini. Perlahan pasti kota akan menjelma ke “pink”-an.

Seremonial ini telah merebut hati para muda negeri ini. Dari tahun ke tahun pengaruh valentine kian menggeliat. Dulu, valentine masih berkutat di kalangan perkotaan, kini valentine sudah menjalar ke pedesaan. Valentine bukan lagi identik dengan kaum muda metropolis, orang udik pun tak mau dianggap ketinggalan karena tak ber-valentine ria. Hari valentine sungguh sudah menjadi fenomena baru negeri ini. hari valentine telah menjelma hari raya baru bagi mereka yang ingin mengungkapkan ekspresi kasih sayangnya. malah bisa dikatakan valentine telah tumbuh membudaya.

Namun, Sayangnya sumber sejarah valentine begitu sangat kaburnya di mata muda mudi kita. Hampir dipastikan mereka tidak tahu persis apa yang sebenarnya yang mereka rayakan. Malah yang lebih parah mereka tak berusaha cari tahu, tak tergerak “membaca” sejarah sesungguhnya dari valentine. Ketiadaan minat membaca ini membuat mereka semakin terpuruk pada ketidaktahuan. Ketidaktahuan ini akhirnya membuat kaum muda yang seharusnya adalah subjek dari budaya itu kini menjadi objek di sisi lain. Hingga disadari ataupun tidak budaya ini telah mendikte anak muda negeri ini.

Memang tak jelas dari mana valentine ini berawal. Yang pasti, di catatan warisan “eyang” kita tak ditemukan satu pun laporan tentang seremonial kasih sayang ini. Dari lembaran daun lontar, “diarinya” pencatat sejarah moyang kita, tak terukir upacara ini. Dari serat centhini maupun joyoboyo-nya “wong jowo” tak termaktub seremonial ini. Dari prasasti peninggalan kerajaan se antero negeri ini pun tak terpahat ritual ini. Lantas kalau begitu dari manakah valentine berasal?

Dalam ensiklopedia katolik disebutkan ada tiga versi yang melatarbelakangi munculnya seremoni hari kasih sayang, valentine. Satu yang paling terkenal dan yang paling “sahih” adalah, untuk mengenang kematian salah satu santo Katolik, St. Valentine oleh raja Romawi kala itu, Raja Claudius (268-270 M) di tanggal 14 Februari 270 M. St.Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M dihukum bunuh karena menyebarkan Agama Nashrani, agama yang bertentangan dengan agama paganis (penyembah berhala), agama resmi kerajaan Romawi masa itu.

Versi kedua, Raja Claudius melarang warganya yang bujang untuk menikah. Menurutnya tentara yang masih bujang lebih gahar dan trengginas di medan tempur dari pada mereka yang sudah menikah. Peraturan ini dapat membuat kekuatan militer romawi menjadi lebih kuat. Namun St. Valentine melanggar aturan kerajaan lalu diam-diam santo tetap menikahkan para bujang dalam gereja hingga akhirnya perbuatannya terendus kerajaan, lalu ditangkap dan dijebloskan dalam penjara. Dalam penjara, St. Valentine berkenalan dengan puteri seorang penjaga penjara yang menderita sakit yang kemudian diobatinya hingga sembuh. Lambat laun benih-benih cinta tumbuh. di antara keduanya. Hingga sebelum dieksekusi mati, St. Valentine mengirim kartu padanya yang berisi ucapan, “from your Valentine”. Hal ini terjadi setelah perempuan itu memeluk Agama Nashrani bersama 46 kerabatnya.

Versi ketiga, pada setiap pertengahan februari orang-orang paganis Romawi kuno mengadakan ritual untuk memperingati Dewi Juno, dewi cinta mereka. Para gadis dan bujang dikumpulkan jadi satu. Nama gadis satu persatu diundi. Bagi nama gadis yang terpilih maka si gadis harus mau menjadi pasangan bersenang-senang si bujang, si gadis harus rela menjadi eksploitasi hiburan para bujang selama sesukanya. Di sela ritual itu si bujang mengirimkan kartu ucapan yang bertuliskan, “Demi nama tuhan ibu (Dewi Juno), kukirimkan kepadamu kartu ini”. Namun setelah Agama Nasrani mulai menyebar di Eropah, Demi lebih mengikat para pemuda dalam Agama Nashrani, kalimat tersebut diubah menjadi, “Demi nama pendeta Valentine, kukirimkan kepadamu kartu ini”.

Namun seiring perjalanan waktu sejarah cikal bakal terciptanya hari raya ini lambat laun mengalami pergeseran. Mulai abad 16 M, ritual yang sejatinya penuh dengan praktik berhalaisme dan dikemas ulang untuk memperingati kematian pendeta St. Valentine berubah menjadi perayaan jamuan kasih sayang yang disebut sebagai Supercalis. Terlebih lagi pada abad pertengahan dalam bahasa Prancis-Normandia terdapat kata yang secara lafal dan tulisan mirip dengan kata valentine, yaitu galantine yang bermakna cinta. Dari sinilah akhirnya pergeseran sejarah valentine bertahan sampai sekarang.

Kalau kita cermati dari beragam versi ternyata tak satu pun yang mengusung tema hari kasih sayang yang sejati. Justru yang ditemui adalah untuk mengenang kematian pendeta Valentine yang bertentangan dengan agama sebagian besar negeri ini. toh kalaupun ada yang agak nyerempet tema kasih sayang, itu pun hanya kamuflase demi kepentingan agama tertentu. Malahan yang agak ekstrim adalah adanya sisipan ritual pergaulan bebas antar muda mudi hingga mengarah pada eksploitasi “seks”. Betapa sungguh sangat bertentangya tradisi ini dengan budaya adi luhung kita apalagi tradisi ini disinyalir bisa merusak akidah kita, akidah sebagian besar pelaku tradisi ini, akidah agama terbesar negeri ini.

Ternyata karena ketidaktahuan kita, karena ogahnya kita membaca, kita telah tertipu oleh “kemasan” tradisi ini yang memang benar-benar sangat menarik. Kemasan ini dipermak sedemikian rupa hingga menyentuh psikologi muda mudi. Perlahan tradisi pun sangat mudah diterima.

Berkat peran agen budaya dan propagandanya (media massa, film dan lainnya), seremonial valentine perlahan menyebar ke berbagai belahan dunia lainnya. Tak terkecuali di negeri yang mayoritasnya muslim. Seremonial valentine ini tak ubahnya virus, di mana pun hinggap maka virus ini akan hidup. Apalagi jika tanah yang dihinggapi rapuh dari karakter lokal aslinya, budaya adi luhungnya kurang menghunjam kuat, dikarenakan kerontang akan ilmu dan gersang dari minat baca, maka, dengan mudahnya virus ini tumbuh menjamur. Jangan heran jika akulturasi budaya secara tak sehat akan terjadi.

Maka, sudah saatnya kita menempatkan kembali budaya membaca menjadi peran terdepan dalam mengokohkan character building muda-mudi Indonesia. Masuknya tradisi asing yang bisa mempengaruhi adentitas kita sebagai bangsa, tak lain karena kita tak mampu menyaring “kotoran” yang mendompleng tradisi ini. Ketidakmampuan kita menyaring disebabkan kita telah kehilangan etos membaca. Tiadanya gairah dalam membaca, kita akan tergerus oleh derasnya budaya yang kita sendiri tak tahu esensinya. Sudah banyak budaya “impor” yang cenderung kurang “sehat” telah merasuk dalam denyut kehidupan kita.

Membaca di sini bukan berarti hanya sekedar membaca belaka, namun membaca di sini bisa juga berarti mengkaji, mendalami dan menelaah sungguh-sungguh berbagai informasi apa saja yang terhampar luas di kehidupan kita. Baik dari dan berupa literatur, fenomena alam, dinamika sosial ataupun interaksi budaya. Dengan penanaman budaya membaca ini akan melahirkan karakter sikap yang kritis terhadap segala sesuatu yang baru dan asing. Tak serta merta asal comot budaya orang yang tak jelas sejarahnya

Disinilah betapa menjadi sangat urgennya untuk terus menerus membumikan budaya membaca dalam menciptakan filter kuat yang nantinya bisa menyeleksi mana kira-kira budaya yang laik untuk diadaptasikan. Selama ini yang kita tahu proses infiltrasi budaya nyaris tak tersaring mana yang kategori “bergizi” maupun yang “sampah”. Tak pelak krisisnya ilmu yang dimiliki sebagai akibat dari minimnya intensitas membaca, membuat muda-mudi kita membebek buta budaya yang sama sekali tidak sesuai dengan sejarah budaya ketimuran kita. Terlebih dengan akidah agama penganut sebagian besar bangsa ini.

Dengan kembali pada “khittah” kita sebagai “makhluk membaca” proses infiltrasi budaya akan kembali sehat. Dengan membaca. kemandirian budaya bangsa akan terjaga. Dengan banyak membaca muda-mudi kita akan merdeka dari segala penjajahan budaya. Hanya dengan banyak membaca kita pun akan lebih cerdas menyikapi sebuah budaya.
Read More......

MENELADANI JEMPOL


Sebut saja jempol. Ia adalah salah satu anggota “paguyuban” jemari. Postur tubuhnya sangat berbeda dari empat cs lainnya. Berperawakan “bundeg” pendek gemuk melebar. Jika yang lain memiliki tiga buku maka ia hanya berbuku dua.

Dengan perawakannya yang nyentrik, ternyata jempol memiliki peran unik. Boleh dikata ia adalah pentolan komunitas jari. Ia seolah-olah sengaja diplot oleh Sang Kreatornya sebagai tokoh sentral tim jari. Disetujui atau tidak, jempol adalah supermodel pemimpin sejati. Ia sangat layak jadi bahan referensi teori kepemimpinan. Maka, jika hendak jadi pemimpin atau ingin memilih pemimpin belajarlah pada jempol.

Jempol laksana seorang bapak bagi rekan-rekannya. Dalam kesehariannya tubuhnya selalu dihadapkan ke arah tubuh rekan lainnya, ia selalu nampak berada di tengah mereka seolah sedang mengayominya. Ia rela mewakafkan tubuhnya untuk melindungi mereka. Rupanya semua tenaga dan karier hidupnya didedikasikannya untuk melayani “kaumnya”.

Keberpihakan pada wong alit daripada wong elit telah mendarah daging pada jiwa jempol. Betapa ia sangat welas asih pada kaum kecil pinggiran. Jika sudah berhadapan dengan mereka hatinya mudah luruh. Berbeda dengan orang-orang besar, ia selalu bersikap tegas. Jempol tak mudah silau oleh pangkatnya alih-alih disuap. Masih ingatkah dengan permainan suit? Jempol yang dilambangkan sebagai gajah selalu mengalah pada semut, simbol representasi kelingking. Tetapi kepada manusia (jari telunjuk), sedikitpun ia tak mau mengalah.

Jempol bukanlah figur pemimpin otoriter. Tidak pula berlagak bak menara gading yang selalu berpangku tangan setiap menjalankan roda pemerintahan. Yang selalu ia lakukan adalah pola sinergi. Ia bersinergi dengan jari telunjuk menghasilkan cubitan. Anda tentu tak akan pernah bisa mencubit tanpa partisipasi jempol. Bisakah anda mencubit memakai sinergi jari telunjuk dan kelingking? Kemampuan mencubit anda akan sirna jika jempol anda buntung.

Jempol pribadi gagah berani. Dalam dirinya sama sekali tidak ada jiwa kepengecutan. Dalam momen mempertahankan diri jempol selalu berada di garis terdepan. Ia selalu menampakkan muka saat unjuk kekuatan. Tengoklah bagaimana anda mengepal. Di saat rekan yang lain menyembunyikan wajahnya dan hanya menyorongkan punggungnya, jempol dengan keperwiraannya tampil di lingkaran terluar. Sembunyi baginya adalah kedunguan tak terampuni. Maka di setiap anda mengepal untuk menghasilkan pukulan tak pernah satu kali pun jempol ngumpet dalam pelukan rekan-rekannya. Jika anda mengepal cara begini, bersiap-siaplah anda menjadi bahan tertawaan orang.

Jempol sangat piawai mengorganisir birokrasinya. ia sangat mafhum pentingnya pendelegasian wewenang. Untuk urusan yang tak perlu keterlibatan jempol maupun urusan yang sekiranya tidak bisa dilakukannya sendiri. Ia delegasikannya pada yang ahli. Dengan modus ini, maka kita mengenal aksi ketok pintu. Seumur-umur bukankah anda tak pernah mengetok pintu dengan jempol?

Hidup jempol jauh dari sorotan media. Ia nampaknya sangat tidak berselera menonjolkan kelebihan dirinya. Ia lebih mengutamakan kelebihan orang lain daripada dirinya. Dalam setiap acara ia enggan menunjukkan dirinya. Bukankah tiap anda mengacungkan diri tak sekalipun anda pernah memakai jempol? Jempol pun tak pernah berebut dengan jari telunjuk. Ia lebih memilih diam tawadu’, duduk manis mempersilahkan jari telunjuk menunjukkan dirinya di depan khalayak. Jempol memang seorang pribadi low profile.

Susah senang ditanggung bersama, begitulah pepatah orang bijak. Sebagai pemimpin, jempol sudi turun tangan ikut menyelesaikan tugas susah sekalipun. Ia tidak mau ongkang-ongkang memilih happy sendiri, apalagi clubbing. Dalam momen tertentu ia rela menyingsingkan lengan bajunya, menanggalkan sejenak jabatan mentereng yang disandingnya demi bermandi peluh turut menyelesaikan misi gladi resik yang dipimpin oleh telunjuk karena memang postur telunjuklah yang paling proporsional. Jika telunjuk tak mampu menjangkau yang lebih dalam, kelingkinglah yang mengambil alih. Bila pula ia butuh daya gedor yang lebih besar, tampillah jempol di depan. Dengan antusiasnya mereka bersatu padu mengerahkan tenaga mengorek-orek gumpalan putih abu-abu dari cerobong hidung kita.

Dengan telatennya mereka mengeluarkan lembar demi lembar kotoran yang menggemaskan ini. Saking gemasnya kadang kita tidak langsung membuang “hasil tambang” tersebut. Entah, apa karena memang kita terlalu berat hati melepasnya pergi. Yang jelas kita masih sempatkan barang sejenak “bermain-main” dengannya hingga aroma khasnya terasa menyeruak. Untuk urusan satu ini jempol dan telunjuk sudah sangat paham keinginan empunya upil.

Jempol bukanlah pribadi yang suka merendahkan orang lain. Tidak pula meremehkan tugas sekecil apapun sebagaimana yang dilakukan kelingking bila ia terpetik. Jempol pribadi simpatik. Ia selalu menghargai kinerja bawahannya dengan sikap hormat mengangkat badannya berdiri. Ia simbol kualitas. Terasa kurang absah jika produk tertentu yang diklaim bermutu baik tidak menampangkan wajahnya yang tembem. Kehadiran wajahnya pertanda keunggulan kualitas.

Jempol sangat piawai merebut hati seseorang. Jika badannya telah teracung, maka moral juang seseorang perlahan terangkat. Sikap badannya tersebut biasa diterjemahkan sebagai ekspresi apresiasi dan empati bagi seseorang. Ia pun sangat menjunjung tinggi adab adi luhung. Ia sangat mengagungkan lawan bicaranya. Ia tidak suka menudingkan telunjuk untuk menunjuk. Ia lebih suka merundukkan badannya sendiri sembari membentuk formasi menunjuk, begitulah kesopanannya. Jempol juga bukanlah pribadi yang gemar mencela seseorang. Ia terbiasa menjaga kebersihan sikapnya dari prilaku asosial. Ia sangat segan mengata-ngatai orang lain apalagi mencaci. Ia bukanlah jari tengah yang jika teracung terluncurlah kata minor bernada sumbang menohok hati: fuck you man!

Meski sebagai pemimpin, tak sekalipun jempol tergiur kemewahan yang terhidang di depannya. Ia sama sekali bukanlah oportunis yang selalu memanfaatkan jabatan. Ia bukan pula penganut paham aji mumpungisme, mumpung ada kesempatan menumpuk kekayaan. Jempol adalah pemimpin yang zuhud. Kendati secara de jure ia legal menggunakan fasilitas negara yang memang ia pantas mendapatkannya, jempol enggan menggunakannya.

Coba periksalah jemari anda, di jari manakah perhiasan mentereng nangkring. Jika hanya satu cincin berbatu akik yang anda punya, tentu yang selalu dimanja adalah jari manis. Jika perbendaharaan cincin bertambah, terjadilah silang sengkarut saling berebut antara jari tengah, kelingking dan telunjuk. Masing-masing saling mengklaim merasa dirinya lebih berhak dan merasa lebih pantas. Hingga jika koleksinya pun bertambah, jempol tetap saja mengalah, ia lebih memilih hidup sederhana. Namun jika anda pun tetap ngotot memaksakan jempol untuk mengenakannya. Maka, dinamika perketoprakan Indonesia makin berdenyut. Srimulat pun akan bangga. Tidak bukan, karena telah terlahir Tesi yang baru. “Hidup Tesi!”..
Read More......

RUANG KELUARGA DAN BUKU


Sebuah Harmoni Yang Hilang

Sampai saat ini saya masih selalu merindukan suasana unik ruang keluarga masa lalu. Suasana saling berebut sebuah benda yang pernah menjadi satu-satunya benda yang paling digemari di tengah keluarga. Meski kadang perebutan berujung pada pertengkaran sesama saudara. Eureka! betapa sangat puas dan bangganya jika benda yang satu ini berada di genggaman sang pemenang rebutan. Yap! Buku, benda ini, telah menjadi tradisi objek bulan-bulanan antar saudara. Dan memang bukulah biang kerok keributan kecil ini.

Namun, sayang kini ajang serupa tak pernah saya jumpai. Yang tersisa hanyalah keributan. Tapi lagi-lagi tetap memperebutan sebuah benda. Malahan keributan sekarang ini berskala lebih besar. Peserta “perang” meluas hingga melibatkan ortu, terutama –tak bisa dipungkiri- ibu.

Uniknya, meski telah diberlakukan jam bergilir untuk menguasai benda satu ini pada tiap kubu, tetap saja benih keributan mudah meletup. Bukan apa, karena memang potensi bertubrukan jam-jam favorit antar kubu terbuka lebar. Makanya masing-masing kubu punya strategi sendiri. Seolah seperti terlatih, mereka saling mengintai kesempatan menyerobot kubu yang lain. Siapa yang lengah pasti akan kalah. Dalam hal ini, berlaku hukum ; siapa yang lebih kuat pamornya maka kuatlah otoritasnya. Namun ironisnya bukanlah buku yang menjadi pemicu. Ternyata, sebongkah remote-lah “the one and only” provokator. Apa lagi kalau bukan remote tipi (TV).

Kalau mau sejenak melipat waktu ke masa lalu, memang dahulu ruang keluarga punya nilai penting dalam tiap rumah. Di sinilah dinamika keluarga tercipta. Dari hanya sekedar melepas penat menanti malam merapat, hingga tempat mencumbui beragam buku yang biasa akrab meski kerap berebut kitab. Di samping menjadi ruang utama tempat berkumpulnya keluarga bercengkerama, ruang keluarga juga memiliki fungsi sebagai area pembelajaran keluarga. Betapa sangat mudahnya ditemukan benda-benda pustaka di ruang ini. Maka, pantaslah kiranya jika ruangan ini bisa disebut juga ruang perpustakaan.

Bila dicermati, sebenarnya ruang keluarga adalah sokogurunya rumah. Sekedar membandingkan dengan mikroba, misalnya. Ruangan ini adalah nukleusnya, inti sel. Di sini dan dari sinilah denyut kehidupannya bermula. Seberapa besar kemampuan mikroba mempertahankan eksistensinya dan mampu memperlanjutkan keturunan unggulnya tergantung dari seberapa bergairah dan berdaya hidup sebuah inti selnya.

Oleh karenanya, saya berani bertaruh, orang besar terlahir dari bagaimana keluarganya memanfaatkan dan mengelola ruang keluarga. Jika ruang keluarga sangat dekat dengan dunia baca, tentulah generasi cerdas akan tertetas. Jika ia terlecut dari semangat pembelajaran. Maka, terlahirlah barisan orang besar berpengetahuan menghunjam. Bukankah orang besar terbentuk dari kegairahan tradisi membaca yang terbangun sedari ranah keluarga. Sangat sukar ditemui dalam lembaran sejarah bila ada satu orang besar malas membaca. Mustahil pula pengidap “book adicted” (pecandu buku) tidak bisa jadi orang besar. Toh kalaupun ada, paling tidak dia mampu membesarkan orang besar.

Maka bangsa Indonesia pun pernah diwarnai figur-figur sekaliber Buya Hamka, Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan sederetan orang besar lainnya yang kesemuanya terlahir dan terdidik dari ruang keluarga. Merekalah prototype produk ruang keluarga yang memang kala itu masih belum begitu terkontaminasi oleh kehadiran si kotak ajaib hasil olah teknologi peradaban jaman ini, tipi. Benda inilah yang telah mencerabutkan romantisme masa lalu. Kehadirannyalah yang mampu menggeser peran buku sebagai agen pembelajaran.

Oleh karenanya, jangan heran jika buku sudah sangat susah dijumpai di ruang keluarga. Eksistensi buku telah terlucuti dari ruang keluarga. Tidak ada lagi benda tebal persegi yang dulunya mengisi rak-rak lemari. Kalau pun toh masih ada, itu pun bukan ditempatkan dalam ruangan tempat berkumpulnya keluarga. Posisinya kini tersudutkan, terpojok sendirian, tak terjamah, kumal berdebu –karena tak pernah tersentuh-, tergeletak tak bergerak dalam seraknya rak.

Keberadaan buku tak ubahnya souvenir. Nilai gunanya tak lebih hanyalah sebagai hiasan. Entah untuk menghias apa. Konon bisa menghias status sosial si empunya buku. Semakin banyak stok buku yang dimiliki, semakin tinggi pula prestise-nya. Semakin tebal jilid buku, kian ampuh ujaran sang empu. Malahan jika kitabnya lebih menguning dan berdebu apalagi penuh robekan hasil dicicipi rayap, maka semakin gilap aura kharismatis si kolektor kitab. Lalu, bagaimanakah dengan buku anda?
Read More......

Maret 13, 2009

Surat Buat Wakil Rakyatku


Impian Rumah Besar Buyar,
Generasi Anak Kami Terancam “Modar”

Tuanku, pemanggul amanah kami. Sudah sebelas tahun kami merenda asa tentang rumah besar dalam awang. Sudah kami percayakan proyek pembangunan ini kepada tuan, karena kami yakin dari semua tutur dan janji tuan, tuan sanggup mengemban amanah. Seluruh peluh pengorbanan telah kami abdikan untuk proyek prestisius ini. Segala harta benda pengharapan telah kami dermakan untuk membiayai ongkos proyek ini. Demi mendapatkan rumah besar kami, tempat bernaungnya kami dan anak-anak kami dalam limpahan kesejahteraan.

Tuanku, penyambung lidah kami. Sepanjang sebelas tahun lamanya kami menanti. Ternyata telah tuan ingkari. Rumah besar yang kami idamkan tak kunjung usai. Jangankan pilar dan tembok, pondamennyapun masih tuan perdebatkan dengan tukang-tukang tuan yang katanya pakar. Eker-ekeran antar kuli-kuli tuan yang konon sangat setia dan kredibel jadi menu sehari-hari. Sketsa awal proyek besar yang susah payah dikonsep akhirnya mangkrak. Apa yang telah kami korbankan, dermakan dan abdikan segalanya sia-sia. Rumah besar yang seharusnya sudah kami tempati, kini hanya tinggal angan.

Tuanku, perpanjangan tangan kami. Kini yang bisa kami lakukan hanyalah meratap menangisi rumah besar yang telah kami rindui. Kami menangisi karena anak-anak kami yang selayaknya dapat berteduh dengannya dari teriknya kehidupan kini lekang terpapar. Kami meratap sebab anak-anak kami yang seharusnya bisa terlindung dari dinginnya kenestapaan kini lapuk tersungkur. Kami sedih ketika seharusnya anak-anak kami merasa aman dari segala marabahaya kini dirundung petaka. Petaka lapar, petaka tak bisa belajar, petaka hak kerja tak terkejar, petaka harta titipannya dirampok orang kurang ajar dan petaka hak hidup sehat tak terbayar.

Tuanku, perdengarkan suara kami. Mungkin selangkah pun tuan tak pernah berkunjung ke hati kami. Maka kami maklum tuan tak bisa dengar jerit pilu kami. Tapi setidak-tidaknya tuan berkunjunglah ke bangsal-bangsal tempat anak-anak kami bertarung dengan rasa sakit yang tak mampu ditanggung. Tahukah tuan anak-anak kami terkapar di latar, lantai dan di tempat manapun yang tak wajar, karena ketidakberdayaan kami melawan tarip yang mencekik menghajar. Bahkan karena kasta kami proletar, tampang para pejawat bangsal terpasang sangar. Dengan hati teriris kami pun hengkang pulang membopoh tubuh anak-anak kami yang lunglai malang.

Maaf, kami sudah enggan menyebutmu tuan. Jangan salahkan kami jika ada satu mata rantai generasi sehat yang hilang. Tunggulah masa di mana negeri ini akan dipimpin oleh generasi cacat tak sehat sebab tak mampu bayar obat. Negeri yang akan dipimpin generasi penyakitan kurang gizi. Sekali-kali jangan, jangan salahkan kami jika kami berduyun-duyun mengerumun bocah ingusan dekil koloran, Ponari sang dukun. Bukan karena apa. Kami hanya takut masa yang ditunggu benar-benar akan tiba.
Read More......

Meta Rostiawati, Pimpinan CSR Distribution PT. HM. Sampoerna

Poros penting lahirnya Taman Belajar Masyarakat (TBM)

“Kami Sangat Concern Dengan Generasi Penerus”


Sangat welcome, begitulah kesan pertama saat Jendela Pustaka berhasil menemuinya. Body language dan gaya tutur pimpinan CSR (Corporate Social Responsibility) Distribution PT. HM. Sampoerna ini semakin menegaskan imej enerjik dan kooperatifnya karakter mayoritas personil yang berada di bawah divisi yang dipimpinnya.

Terlahir dengan nama Meta Rostiawati, bungsu dari empat bersaudara dari pasangan ayah betawi dan ibu sunda ini menghabiskan masa kecil dan pendidikannya di Jakarta. Uniknya, komunikasi sehari-hari yang dipakai keluarganya lebih banyak menggunakan bahasa yang dipakai ibunya, bahasa sunda. Sebuah piranti komunikasi yang sulit ditemui di Jakarta, basecamp-nya etnis betawi yang rata-rata menggunakan dialek betawi maupun bahasa prokem.

Merasa dibekali karunia kemampuan sekaligus “hobi” berhubungan dengan orang lain, neng geulis kelahiran Jakarta 17 Mei 1976 ini melanjutkan studi S1 komunikasi di UI (Universitas Indonesia) Jakarta. Demi pendalaman bakat yang dimiliki dan menimba pengalaman, eksekutif yang sesekali melontarkan kepiawaiannya cas cis cus bahasa inggris di sela obrolannya ini juga mengambil D1 manajemen bisnis di Management Development Institute of Singapore, Singapura.

Ranah kerja diterjuninya semenjak tahun 1998 sampai penghujung 2001, baru pada tahun 2003 perempuan yang masih single ini memantapkan hatinya bergabung dengan perusahaan yang sampai sekarang ditekuninya, PT. HM. Sampoerna. Di perusahaan inilah dia ikut punya andil besar dalam melahirkan Program Pustaka Sampoerna (PPS). Karena di tangan eksekutif yang berkantor di Jakarta ini semua kebijakan strategis diputuskan. Dari sosok sentral decision maker di divisi CSR inilah maka kemudian masyarakat bisa memanfaatkan keberadaan TBM dan STO yang telah eksis di Kota Surabaya dan Pasuruan.

Dalam lingkungan kerjanya, boleh dibilang pimpinan CSR yang secara struktural membawahi dua divisi, divisi Community Development dan divisi PPKS (Program Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna) ini adalah sosok eksekutif muda yang sangat menikmati profesinya. Dalam menyikapi dunianya, Meta, panggilan akrabnya, tidak ingin melewatkan waktu kerjanya tanpa menyertakan rasa cintanya. Menurutnya, menjalani delapan jam kerjanya di salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia ini tanpa menjiwainya sama saja mengundang stres. Maka jangan heran jika dalam kesehariannya nampak selalu enjoy. Lagipula pemicu stres baginya dipandang bukan sebagai problema, melainkan bagian dari warna hidup yang bisa memperindah harinya, dan justru bisa memacu kinerja hidupnya untuk lebih berkualitas.

Mengenai kepeduliannya tentang dunia pustaka tak bisa diragukan lagi. Divisi CSR yang dinakhodainya ini sangat getol dengan masa depan generasi penerus. “PBAS (Program Bimbingan Anak Sampoerna) memang kami tujukan khusus antara lain kami sangat concern dengan generasi penerus. Jadi prinsipnya adalah, bimbingan kita, masa depan mereka” tegas perempuan bookaholic yang selalu merasa miris dengan keberadaan gedung perpustakaan yang ada di sekolah.

Tantangan awal program PBAS ialah menekankan pada pemberdayaan anak sekolah serta mereformasi mindset sekolah tentang kepustakaan yang selalu termarjinalkan. “setiap kami berkunjung ke sekolah, kami melihat ruang perpustakaan masih ditempatkan di pojok tersembunyi dari gedung lainnya. Ruangannya jorok, gelap, pintu tak tergembok, lemarinya rusak tak teratur. Maka kami berusaha mendahulukan merubah cara pandangnya dan membekali anak sekolah dengan ilmu kepustakaan. Cara pengklasifikasian buku, misalnya” terang perempuan yang mengaku selalu tidak lupa membawa buku, genre apa saja, ke manapun dia hang out dengan hobi travellingnya.

Selang kurang lebih tiga tahun, perempuan yang baru saja menjadikan diving sebagai koleksi hobi barunya ini merasa ada sesuatu yang njomplang. “kami melihat anak-anak kesadarannya tumbuh, tapi para orang tuanya juga perlu disamakan minat bacanya, tingkat bacanya. Karena sering terjadi anaknya ada yang (suka) membaca, orang tuanya nggak. Jadi mereka sulit mendapatkan akses buku. Makanya mobil pustaka ini kami arahkan ke komunitas. jadi biar bisa penggunanya lebih luas lagi” paparnya menjelaskan sejarah cikal bakal perluasan programnya dari PBAS yang hanya menggarap segmen sekolah menjadi PPS yang merangkul kalangan lebih luas.

Bagi perempuan berambut sebahu yang memiliki filosofi hidup, it is good to be important but it is more important to be good (memang baik jadi orang penting tapi jauh lebih penting jadi orang baik, pen) ini menggeluti pekerjaannya di PT. HM. Sampoerna tak ubahnya seperti menimba ilmu. Banyak hal pengetahuan yang dia dapatkan dari sini sebagaimana dia dapatkan dari bangku kuliah. Makanya saat ditanya mengenai keinginannya melanjutkan S2-nya, perempuan yang berobsesi pensiun dini supaya lebih sering travelling ini tersirat keengganan untuk melanjutkan studi. “dalam waktu dekat ini gak ada rencana melanjutkan studi. Saya sudah merasa cukup. Karena banyak ilmu yang saya peroleh sambil bekerja di perusahaan ini. Sudah dapat ilmu, dibayar lagi.” tegasnya sambil terkekeh.



Meta dalam Data

Nama : Meta Rostiawati
TeTaLa : Jakarta, 17 Mei 1976
Pendidikan : SMPN 115 Tebet, Jakarta selatan
SMAN 8 Bukit Duri, Jakarta Selatan
S1 Komunikasi, Universitas Indonesia
D1 Business Management, Management Development Institute of
Singapore, Singapura.
Kerja : (1998-2000) Berlitz Language Center.
(2000-2001) Indo Pacific Reputation Management.
(2003-Kini) PT. HM. Sampoerna, Tbk.
Read More......

BACALAH, MAKA RAMBO TAKLUK PADA ANDA


Menangkal Tontonan “Buruk” Melalui Revitalisasi Membaca

Rambo. Masih ingatkah kita dengan nama lakon yang satu ini. Nama lakon yang sekaligus nama film fenomenal 80-an, film box office genre perang dengan tiga sekuel yang dibintangi aktor laga legendaris, Sylvester Stallone. Untuk ukuran seusia penulis waktu itu, rasa-rasanya tidak ada yang tidak kenal dengan yang namanya Rambo.

Dengan kisah heroiknya yang luar biasa, Rambo bisa mengambil alih hati dan merampas perhatian anak muda kala itu. Rambo menjadi buah bibir di mana-mana. Karakter dan ciri khas Rambo pun menjadi trendsetter. Maka, gaya macho, muka belang-belang hitam jelaga dan rambut gondrong dengan ikat kepala khas gaya Rambo banyak digandrungi. Yang lebih ekstrim, lengan mereka ditato gambar bendera Amerika sebagaimana Rambo. Memang siapa yang tak ingin seperti Rambo? Dipuja di mana-mana. Rambo benar-benar menjadi ikon masa itu.

Film Rambo menceritakan perang antara Amerika dengan Vietnam yang menurut. alur awal film menggambarkan keterdesakan Amerika. Pasukan tentaranya dibuat kocar-kacir hingga datanglah sesosok tentara AS gagah perkasa. Dengan peran single- nya mampu merubah keadaan dari terdesak menjadi mampu memukul mundur Vietnam. Dengan keberaniaannya seorang diri, Rambo mampu meluluhlantakkan dan menaklukkan Vietnam.

Memang, kehebatan Rambo bisa membuat siapa saja terkesima. Tapi, sadarkah anda bahwa anda telah dibohongi. Sebenarnya sosok Rambo hanya rekayasa belaka. Skenarionya penuh dengan pemutarbalikan fakta. film ini memang bersetting sejarah namun isinya telah menyimpang jauh dari sejarah aslinya. Amerika yang digambarkan menghajar Vietnam bulan-bulanan melalui aksi tunggal Rambo, sebenarnya adalah pecundang sesungguhnya.

Dalam catatan dokumen kemiliteran Amerika, disebutkan sejak tahun 1961 sampai 1967 Amerika telah mengirimkan total 3,3 juta tentara. Dari jumlah tersebut, 57.000 tewas, 300.000 cidera/cacat, 700 ditawan dan 5000 hilang. Belum lagi yang telah pulang ke negaranya rata-rata mengalami mental disorder, gangguan berat mental. Mereka pulang membawa trauma berkepanjangan. Sebagian besar dari mereka mendekam di rumah sakit jiwa. Tak sedikit yang telah gila juga jadi gelandangan. Kondisi ini jauh bertolak belakang dengan opini yang terhunjam dalam benak setelah menonton film Rambo.

Hebatnya lagi, film ini mampu menggiring opini penonton pada pengakuan universal tentang superioritas Amerika. Apalagi bagi mereka yang tidak sadar sejarah, maka dengan mudahnya opini yang dibentuk sedemikian rupa memagut erat alam bawah sadarnya. Sehingga yang ada adalah imej hegemoni Amerika tertanam kuat dalam relung sadarnya. Bagaimana berpengaruhnya film ini pada penonton?

Dalam istilah psikologi behaviorisme, ada teknik yang disebut conditioning, pengondisian emosi seseorang pada tingkatan tertentu sebagaimana yang diinginkan. Kita disuguhi dengan banyak adegan mengharu biru, yang membuat mata kita sembab. Kadang pula kita dibuat terpikat dengan sang protagonis yang gagah berani. Jika emosi kita telah terbajak, peran alam sadar yang sangat vital untuk mencerna dan menyeleksi pesan pun menjadi pasif –karena ia bekerja secara sitematis, rasional, logis dan kedap emosi-. Kemudian yang mengambih alih adalah kerja alam bawah sadar yang sangat sensitif dengan emosi.

Karena cara kerja alam bawah sadar menampung segala informasi yang masuk tanpa menyaring terlebih dahulu. Alam bawah sadar tak bisa membedakan mana informasi realita dan rekaan. Maka semua pesan yang mendompleng film Rambo akan tersimpan utuh dalam bentuk seperti realita adanya. Sehingga tanpa sadar kita telah membenarkan sejarah yang sudah dimanipulasi ini. Akhirnya terjadilah indoktrinasi dalam diri kita untuk mengakui superiotas Amerika, seketika kita pun merasa inferior di hadapanya.

Namun hal ini akan sulit terjadi, jika penonton tahu dan benar-benar sadar sejarah. Sepanjang kita masih mau belajar dan sudi membaca, informasi palsu akan bisa terdeteksi. Kita pun lebih terjaga dan aware dengan yang kita tonton. Bagaimanapun canggih dan halusnya doktrin yang menbonceng, kalau kita telah punya stok pengetahuan yang memadai, maka tidak akan ada istilah korban tontonan.

Karenanya, tingkat keterpengaruhan kita pada dasarnya terletak pada keberlimpahan pengetahuan yang kita miliki. Pengetahuan tidak akan tersedia jika kita tidak intens membaca. Sedari itu percerdaslah membaca, bijaklah mencerna. Pertajam saraf kehati-hatian kita terhadap apa yang kita tonton. Karena masih banyak “Rambo-Rambo” lain gentayangan. Sinetron, infotainment maupun acara hiburan lainnya adalah “Rambo-Rambo” dengan wajah lain yang sedang mendrakulai kehidupan kita sehari-hari. Jika kita lengah, maka “taring” doktrinnya bisa menggigit opini dan gaya hidup kita. Dan lambat laun mereka pun akan menghisap mental karakter kita. Jika mau selamat, rajinlah membaca.
Read More......

Februari 16, 2009

Fajar Kurniawan, Community Development Manager PT. Sampoerna : Sosok Di Belakang Lahirnya Taman Belajar Masyarakat


“Semangat Kita Adalah Bagaimana Membuat (Masyarakat) Lebih Berdaya”


Tahukah anda keberadaan “perpustakaan kampung” TBM (Taman Belajar Masyarakat) dan “perpustakaan mobil keliling” STO (stop over) yang sudah tersebar di dua kota, Surabaya dan Pasuruan, yang sekarang bisa melahirkan Buletin Jendela Pustaka yang ada di tangan anda, berawal dari gagasan pria ramah satu ini.

Pria yang biasa disapa mas fajar ini bergabung dengan perusahaan Sampoerna pada tahun 2005. Sebelum bergabung sebenarnya program serupa yang dikelola oleh Sampoerna telah ada, Program tersebut bernama Program Bimbingan Sampoerna. Namun, masih hanya menggarap segmen anak sekolah. Setelah mas fajar diberi amanah meneruskan program ini, ia segera melakukan terobosan baru. Melalui sentuhan tangannya terjadilah pergeseran arah sasaran program. Program yang telah berdiri tahun 2003 lalu yang awalnya hanya khusus sekolah kini diperluas sasarannya dan sekarang telah eksis di tengah masyarakat. Program yang telah bermetamorfosis menjadi Program Pustaka Sampoerna tersebut akhirnya berhasil mendirikan sepuluh TBM dan mengoperasikan delapan STO di dua kota tersebut.

Satu hal momen paling berat yang dialami bapak berputera tiga ini, adalah kala harus melewati fase transisi dari program yang sebelumnya akrab di sekolah menuju layanan pengabdian ke masyarakat. Karena betapa masih cukup tingginya animo sekolah terhadap kehadiran program ini hingga masih saja beberapa di antaranya “enggan” dilepaskan begitu saja. Kendati pun demikian, pergeseran sasaran tak dapat dielakkan. Dengan berat hati bapak yang mengaku bisa bahasa arab meski hanya sedikit ini, harus konsisten dengan arah kebijakan barunya ini

Untuk menjalankan kebijakan baru ini, awalnya Sampoerna bermitra dengan sebuah yayasan yang juga mengajak kantor arsip dan kepustakaan Surabaya dan Pasuruan. Namun program tersebut berjalan tidak sesuai harapan.

“Ternyata masyarakat membutuhkan pendampingan, membutuhkan orang yang bisa diajak berbagi cerita, untuk curhat dan juga bisa memberikan wawasan baru. Akhirnya kita mencoba memilih YPPI (Yayasan Pengembangan Pustaka Indonesia) untuk menjadi mitra kita, karena selain bertugas teknis ngurusin buku, dia juga memberikan pendampingan kemudian menciptakan inovasi baru berupa pelatihan, penerbitan buku. Itu kan inovasi yang diharapkan. Sebelum dengan YPPI itu semua gak muncul”, urainya menjelaskan.

Bantur. Di desa yang secara geografis berada di daerah Malang Selatan inilah pria tersebut dilahirkan 31 tahun silam. Masa kecil putera dari seorang ayah yang berprofesi sebagai guru ini tak beda jauh dengan masa kecil anak lain seusianya. Selepas SMA, dengan berbekal keyakinan merenda masa depan yang lebih cerah, pria berperawakan tinggi sedang ini menjejakkan kakinya di Bogor guna melanjutkan studinya di IPB (Institut Pertanian Bogor).

Hari-hari di luar bangku kuliahnya banyak diisi dengan menerjuni beragam kegiatan sosial. Hingga perlahan kematangan insting sosialnya berkembang. Setelah meraih S1 di IPB tahun 2000, putra sulung dari dua bersaudara ini bekerja sebagai konsultan di Jakarta lalu bekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit yang bertugas di bidang sosial. Maka jangan heran jika pria enerjik ini dipercaya menduduki posisi Community Development Manager. Posisi yang menangani divisi pendidikan, sosial dan lingkungan di perusahaan Sampoerna. Sebuah bidang yang sangat relevan dengan pengalaman hidupnya selama ini.

“..Semangat kita adalah bagaimana membuat (masyarakat) lebih berdaya (pen; secara pendidikan, ekonomi dan sosial). Hingga bisa mereduksi masalah yang timbul baik illiterasi (buta aksara), kemiskinan dan lain-lain...” ujarnya menuturkan salah satu motivasi program pustakanya.

Menurutnya.lagi, program pustaka ini bisa dikatakan berhasil. Pertama, manakala masyarakat bisa melanjutkan program TBM ini secara mandiri. Karena tak selamanya mereka didampingi dan disusui. Suatu saat mereka pun pasti disapih. Kedua, manakala banyak orang yang berhasil di lingkungan tersebut sebagai hasil akibat dari terinspirasi dengan keberadaan TBM.

Di akhir sesi obrolaannya, pria yang hobi banget baca buku ini memaparkan pandangan dan harapannya. “Kita berharap buletin menjadi sebuah alat untuk mempererat jalinan komunikasi antar TBM, mahasiswa dengan STO ataupun dengan masyarakat secara luas. Yang perlu lagi bahwa itu saja tidak cukup. Harus ada semangat kebersamaan untuk lebih memacu TBM dan STO-nya dalam menjadi pusat aktivitas masyarakat. Karena kalau sudah mengarah ke situ berarti program itu berhasil. Tapi kalau program itu hanya dinikmati beberapa orang, itu-itu saja, berarti program itu gagal. Tapi ketika TBM dan STO menjadi pusat nongkrongnya anak muda, bapak-bapak rapat, pengajian ibu-ibu itu justru adalah keberhasilan. Karena pertama, apresiasi terhadap keberadaan TBM. Kedua, berusaha menghidupkan TBM” begitu pungkasnya.
Read More......

Februari 06, 2009

SENYUM SYNDROME


Hingar bingar pesta pemilu kian menampakkan kemeriahannya. Di sudut-sudut kota semakin banyak bermunculan figur wajah para kontestan. Pose mereka ramai menghiasi ruang strategis kota. Beragam gaya terpampang jelas di baliho. Namun satu yang menarik, ekspresi mereka nyaris tak ada bedanya. Sama-sama menyunggingkan senyum! Baik wanita maupun pria saling berlomba-lomba menunjukkan kebolehan mereka dalam bersenyum. Masa bodoh dengan penilaian “pasar” pemilih tentang senyumnya. Bagi mereka yang penting senyum, senyum, dan senyum.

Beragam senyum yang mereka tawarkan. Ada senyum natural (karena memang pada dasarnya murah senyum, kalee), senyum artifisial rekayasa (sudut bibir ditarik keras ke atas meski terasa kurang pas dengan bibirnya yang pas-pasan), ada senyum sedikit kemalu-maluan, ada pula senyum meyakinkan sok kemanisen serta senyum bimbang tak bisa ditebak mau senyum atau manyun, tak jelas.

Memang seiring dekatnya masa-masa kampanye mendadak banyak orang yang suka tersenyum. Senyum yang dulunya seakan seberat pesawat kini seringan kapas. Tak jarang orang yang tadinya kalau dilihat sepet dipandang tiba-tiba suedepp nian di mata. Orang yang sebelumnya sangat ekonomis banget, mau senyum saja masih harus dihitung untung ruginya kini berani obral senyum. Di mana pun tempat dan suasana selalu tebar pesona, setiap orang yang ditemuinya disuguhi senyum, tak peduli kenal apa tidak. Bahkan kalau bisa mereka mengundang masyarakat hanya untuk unjuk senyum. Senyum seolah-olah menjadi epidemi baru negeri ini.

Sindrom epidemi ini sudah mulai mewabah. Tiba-tiba di seantero negeri dipenuhi orang-orang “pengidap” senyum. Dari tembok kosong, di lengangnya trotoar, di kaca-kaca angkot, nebeng space iklan hingga bergelantungan liar di pohon tak lepas dari foto orang tersenyum. Nyaris tak ada “lahan tidur” yang tak dimencloki sang pengidap senyum.

Banyak jurus jitu yang diperagakan si pesenyum. Dari pendistribusian beribu gambar “photogenic”-nya yang belepotan senyum di stiker, pamflet, kalender maupun dalam bentuk karya kreatif lainnya. Acara pertemuan kejutan tingkat RT/RW hingga acara hiburan besar lainnya yang dikemas begitu apik tak henti-hentinya disusupi orang SKSD (sok kenal sok dekat) yang bertopeng senyum. Bahkan aneka pertemuan nampak seolah-olah bazaar senyum yang menyuguhkan beragam etalase senyum dengan aneka kategori senyum. Baik dari yang kelas “kacangan” hatta yang high quality senyum.

Lain halnya bagi pesenyum yang tergolong kaum elitis. Pesenyum yang memang sedang mengunduh buah “kursi” yang lebih besar, terutama pesenyum yang berkantong lebar. Senyum “bertuahnya” ditebarkan melalui media yang lebih strategis dan bergengsi. Maka tak heran masyarakat saban harinya disuguhi tontonan pengidap senyum di televisi.

Beragam gaya dan warna tingkah lakunya ramai dipertontonkan di televisi. Ada pesenyum yang seakan-akan merasa paling manis sendiri senyumnya, dengan angkuhnya meremehkan pesenyum yang lain –padahal, bukankah sesama pengidap senyum dilarang saling melecehkan-. Hingga ada beberapa yang saling mengklaim senyumnyalah yang paling menarik, saling mengklaim kemajuan yang telah dicapainya musim lalu. Ada juga pesenyum yang lihai mengambil keuntungan di balik perseteruan antar pesenyum, dengan cerdasnya mengekspos dan mengeksploitasi adegan pesenyum yang saling klaim tersebut. Ada pula pesenyum yang nampak seolah-olah kurang percaya diri hingga masih saja menyandingkan figur dan nama besar klannya di setiap eksibisi senyumnya.

Untungnya ada beberapa pesenyum yang masih santun –mudah-mudahan saja begitu-memasang senyumnya, dengan tidak terjebak pada saling menjatuhkan pesenyum lainnya. Malah dengan kata-kata indah penuh bijak mereka tak henti-hentinya menggugah semangat kemajuan dan spirit kemandirian yang kini sulit ditemukan di negeri ini.

Namun terlepas dari keindahan tuturnya, mereka tetap sama saja dengan pesenyum lainnya, sama-sama mengidap senyum musiman ini. Pada dasarnya mereka telah terjangkit epidemi ini. Tak bisa didiagnosa apa faktor penyebab epidemi ini. yang pasti epidemi ini muncul saat negeri sedang mengadakan hajatan pemilu.

Tidak bisa diketahui dengan pasti dari mana asalnya sindrom ini. Hipotesa awal memperkirakan kemungkinan disebabkan oleh sejenis “virus” lokal yang langka adanya hanya di Indonesia. Virus ini memiliki sifat unik, tak bisa terdeteksi dengan mikroskop paling canggih manapun. Seolah tak kasat mata. Para ahli pun hanya bisa mengetahuinya setelah si korban telah memasuki stadium kronis. Barulah dinyatakan bahwa si virus telah menjangkiti korban. Virus ini memiliki masa inkubasi singkat. Perlahan virus berkembang pesat. Grafiknya pun terus menaik hingga mencapai puncaknya pada musim coblos menjelang.

Gejala sindrom ini diawali demam caper (cari perhatian) dengan suhu ambisi kuasa tinggi. Sering juga disertai jantung berdebar-debar (khawati kalah) dengan kejang-kejang kepentingan. Bahkan ada kasus tertentu yang saking napsunya mengalami “muntah-muntah” suap. Sindrom ini kalau tidak segera diatasi bisa memperparah keadaan juga bisa menular secara cepat. Tapi jangan takut, virusnya hanya menular pada kalangan tertentu saja.

Ironisnya, dari sebagian besar para korban nyaris tak ada satu pun yang merasa menderita penyakit ini. meski toh “penyakit” yang diderita sudah masuk stadium akut. Korban, tak lain “pengunduh posisi” tidak sadar bahwa mereka sedang sakit. Mereka tidak merasa dirinya sedang ada “kelainan”. Makanya kemana mana mereka tidak risih menebar senyum. Semakin besar respon masyarakat semakin lebar pulalah senyumnya. Semakin kumat jua pulalah penyakitnya.

Satu hal lagi yang aneh dari fenomena virus ini adalah ketiadaan minat dari pakar untuk mencari anti virusnya. Seolah-olah “penyakit” ini dibiarkan parah begitu saja tanpa adanya upaya bagaimana menanggulanginya. Karena dari pengalaman bertahun-tahun sebelumnya virus ini memiliki karakter yang pasti, masa hidupnya berangsur berkurang bahkan hilang dengan sendirinya setelah berlalunya masa jangkitnya, musim pemilu.

Pasti. Selepas musim perebutan kursi usai, sindrom senyum lenyap seketika. Bak sekedipan mata perilaku tebar senyum, yang biasa dilakukan si “penyakitan” saat turba ke masyarakat untuk merangsang dan menjemput suara, kini tak terlihat. Masyarakat yang sering mereka kunjungi, masyarakat yang acapkali mereka suguhi senyum dengan aneka bingkisan menarik berikut janji-janji menggairahkan mendadak terlupa. Padahal baru saja kemarin mereka beramah tamah mengobral senyum.

Memang benar si penderita telah sembuh dari sindrom senyum. Negeri telah siuman dari teror virus senyum. Namun sayangnya kepergian virus ini menyisakan problema baru. Masyarakat sekali lagi dibuat terperangah. Seiring “buah” kursi yang telah berhasil diunduh dengan galah suara rakyat, si penderita yang telah sembuh kembali terjangkit sindrom lain. Sindrom yang tak kalah ganjilnya. Sindrom amnesia! Bisa lupa segalanya. Lupa senyum yang dijaja kemarin hingga lupa bahwa mereka pun pernah berjanji!
Read More......

Februari 03, 2009

CATATAN PERJALANAN


Dari Belantara Beton Sampai Rimba Pinus

Semangat untuk meningkatkan potensi tulis menulis menggugah para peserta untuk memenuhi undangan panitia. Undangan yang disebar eksklusif hanya untuk kalangan anggota TBM (Taman Belajar Masyarakat) dan STO (Stop Offer) sukses direspon positif oleh seluruh anggota TBM dan STO yang tersebar di Surabaya dan Pasuruan. Secara kalkulatif, Jumlah TBM di masing-masing kota telah berdiri 4 unit. STO masing-masing 5 unit. Jadi, total keseluruhan sudah ada 8 TBM dan 10 STO.

Pelatihan yang mengambil tema Pelatihan Penulisan Media ini diselenggarakan oleh YPPI (Yayasan Pengembangan Pustaka Indonesia) selaku “eksekutor” dan panitia acara dengan PT. HM. Sampoerna sebagai fasilitator sekaligus pemrakarsa ide adanya TBM dan STO. Pelatihan tersebut diikuti oleh sekitar tiga puluhan lebih anggota TBM dan STO. Dengan mengambil tempat di lokasi peristirahatan pegunungan, The Taman Dayu, Pandaan, Pasuruan.
Jumat 12 Desember 2008

Sekitar kurang lebih jam sepuluhan pagi, para peserta mulai berdatangan berkumpul memenuhi lobi graha sampoerna, kompleks Plant Rungkut 1, Rungkut, Surabaya. Lobi yang tadinya lengang, kontan lebih hidup diwarnai suara ibu-ibu, yang memang mayoritas pesertanya berasal dari kaum ibu. Lobi yang tenang dan nyaman, tiba-tiba menjelma ruang “ngrumpi” darurat khas ibu-ibu. Tak ada yang lebih pas kiranya untuk mengisi waktu senggang menanti tibanya mobil penjemput selain “diskusi” kecil-kecilan gaya ibu-ibu. Mulai dari sekedar “say hello-lah”,”how are you-lah” sampai ke guyonan khas mereka.

Tak seberapa lama berselang, dua mobil yang tadi sempat “dirasani” seketika menampakkan “batang bempernya”, berhenti persis depan pintu graha sampoerna. Tanpa menunggu aba-aba, serempak para peserta beranjak dari tempat duduknya masing-masing, berhamburan keluar menuju dua mobil yang sudah “stand by”.

Dua mobil, dua-duanya berwarna hitam.Tiap sisinya terpampang stiker “sampoerna”. Masing-masing memiliki fisik yang berbeda. Satu mobil berjenis MPV agak lebih gemuk daripada satunya yang nampak lebih kecil, seketika penuh dengan peserta. Ada sedikit kekacauan saat mulai menaiki mobil, nampaknya kapasitas mobil kurang bisa menampung banyaknya peserta. Satu-satunya jalan dibuat “pengkompresan” muatan. Kursi yang wajarnya hanya mampu memuat tiga orang, dijejali empat orang. Sontak, saling empet-empetan, nyaris tak menyisakan ruang buat merenggangkan kaki atau sekedar selonjoran. Yang lebih “teraniaya”, peserta yang cenderung memiliki postur lebih “seksi”, “dipimpong” dari mobil satu ke lainnya, guna merakayasa sisa ruang yang masih ada. Namun, semua ketidaknyamanan ini tak sedikitpun mengurangi keceriaan para peserta.

Perlahan dua mobil hitam ini, beringsut beriring meninggalkan lokasi. Mobil yang lebih gemuk berada di depan seolah memandu mobil satunya yang menyusul di belakangnya. Sepanjang perjalanan terlihat dari balik kaca jendela, matahari menunjukkan sisi ”keakuannya”, teriknya menampar wajah kota. Untungnya mobil overload ini dilengkapi AC. Kalau tidak, bisa jadi para peserta tak ubahnya ikan asap, ditumpuk empet-empetan di atas pemanas, diasapin dikipasin. wuiih… “kemringat” gosong bo!!.

Meski sedikit macet sekeluar dari jalan tol, tak mengurangi keriangan wajah-wajah peserta. Memang, sepanjang ruas jalan, depan “ground zero” lokasi bencana Lumpur Lapindo seringkali terjadi kemacetan, terutama di pagi dan sore hari. Selain karena mobilitas transportasi meningkat di jam-jam ini, juga, disebabkan sebagian badan jalan terdistorsi oleh musibah lumpur. Apalagi, ada galian insidental pipa PDAM, semakin memperparah penyumbatan jalan ini.

Selepas dari Surabaya, kini mobil yang kami tumpangi memasuki wilayah Pasuruan. Ada pemandangan kontras. jalan yang sebelumya hanya datar-datar saja kini mulai beranjak menanjak. Hawa sejuk dari pegunungan Pasuruan turun menyergap, seolah-olah menyambut kedatangan mobil peserta yang tadinya terpapar “kejamnya” hawa panas Surabaya.
Dari kejauhan, nampak bangunan kuning ngejreng berdiri kokoh persis di tengah pintu keluar masuk tempat peristirahatan, Taman Dayu, Pandaan. Bangunan yang sangat menyala warnanya ini, didisain dengan gaya arsitektural Aristocrat American Taste dengan eksterior sedikit cenderung minimalis. Uniknya, dipadu dengan sentuhan Chinese Style yang cenderung maksimalis, kuat kelihatan di gaya atapnya juga di disain interiornya, warna merah khas cina menyembul di pintu masuk sisi dalam ruko. Semakin ke dalam, deretan pujasera memanjang di sisi kanan jalan masuk kompleks Taman Dayu. Bangunan yang “down to earth” menyatu harmonis dengan lingkungan taman yang asri, teduhkan suasana, menambah betah pengunjung penyuka aneka kuliner.

Mobil mulai menyusuri kelokan halus menanjak. Kanan kiri, rindang pohon anggun berjejer rapi di antara bebukitan hijau. Sesekali terlihat koloni rumah penduduk setempat dibiarkan tanpa sekat antara lokasi kompleks taman dayu dengan kehidupan masyarakat. Jalan menuju areal dalam kompleks juga digunakan oleh masyarakat menjalankan aktivitas sehari-hari. Kesan natural terasa kian menguat.

Jauh di depan sana, di antara tanjakan dan bebukitan, di selepasnya lereng yang melandai, tampak deretan paviliun berkerumun menyebar membentuk blok-blok yang saling terpisah satu sama lain. Masing-masing memiliki karakter arsitektur beragam. Tiap blok secara tegas dipisahkan oleh permainan bentuk kontur tanah yang bergelombang. Ada blok segaris paralel dengan landainya jalan, sebagian menukik ke bawah lebih rendah, ada yang berada di ketiak bukit, blok lain naik lebih tinggi dari sekitarnya, bahkan ada segelintir tak lebih dari hitungan jari bertengger menyendiri di puggung gunung.

Mobil masih juga enggan berhenti, hingga tiba pada persimpangan jalan. Di kanan kami, tepat di muka sebuah areal yang luas tertutup, sebuah baliho berdiri menyapa. Water Park, wahana hiburan air di tengah kompleks, menjelaskan isi pesan baliho. Gemericik air dan suara tawa berderai bocah-bocah sayup sampai menyentuh daun telinga. Di antara persimpangan, gapura khas cina coklat memudar, tegap menantang melintang di atas jalan yang lebih sempit dari jalan lainnya. Beraspal. Namun, teksturnya lebih kasar.Di sana sini lubang aspal dibiarkan apa adanya, mengelupas hingga kelihatan lapisan bawahnya. Membentuk cerukan. Air kecoklatan bercampur tanah tergenang. Rupanya hujan menyisakan jejaknya di sepanjang jalan ini.

Lamban. Akselerasi mobil melamban . Memang, jalan ini memiliki sudut kemiringan cukup terjal. Permainan persnelleng “gigi” 1 dan 2 dominan dipakai untuk menaklukkan medan terjal. Memperlambat gerak laju dengan mempertajam kejelian pandang sang sopir mampu meminimalisir risiko ketergelinciran, jurang di sisi kiri jalan, siap menunggu kecerobohan.
Seluas mata memandang, nun jauh di bawah seberang jurang, terbentang lanskap menawan. Rerimbunan pohon menghijau yang membujur dari utara hingga selatan bidang lanskap memenuhi komposisi ruang pandang. Sekerumunan kecil rumah penduduk sedikit menyembul di antara lebatnya pepohonan. Satu dua bangunan, sekilas menyerupai bungallow bertebaran tak jauh dari jalan yang mengalur berurat, tak ubahnya urat daun. Gunung gagah menjulang berselimutkan awan. sesekali memperlihatkan wajah rupawannya dari balik awan. Mempertegas kemolekan panorama yang terhidang dari balik kaca jendela mobil.

Hampir sudah seperempat jam perjalanan mobil mendaki, suasana kanan kiri jalan perlahan tergantikan. “Sekawanan” pinus menghiasi sisi jalan yang mulai mendatar. Mobil memasuki sebuah areal menyerupai hutan penuh dengan pohon pinus berjajar tegak terhunus. Umbul-umbul sebuah perusahaan telepon seluler terpancang. Tenda-tenda besar hijau tua “army look” samar kelihatan dari balik barisan pohon pinus. Nampaknya sedang berlangsung kegiatan outbound di areal yang jamak disebut “The Pines”, rimba pinus.

Keraguaan sekelebat muncul. Peserta mulai bertanya-tanya; “Ah..mosok pelatihannya dilaksanakan di sini?.” Tak ada bangunan terlalu istimewa untuk dipercaya jadi tempat pelatihan, yang ada hanya bilik pos penjaga dan beberapa bale kecil. Namun, ada yang unk menggelitik, sekitar lima rumah kayu menggantung di atas pohon, mungil, sekira 6 muatan orang. Tak ada lagi. “Bukan di sini tempatnya.. Tempat pelatihan kita ada di bawah sana tadi!!..”, suara lantang sopir mobil depan terdengar memecah kesenyapan seakan tahu keraguan kami.”Tadi ibu-ibu minta naik ke sini, banyak yang penasaran”, sopir menjelaskan.
Mobil berhenti.

Sontak, beberapa peserta bergegas turun. Hawa sejuk lembab berat menyergap.Aroma khas pinus menusuk hidung. Seketika fisik yang lelah, segar kembali. Namun, kesemutan hebat yang dialami penulis tak kunjung pulih. Maklum, sedari Surabaya sampai lokasi kaki penulis ditekuk tak berbentuk, sama sekali tak bergerak dari saking overload-nya mobil kami.
“Ada toiletnya nggak sekitar sini?”, Tanya Rizal, salah seorang peserta sambil tergopoh-gopoh. Tersirat kuatnya harap. “Sebenarnya sudah dari Surabaya aku terjangkit HIV (hasrat ingin vivis). Waduh!!… Betah amat nih anak.
“tandaskan saja di balik pohon”, jawab penulis lugas. ”Gak bakalan ada yang tahu kok”, penulis berusaha meyakinkan, ”lagian siapa yang mo ngintip..” he .. he ..

Bergegas mobil “pemandu” meniggalkan lokasi. Mobil kedua belum juga beranjak. Setia, menunggu pulihnya kaki penulis yang mengalami kesemutan hebat. Parah, penulis harus melalui tiga kali “orgasme” (eiits.. jangan ditafsirkan yang tidak-tidak ya..). Karena, ternyata sedari Surabaya sebenarnya penulis terjangkit tiga fase kesemutan yang tidak dirasa, kesemutan “stadium 3”. Jadi, harus butuh tiga kali penetralisiran. (Kapan-kapan mbok yo disesuaikan dengan kapasitas muatan. Hmm..sudah gratis pake neko-neko lagi. Ya iya lah..he..he..)
Selepas “orgasme”. Segera mobil kedua menyusul turun dari ketinggian. Kembali menyusuri jalan hingga tiba pada persimpangan di mana lokasi Water Park tadi kami temui. Tak lebih dari sepuluh menit mobil membelok ke kanan, mengalun pelan melewati portal dan pos penjagaan yang tertapa apik. Agak turun melandai mobil menuju ke sebuah bangunan yang nampak beberapa panitia sedang menanti kedatangan peserta. Sesegera mobil naik ke kanan masuk pelataran villa.

Wuaah..leganya hati telah sampai pada tujuan akhir sebenarnya. Serta merta para peserta sudah berada di luar mobil disambut beberapa panitia. Dengan senyum ramah sigap meraih tangan peserta, menyalami dan menunjukkan tempat peristirahatan peserta. Rupanya villa tempat mobil kami berhenti tadi, dikhususkan untuk kaum hawa.
“Yang cowok ta’ ajak olahraga dulu, cari keringat..”, ujar seorang panitia tinggi berkerudung, Mbak Dian namanya, menyisakan tanda tanya. Peserta ho oh saja membeo mengekor di belakangnya. Di depan, di samping Mbak Dian, Mbak Ida berperawakan lebih kecil berkerudung juga menemani, turut menyertai cewek berbaju hitam biasa kami panggil Mbak Sari.
Setelah melewati taman, kami bergegas melewati trotoar depan villa yang berjejer rapi. Terhitung sudah delapan villa lebih yang kami lalui. Namun, belum juga ngeh maksud cari keringat. Hingga kami berhenti tepat depan sebuah villa. Di atas kaca lampu samping pintu masuk terpatri nama “welirang”. Woalaah..ini yang dimaksud cari keringat. Ternyata tempat peristirahatan peserta cowok ditempatkan jauh dari gedung pelatihan. Memang, butuh keringat juga sih.

Villa yang kami tempati benar-benar memanjakan. Ruangannya bertingkat dua menurun ke bawah. Memiliki 3 kamar, satu kamar mungil dengan ranjang “two on one bed” di lantai pertama. Kamar satu lagi juga mungil dengan “double bed”. Sisanya, kamar besar satu ranjang “two on one bed” ditambah empat buah kasur busa di atas lantai. Dua kamar yang terakhir berada di lantai kedua, bawah lantai pertama. Di tiap kamar tersedia kamar mandi lengkap dengan bath tub dan shower-nya disertai pilihan air panas dan dingin. Jika masih kurang nikmat? tinggal, blurrr… kolam renang belakang villa dengan view padang golf terbentang yang sesekali berseliweran nona-nona paddy girl menambah segarnya suasana berenang. Brrrr…segerrr…oui.

Tak kalah menariknya. Demi memperindah ruangan villa agar tak terkesan monoton, di beberapa dindingnya dipajang aneka lukisan. Mayoritas beraliran abstrak kubismenya “Picasso”, sebagian ada lukisan lugas khas childish, sedikit yang mengusung tema-tema realis. Lukisan-lukisan tersebut terasa berimbang dengan komposisi furnitur yang tersedia. Guna menghindari kesan sumpek, furnitur yang bisa mengakomodir kebutuhan peserta, yang memang banyak tersedia di sini, di-setting built in pada dinding. Sisanya yang tak memungkinkan di-set serupa dibiarkan non-built in. Dengan permainan ini, kesan lapang tetap terjaga.

Seiring gerimis turun mengiris, teman-taman peserta dari TBM dan STO Pasuruan, satu persatu sampai pada villa. Mereka datang tak dijemput, pulang juga tak diantar (he..he..emangnya jelangkung ta??..). Uniknya, usia peserta dari pasuruan dominan muda. Beda banget dengan rombongan dari Surabaya, tuwir-tuwir bro!!..he.. he..
Jarum panjang jam dinding villa menunjuk angka 1 lebih dua titik. Masih ada paruh waktu untuk sekedar rehat melepas lelah, mandi juga sholat. Efisiensi waktu harus berlaku di sini. Di lembaran skedul tersusun acara teramat padat. Wajar, waktu pelatihannya hanya dua hari, tak lebih. Untungnya setengah hari pertama ada rentang waktu senggang lebih panjang. Baru jam 2 nanti kami makan siang bersama sekaligus registrasi. Lalu, istirahat satu jam dilanjutkan pembukaan acara pelatihan pada jam tiga.

Jam tiga lebih beberapa menit peserta sudah memenuhi seisi ruang pelatihan. Meja kursi sudah tersusun rapi. Peserta sejenak duduk. Namun, tiba-tiba dikomando mendekat berkerumun mengelilingi sesosok perempuan tinggi sedang, rambut bergelombang, cekeran. “Mari kita bermain sebentar agar lebih fresh”, mbak yang kelihatan enerjik ini mengawali pembicaraan. Peserta cuma mesam mesem menunggu permainan apa yang akan diketengahkan. “Kepala..bahu..pinggul..lutut dan kaki..”, sambil memegang bagian anggota tubuh yag disebutnya, mbak yang ternyata bernama Eli, memberi gambaran jenis permainannya, “setiap anggota tubuh yang kusebut harus disentuh dengan tangan sambil digoyang. Yang salah gerakan, berdiri di tengah lingkaran memimpin permainan!!..”. Sontak, gerrr.. para peserta.
Dengan berakhirnya penjelasan mbak Eli, permainan seketika meledak. Gaduh. Ketawa-ketiwi para peserta bersahut-sahutan sepanjang permainan. Peserta langsung terhanyut dalam riuhnya. Sisi kelucuan mereka terungkap kontan di sini. Pinggul, kaki, bahu digoyang. Satu persatu peserta menjelma seolah inul dengan ngebornya, ada yang bergoyang gergaji ala Dewi Persik, ngecornya uut pun merasuk dalam gerakan mereka. Benar-benar seru man!.
Keringat yang mulai kemarin bersembunyi di balik kulit jangat, kini berani nongol melalui pori-pori kecil (merasa gerah kali ya..terus-terusan berada dalam kulit). Belum sempat keringat menguap, tiba-tiba.., “tak enak rasanya jika pertemuan ini tidak saling mengenal”, suara Mbak Eli kembali terdengar, seperti tak berkurang sedikitpun energinya. “Tiap peserta harus tahu nama tiga teman di sebelah kirinya. jika salah, perkenalan di-replay di depan…”. Spontan lingkaran peserta carut marut, masing-masing peserta sibuk menguber data tiga nama dari sebelah kirinya. Derai gelak tawa kembali meledak tak tertahan.

Belum usai tawa berderai. “Sekarang masing-masing peserta harus tahu enam nama sebelah kanannya, mulai!..”. Mbak Eli belum juga menghentikan kemeriahannya. Semakin kacaulah lingkaran disertai teriakan kegelian para peserta. Tiap orang berlarian ke sana kemari hanya demi mengorek enam nama teman sebelah kanannya. Napas tersengal memburu bebarengan dengan derasnya keringat mengucur tak dihiraukannya. Memang, permainan ini benar-benar menghanyutkan. Semua terlibat membaur. Tak ada sekat membatasi perbedaan. Semua tampak menyatu. Batasan usia yang memang kontras mendadak membias tak jelas. Dalam sekejap, perkenalan mengalir bebas, tak lagi saklek kaku. Sepuluh jempol buat Mbak Eli (uups..jempol penulis Cuma empat. Gak apa ah..yang penting te o pe habis deh!).

Peserta mulai kembali ke tempat duduknya dengan menyisakan desah memburu di petikan napasnya. Tak lebih dari sesruputan air minum, acara dibuka dengan beberapa sambutan.. Semua personel panitia diperkenalkan satu persatu. Direktur YPPI, Mbak Trini, turut memperkenalkan diri. Jargon dadakan tercipta di sini, “YPPI?”, “yess!!”. “TBM?”, “ok!!”. Jargon inilah yang selalu dikumandangkan saat acara dirundung lesu. Bagai bertuah, acara perlahan hidup.

Sambutan dilanjutkan dari pihak Sampoerna diteruskan Bapak Bambang, Kepala Arsip Kepustakaan Kab.Pasuruan mewakili pihak “tuan rumah”. Dengan dibantu “slide show” beliau memaparkan serba-serbi seputar siklus arsip berikut perputaran informasi dunia kepustakaan.
Bapak Bambang, yang pernah menjabat bapak camat sebanyak tiga kali ini, mengurai sambutannya dengan penjelasan tentang kearsipan kepustakaan Pasuruan. Di samping membahas kinerja personel perpustakaan Pasuruan, bapak berkumis tipis ini juga menunjukkan lokasi-lokasi perpustakaan cabang pasuruan yang tersebar di pelbagai kecamatannya beserta kemajuan-kemajuannya yang telah dicapai oleh instansi tersebut.
“Allahumma baarik barnaamajanaa…laa sahla illa maa ja’altahu sahla…”, petikan doa sapu jagat Ustad Rofi’ie mengalun hikmat, serentak diamini seluruh penghuni ruangan. Mudah-mudahan pelatihan ini membawa berkat dan manfaat.

Demi mempermudah jalannya koordinasi peserta, dibentuklah “tetua suku” peserta. Bapak Kartono, tokoh LSM di bilangan “Dollywood”sono, didaulat secara aklamasi sebagai “tetua sua”. Sedangkan Ibu Dien Syamsudin, eh… Ibu Dien Syamsul ditunjuk menemani sang tetua..
Deddy A. Machdan, Redaktur Pelaksana Majalah Lentera, majalah internal Perusahaan Sampoerna, membuka presentasi pertama. Materi yang dibahas tentang pengenalan bentuk media dan bentuk tulisan. Pembahasannya banyak disangkutpautkan dengan sejarah keberadaan Lentera, majalah yang digawanginya. tetek bengeknya dikuliti habis-habisan.dari mulai cerita suka dukanya mengurus Majalah Lentera, hingga memberi trik-trik ringan gimana cara mengatasi kendala-kendala yang ditemuinya. Pria lajang yang pernah nimba ilmu di negerinya Ratu Elizabeth sono. Menyajikan presentasinya secara interaktif. Malah, cenderung menjemput “bola”. Banyak pertanyaan yang dilontarkan dijawabnya dengan tuntas. Meski, ada saja yang bersifat sangat privacy. “Usia Kang Deddy berapa sekarang?”, tanya salah seorang ibu. “Sudah menikah apa belum?”, suara ibu lain ikut menimpali. Yang ditanya menjawab sambil cengengesan. Sosok pria berkaca mata ini memang, selera ibu-ibu banget. Di samping pinter, kasep lagi (high quality menantu kali ya... he..he..). Pertanyaan yang sempat dijawab tadi, secara tidak disadari membuka “kedok” Kang Deddy. Ternyata, hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-29. sontak, koor “happy birthday” yang dipimpin Bu Dien mengalun syahdu dalam ruangan ber-AC ini. Untuk hal yang satu ini, kaum ibulah yang paling antusias.
Sesi pertanyaan yang sempat tertunda oleh momen tak terduga ini, dilanjutkan kembali. Namun, belum genap setengah jam-an, kue “illegal” hasil persekongkolan panitia mendadak muncul. Konspirasi ini sengaja di-set untuk membuat surprise pria berpostur agak kurus ini. Agar lebih terkesan dramatis, lampu ruangan di-off. Terjadilah pemotongan kue. karena kuenya mungil, potongannya hanya dibagi ke beberapa peserta saja.

Jam di ponsel telah menjelang jam sembilan malam, Kang Deddy telah memberi sinyal akan mengakhiri presentasinya. Namun, sebelum disudahi, pria berkulit kuning ini, ternyata, juga mempersiapkan kejutan untuk peserta. Kaos dan mug bersablon Lentera ditebar ke seluruh peserta. Terpancarlah wajah sumringah mereka. Thanks ya Kang Deddy.

Sabtu 13 Desember 2008

Pagi-pagi. Lagi-lagi gerimis menyapa hari. Peserta beranjak pergi menuju gedung pelatihan. Di teras gedung telah tersaji aneka menu sarapan pagi. Sebagian peserta nampak telah menyudahi sarapannya, sebagian lain masih sibuk menciduk nasi.

Tepat jam delapan pagi, sesuai agenda. Seluruh peserta sudah nangkring di kursinya masing-masing. Seperti kemarin, tidak afdol rasanya jika tidak dimukadimahi permainan. Pokoknya, di pelatihan ini, permainan hukumnya wajib. Gak boleh tidak. Sebagai penyemangat permainan, masih juga Mbak Eli. Bola dijadikan media pengocok perut peserta. Serta merta suasana mulai mencair seiring mencairnya keringat peserta.

Ketua KJPL (Komunitas Jurnalis Pecinta Lingkungan ), Mas Teguh Ardi Srianto, membuka materi tentang penulisan berita. Dengan slide show, bapak kelahiran surabaya ini, mengupas tuntas segala hal tentang teknik penulisan berita di media. Di tiap akhir sub-bab materinya, dibuka kesempatan untuk bertanya. Tiap peserta ambil bagian, terutama kaum ibu, merekalah yang lebih aktif memanfaatkan sesi ini.

Di akhir materi, bapak yang menggeluti profesi wartawan karena “kecelakaan” ini –beliau sarjana hukum-, memberi tugas menulis berita. Serempak peserta mulai sibuk menguntai kata. Beragam berita telah tercipta. Sebagian dibaca sebagian tidak. Yang terbaca kebanyakan lucu. Ada berita mirip proposal, ada serupa surat (surat cinta kali?..he..he..) juga ada yang hampir persis sama dengan teman semejanya (ngopy ya..).

Anas Pandu Gunawan. Begitulah nama lengkap penyaji materi teknik menulis opini di media massa. Tak terlalu banyak yang dibahas oleh bapak satu anak ini. Di samping karena memang waktunya tak sepanjang materi penulisan berita, juga segmen opini cakupannya tak seluas menulis berita. Wartawan yang “bollywood” banget ini, juga menyediakan sesi tanya jawab. Lagi-lagi kaum ibu mendominasi alur sesi ini. meski, tak sedikit juga kalangan muda yang aktif berpartisipasi. Tak beda dengan mas teguh, wartawan yang juga mantan atlit renang ini, menyediakan waktu bagi peserta untuk menuangkan pendapatnya tentang apa saja di atas kertas. Nampaknya opini lebih mudah daripada berita, karena, opini memberi kebebasan mengeksplorasi khazanah inspirasi, tak harus connect dengan data faktual. Apa yang ada dalam batok kepala dibiarkan mengalir mengikuti gerak lincah pena tanpa harus mematuhi batasan tertentu. Hal ini dapat diketahui dari beragamnya tema yang diusung, juga, semakin panjangnya isi tulisan peserta.

Materi terakhir dari pelatihan hari ini, pengenalan fotografi. Materi yang diulas oleh mas ipung, begitu dia biasa dipanggil, cukup menarik, meski, kadang ada istilah-istilah yang sulit di ngeh peserta. Penjelasan secara visual lebih ditonjolkan di sini. produk jepretan pria nyentrik ini, satu persatu dibahas. Bahkan, ada beberapa karyanya yang pernah menjuarai berbagai perlombaan, dikupas. Nampaknya materi terakhir ini lebih nyantai, tak terlalu banyak teori dijejalkan, jadi, tak begitu menguras energi.

Di sela-sela penjelasannya, tak jarang, pria bernama lengkap Bhakti Pundhowo, memperagakan teknik-teknik pengambilan gambar. Mulai dari framing, bagaimana angle yang benar, rekayasa fill in atau fill out, hingga teknik pemilihan sudut yang sering menghasilkan gambar bagus. Di akhir materi, mas ipung memberi tips kreatifnya; “Setiap mau ngambil gambar, usahakan cari sudut yang paling ekstrim, sudut yang tak biasa digunakan..karena bisa menghasilkan gambar lebih impresif, tidak nge-flat..”.

Minggu 14 Desember 2008

hari ini adalah hari terakhir pelatihan. Maunya sih, lebih berlama-lama lagi. Apalah daya angan tak sampai… nanti, sekitar jam satu siang, seluruh acara sudah harus rampung, dan, seluruh peserta sudah harus check out. Seusai acara sarapan, tersisa satu acara terakhir, pamungkas dari rangkaian acara pelatihan. Terlihat mulai ada kerumunan peserta dalam gedung pelatihan, tepat pada saat jam menunjuk pukul setengah sembilan pagi. Rupanya telah berlangsung briefing, apalagi kalau bukan permainan. Memang, tak henti-hentinya panitia mengkombinasikan pelatihan dengan permainan. Suatu setting yang cerdik. Di samping menambah serunya acara, juga bisa memanej acara supaya tak terjebak pada kejenuhan.
“YPPI ?…”. “yess!!..”. “TBM?..”. “ok!!..”, Mbak Trini, selaku Direktur YPPI, membuka acara perumusan konsep general bulletin TBM dengan meneriakkan jargon khasnya yang langsung serempak dijawab seluruh peserta.

Sungguh seru!!. Acara yang diawali dengan presentasi usulan nama buletin dan rubrikasinya oleh wakil kelompok yang telah ditentukan kemarin malam, menuai beragam komentar. Masing-masing kelompok saling menjelaskan uraiannya. Voting pun digelar. Ada beberapa yang kurang setuju, bahkan ada pula yang abstain. Mbak Trini, sedikit kewalahan mengatasi interupsi-interupsi yang membombardir. Untungnya, karena bawaannya tegas, fokus acara tak kabur. Acara masih bisa di-handle. Meski, hasil musyawarah masih mentah. Hasil voting tetap disepakati, dengan catatan akan ada perumusan lebih mendalam oleh tim kecil yang segera diadakan beberapa hari setelah acara pelatihan.

Detak jam mengisyaratkan pada angka 12 tepat. Menandakan akan segera berakhirnya acara pelatihan penulisan media. memang tak ada awal tanpa akhir, momen ini harus segera disudahi. Terlihat seluruh peserta dan panitia sudah terlibat saling salam–salaman pertanda akan segera berpisah.Gita sayonara terasa berinteraksi dari hati ke hati antar panitia dengan peserta.
Salut buat kepiawaian panitia dalam menjaga stabilitas kesegaran acara. Sepanjang bergulirnya acara, nyaris kemeriahan selalu tercipta. Tiada sesi berlalu sepi, hampir seluruh peserta berpartisipasi, terutama ibu-ibu begitu sangat mendominasi. Jika seandainya ada penobatan “man of the match” buat acara ini, tentu ibu-ibulah orangnya.

Jam satu berlalu. Bus mini yang kami tumpangi telah berangsur meluncur turun meninggalkan lokasi. yap! kami akan kembali pada hiruk pikuk “belantara beton”, habitat kami. Rombongan warga “belantara beton” yang sempat terbagi dua waktu pemberangkatan, kini, kumpul jadi satu. Berdesak-desakan?? pasti. Bukankah yang berdesak-desakan inilah yang bisa mempertebal kebersamaan?? So pasti!!..
Read More......

URGENSI BENCANA KEMANUSIAAN PALESTINA DI ANTARA TUDINGAN KECURIGAAN TAK BERDASAR


Tanggapan Atas Kecurigaan Banwaslu Terhadap Demo Kader PKS (2/1/2009)

Sangat sulit dimengerti, di saat sekelompok orang berusaha berbuat baik justru malah deraan kecurigaan dituai. Maksud hati turut menunjukkan empati terhadap saudara kita di belahan dunia lain yang sekarang negerinya dibombardir tanpa ampun oleh sang penjahat perang sombong, keparat Israel. Eh.. Banwaslu, yang katanya punya peran vital mengawal pesta demokrasi sibuk mengendus, mencari-cari "kemungkinan" kecacatan aksi solidaritas yang digelar PKS di bunderan HI, jumat 2 Januari baru-baru ini.

Dalam berita yang dilansir Jawa Pos (3/1/2009) halaman ke-2 dituturkan bahwa salah satu anggota Banwaslu, Bambang Eka Cahya Widodo mencurigai adanya motif kampanye terbuka di belakang aksi demo kader PKS. Dengan hanya berpatokan pada atribut-atribut partai yang memang banyak dibawa peserta juga dari laporan keresahan dari beberapa golongan masyarakat – entah golongan mana yang dimaksud- Banwaslu meyakini ada indikasi penyusupan misi kampanye. Bahkan Pihak Banwaslu berencana mengusut dan memperkarakan "pelanggaran" tersebut.

Selang satu hari, dalam media yang sama, koordinator nasional dari sebuah lembaga independen , JPRR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat), Jeirry Sumampow mengamini apa yang dicurigai oleh Banwaslu. Malahan Jeirry menambahkan perlu adanya teguran kepada PKS. Namun, Tiffatul Sembiring, presiden partai tertuduh, membantah jika partainya sengaja menunggangi demo tersebut dengan misi kampanye. Urang minang tersebut justru menantang Banwaslu untuk menemukan bukti-bukti adanya motif kampanye.
MANA YANG LEBIH URGEN?
Apakah masih relevan di saat bencana kemanusiaan terjadi bebarengan dengan masa kampanye, kebebasan berekspresi terdistorsi oleh aturan-aturan kaku yang kurang menoleransi. Sudah tidak laik lagi untuk mengungkit keabsahan aksi demo di saat masyarakat membutuhkan media untuk menumpahkan kekesalan mereka terhadap serdadu biadab Israel. Bagaimana bisa Banwaslu masih sempat saja mencurigai aksi demo tersebut. apakah mereka tak menyadari bahwa reaksi spontan kegeraman beberapa komponen bangsa atas kebengisan Israel dengan membawa identitas komunitasnya merupakan sebuah kewajaran yang masih bisa diterima.

Suatu hal yang biasa bahwa suatu aksi tertentu pasti membawa serta "baju" yang menunjukkan identitas mereka. Panji, spanduk atau apa saja yang berhubungan dengan komunitas tersebut jamak diketahui. Mungkin yang sedang diributkan Banwaslu hanyalah sekedar kebetulan saja yang memang aksi demo yang digelar mendekati masa-masa kampanye. Namun apakah alasan ini yang membuat Banwaslu memperkarakan aksi demo mereka?.

Kalau kita mau jujur dan sedikit fair, sebenarnya bukan kali ini saja PKS menggelar aksi serupa menentang agresi begundal Israel. Bukan di momen kampanye saja partai tersebut menyuarakan aspirasi, di saat dibutuhkan untuk berdemo partai ini bergerak, aksi mereka bersifat aktual dan spontan, bahkan jauh sebelum masyarakat dunia ramai "mempergunjingkan" kepongahan Israel, PKS, sebagai parpol telah lama berteriak lantang. Bisa dikatakan, secara internasional, -dengan tidak bermaksud mengurangi peran ormas dan elemen masyarakat lain- parpol inilah yang mempelopori adanya penentangan agresi militer Israel, mereka paling konsisten memperjuangkannya. Lalu, Apakah kita masih mencibir aksi ini sebagai akal-akalan kampanye saja?.

Teramat sangat naïf jika kita langsung mencap aksi demo ini ditunggangi kepentingan kampanye. Jika hal ini dijadikan patokan, maka jangan harap parpol-parpol yang lain –yang seharusnya menjadi cororng aspirasi rakyat- tergerak mengekspresikan kemarahan mereka kalau sedikit saja sudah keburu diklaim "opportunis", memanfaatkan situasi. Bukankah lebih baik peristiwa ini dijadikan tolok ukur sederhana untuk menilai sejauh mana kepekaan "urat saraf" para penyambung lidah rakyat (parpol) yang jumlahnya kian membiak.

Selain itu, mestinya kita mengambil pesan sisi kemanusiaannya. Bukan malah meributkan tetek bengek yang kurang urgen diketengahkan. Memang benar peristiwa palestina sudah menjadi isu global saat ini, tapi bukan berarti pengerahan ribuan massa dengan mengusung identitas tertentu menjadi hilang kebermaknaannya. Bukankah demo besar-besaran ini setidak-tidaknya bisa menekan agresor Israel untuk mengurungkan niat bejatnya. apalagi jika segenap partai dan seluruh komponen masyarakat ikut bergerak, tentu akan jauh lebih berdampak

Setidaknya suara yang kita teriakkan bisa menenangkan kenestapaan hati bocah palestina tak berdosa. Apalagi kontribusi kita bisa berwujud rupa. Dalam hal ini kita harus bangga pada pemerintah kita –meski kita masih harus menuntut lebih dari pemerintah-, rupanya pemerintah kita selangkah lebih tergerak dibanding negara lain. Apalagi negara-negara liga arab yang bak "macan tolol" kehilangan "taringnya".

Eman. Sungguh sangat eman. Energi kita terkuras sia-sia hanya untuk mempersoalkan kelegalan aksi ini. tidakkah lebih baik kita "bercapek-capek" menghujat kedzoliman Israel. Ikut larut dalam gemuruh kemarahan masyarakat , menentang agresi Israel bejat. Bukankah aksi ini merupakan perwujudan dari keteguhan kita menjunjung amanat "founding father" kita. Betapa berharganya bila kita berpeluh karenanya. Ikut berperan meneriakkan anti penjajahan.

Sungguh tidak arif jika Banwaslu masih saja "ngotot" mengorek-orek "behind message" aksi demo PKS. Suudzon yang yang kurang tepat ditempatkan ini selayaknya kita tangguhkan sejenak. Mari kita sedikit mengendorkan urat leher kita, mari kita lebih membuka mata lebar-lebar. Kita jangan hanya terlalu menyorot indikasi adanya motif lain (kampanye) di balik aksi PKS. Esensi misi yang mereka usung jauh lebih berarti dan urgen daripada hanya meributkan hal "kekonyolan" ini.

Sudahlah, sudah. Jangan terlalu dipolitisir. Apa yang mereka pertontokan sebenarnya hanyalah merupakan refleksi kemarahan yang sudah tak bisa ditahan. Urat saraf mereka bagai tertusuk ratusan jarum melihat negeri palestina di bumihanguskan. Emosi siapa yang tak membuncah melihat kebiadaban ini. Tidakkah mereka tak tersentuh melihat bocah-bocah Palestina dibantai. Tidakkah mereka mendengar jerit tangis kepiluannya di antara desingan peluru dan dentuman martir bajingan Israel. Nyawa tak berdosa menguap sia-sia bersama pekatnya asap hitam yang mengepul di sela-sela reruntuhan bangunan sipil yang diluluhlantakkan oleh si "perompak tanah" durjana, Israel laknatullah.

Maka, sangat "out of date" bila Banwaslu –atau siapa saja- masih terus saja meributkan hal ini. Akan terkesan lebih bijak jika kita mengamini dan mengapresiasi aksi mereka, daripada hanya sekedar berpangku tangan, ongkang-ongkang menutup telinga apalagi menghujat sinis aksi mereka. "Aah.. itu hanya akal-akalan PKS untuk menaikkan pamor menjelang pemilu…".

Dan, tentu akan nampak lebih terhormat bila kita singsingkan lengan baju, slempangkan slayer, berderap bersama turun ke jalan satukan atribut kita dari mana saja kita berasal, lalu angkat tinggi-tinggi panji kita, teriakkan bahwa kita bangsa yang sangat anti penjajahan, kita adalah bangsa yang alergi terhadap ketidakadilan, bangsa yang masih punya hati nurani. Mari kita buktikan bahwa "urat saraf " kita masih sehat.
Read More......

Januari 19, 2009

TERNYATA MANUSIA TERLAHIR ADALAH (UNTUK) MEMBACA


Dari Membaca Peradaban Bermula

Selagi asyik selonjoran di masjid, punggung kusandarkan pada tiangnya, sedang angin isis berhembus lembut, penat yang memberat terasa ringan menguap, lamat-lamat terdengar lantunan suara orang mengaji di balik jendela kaca dalam masjid. Suaranya lirih. Nyaris tak terdengar. Namun aura kebersungguhan nampak jelas dari intonasi dia mengaji. Petikan tiap ayatnya siratkan kesempurnaan dia mengaji. Tarikan dan hembusan napas tepat pada tempatnya. Tak pernah terlewat atau berlebih, semua teratur, terasa pas. Sungguh minatku untuk menyimak semakin tergugah.

Kupasang telinga lebar-lebar. khawatir ada satu kalimat tak terdengar terlewat. jidat yang tadi kuelus mulus, berubah agak berkerut. Rupanya aku mulai serius nih, batinku.

Kembali telinga kuarahkan ke arah sumber suara. Kepekaan gendang telinga kupertajam. Volume konsentrasi kunaikkan hingga mendekati batas maksimum. Perlahan aku mulai menenggelamkan diri pada indah bacaannya. Seperti ada intervensi magis, aku terlarut dalam perjalanan panjang perenungan.

Satu persatu ayat-ayat melayang deras ke telinga. Dengan sedikit khazanah bahasa arab yang masih belepotan, kucoba memahami makna. Bak mengunyah makanan, kukunyah tiap petikan ayat yang kudengar. “Ya Allah ampunilah keterbatasan ilmuku jika aku tersalah memahami setetes ilmu-Mu” doaku dalam hatiku.

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat. “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”. Mereka berkata : mengapa Engkau hendak menjadikan seseorang yang akan membuat kerusakan padanya dan bertumpah darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman : “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al Baqarah-30)

Sejenak kutertegun tatkala telinga disapa ayat ini. Ada ekstasi menyeruak di hati.. Entah kenapa tiba-tiba aku tertarik pada “percakapan” sakral ini. Aku merasa ada yang janggal di sini. sungguh ayat ini sisakan misteri.

Bagaimana tidak. Malaikat yang kukenal selama ini sangat loyal pada Majikannya, tiba-tiba berani menggugat. Kalau saja mau mengukur tingkat loyalitas sang malaikat di antara semua makhluk ciptaan-Nya, dijamin tidak akan pernah ada yang menyamainya, apalagi hanya sekedar pejabat-pejabat di sono itu yang di bahu dan dadanya tersemat rentengan aneka bintang penganugerahan, wuaaah… gak ada sekukunya bo!.

Mengapakah Malaikat yang kutahu setiap Majikannya bertitah selalu berucap “siap laksanakan!” kok mendadak menyanggah. Dengan tanpa sungkan, malaikat berani interupsi, bahkan dengan “belagu” malaikat menggugat. Ada apa dengan malaikat?. Adakah gugatan malaikat mengandung kebenaran?.

Menariknya lagi, Sang Maha Pemilik Titah sedikitpun tak menampakkan kemarahan-Nya tatkala para “staff” setia-Nya berani menginterupsi “master plan”-nya. Malah dengan keMahaLembutan-Nya, Dia berujar “diplomatis”, “Hai para malaikat-Ku yang setia Aku ini mengetahui rencana-Ku lebih dari apa yang kalian tahu!”.

Dalam awang pikiran berkecamuk pertanyaan. Bagaimanakah malaikat tahu seolah-olah malaikat dapat bocoran tentang adanya profil makhluk ini, bukankah Allahlah Sang Pemilik teknologi anti sadap tercanggih. lagipula Allah “mempresentasikan” proyek besar-Nya sekonyong-konyong pada saat itu saja. Allah pun belum pernah mengadakan “jumpa pers” sebelumnya kepada malaikat.

Aku mulai mencoba mereka-reka “percakapan” unik ini. Bisa jadi makhluk yang dirasani malaikat benar-benar berkarakter amoral brutal kerjanya hanya saling bertumpah darah, menghabisi satu sama lain. Lagi pula Allah sendiri sama sekali tidak menyanggah uraian malaikat. Jawaban Allah terkesan tidak mengiyakan dan juga tidak membenarkan praduga malaikat. Seolah-olah sanggahan malaikat benar adanya.

Jika kucoba ”cross check”. Setelah makhluk yang ternyata bernama manusia tercipta. Aku terperangah. Ternyata dugaan malaikat tak meleset. Manusia benar-benar punya insting perusak. Di sana sini kerusakan olah tangan manusia tak terbendung. Alam yang diamanahi Tuhan perlahan berubah ekosistemnya, keseimbangan Njomplang. Di belahan dunia manapun banyak terjadi tragedi kemanusiaan. Sepanjang sejarah manusia pentas pembantaian tergelar, bahkan nyaris setiap perang berakhir, berakhir pulalah eksistensi komunitas tersebut.

Apakah ini misi tuhan menciptakan manusia?. Tidak. Sama sekali tidak. Apa maksud di belakang rencana Tuhan menciptakan khalifah?.

Belam sempat terjawab. Tiba-tiba ayat selanjutnya terdengar mengalun,

“Dan Dia mengajarkan kepada adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada malaikat lalu berfirman : “sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”. (Al Baqarah-31)

Seketika malaikat terhenyak mendengar pertanyaan Allah. “Sidang” mendadak senyap. Semua membisu tak ada satupun mampu menjawab sebagian kecil rahasia ilmu Allah. Nampaknya malaikat menyadari “kebodohannya”. Seketika para malaikat serempak tertunduk malu.. dan ayat pun kembali mengalun ;

” Mereka berkata (malaikat) : Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami ; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Al Baqarah-32)

“ Allah berfirman ; Hai Adam beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda (ilmu) ini. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman : Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan?.” (Al Baqarah-33)

“ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kepada Adam kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (Al Baqarah-34)

Ayat-ayat terus deras mengalun. Satu persatu Ayat menceritakan Adam diperintah mendiami surga sepuasnya. segala fasilitas dan hasil sumber daya alam surga diperkenankan dijamah sesuka hati adam beserta istri. Kecuali satu pohon yang dilarang mendekatinya.

Namun, tipu daya iblis mampu merontokkan hati adam untuk melanggar larangan Allah. Adam yang cerdas akhirnya terjerembab dalam kubangan dosa. Rupanya napsu adam telah menguasai kecerdasannya. Spiritualitas Adam terkoyak. Maksiatnya pun mengantarkan dia terusir dari surga.

Aha!… pertanyaan yang belum sempat terjawab sedikit terkuak. Secercah hikmah yang tersirat mulai menyeruak.

Seketika Adam tercipta. Allah segera memperkenalkan nama-nama benda yang terserak di surga. Allah mengajaknya belajar membaca rahasia segala hal. Membaca beragam ayat-ayat Allah yang terhampar di selaksa semesta. Hari-hari pertama Adam sungguh disibukkan dengan membaca, membaca, dan membaca.

Bahkan, demi proyek besar ini, Allah pun “turun” langsung membina Adam membaca.

Allah membimbingnya membaca, “privat”, sendiri, tanpa perantara.. Sepertinya Allah menyengaja mengatasi “bimbingan belajar” ini tanpa mendelegasikan tugas pada makhluk-Nya yang lain. Allah benar-benar mengistimewakan si makhluk “bungsu” ini melebihi makhluk manapun.

Aktivitas pertama Adam memiliki visi jelas jauh ke depan. Memori Adam yang masih perawan diisi dengan hikmah-hikmah ilmu yang tidak mampu dijangkau oleh makhluk lainnya. Sebelum motoriknya berkembang sempurna Allah telah menanamkan kecerdasan dalam otaknya. Allah menghunjamkan pada jiwa Adam semua kebijaksanaan Rupanya Adam diarahkan pada sosok karakter makhluk yang berperadaban. Untuk mengemban amanah sebagai khalifah di bumi, adam hanya dibekali kemampuan membaca. Sekali lagi, membaca.

Sebegitu pentingkah membaca, sehingga Allah memerintahkan Adam untuh membaca sebelum perintah yang lain? Seberapa vitalkah, sehingga budaya membaca ditanamkan sejak dini pada diri Adam?

Kalau ditarik jauh kedepan, setelah cicit Adam berpuak-puak, secuil rahasia Tuhan terpecahkan. Ternyata budaya membaca sangat menentukan seberapa tinggi kita memiliki peradaban. Banyak peradaban dibangun dari buah pikir hasil membaca. karya-karya agung manusia berdiri di segenap penjuru negeri terlahir dari tangan-tangan bangsa yang mengagungkan membaca. Maju mundurnya suatu bangsa bisa dilihat dari seberapa istimewanya kedudukan membaca dalam hatinya. Jika budaya membaca sudah tercerabut dari hatinya jangan harap kemajuan akan teraihnya.

Siapa sangka bangsa jepang yang kotanya hancur diluluhlantakkan tentara sekutu pada perang dunia pertama kini tiba-tiba mampu menyamai kemajuan Amerika. Tak terlintas dalam pikiran negeri yang ribuan rakyat serta orang terbaiknya lenyap sekejap oleh bom nuklir berdaya ledak dahsyat dengan panas melebihi 1 juta derajat celcius mampu membangun kembali negerinya bahkan jauh melampaui kemajuan bangsa yang lebih dulu mapan.

Coba kita bandingkan dengan Indonesia, bangsa yang lebih awal menata negerinya setelah terbebas dari keterjajahan (indonesia merdeka setelah kota Hiroshima dan Nagasaki dibombardir tak bersisa). Namun nyatanya bangsa jepang melesat jauh meninggalkan Indonesia yang masih tertatih-tatih mengejar ketertinggalannya.

Apa gerangan yang telah dilakukan jepang? Ternyata pasca perang jepang menggalakkan program pembelajaran besar-besaran. Guru yang tersisa dihimpun, padanyalah diserahkan amanah membangun kembali negeri yang telah porak poranda. Putra yang terbaik dikirimnya ke luar negeri. Sang kaisar berkeyakinan bahwa hanya dengan membangun kembali budaya membaca dan belajar, negeri ini kembali bangkit.

Akhirnya terbukti. Bangsa jepang menjadi bangsa yang sangat menghargai buku. Menjadi bangsa yang benar-benar sangat doyan membaca. bangsa yang memiliki tingkat konsumsi tinggi terhadap buku. Adalah suatu pemandangan yang lumrah jika di setiap sudut jalan, dalam bus maupun kereta ditemui rakyat jepang sibuk “mengunyah” buku. Maka tak heran jika bisa mendahului bangsa lain yang lebih lama maju. Lalu, Indonesia? Boro-boro membaca, sekedar menenteng buku saja sudah disinisin oleh yang lain, “ koyo yo yo’o ae. Ojo keminter coy!..”. Di Indonesia membaca masih dinomorsebelaskan, nasib buku tak lebih dari pembungkus kacang saja. Tragis!

Membaca pun juga mampu meminimalisir keterbelakangan suatu bangsa. Bahkan bangsa yang barbar sekalipun bisa dirubah karakternya hanya dengan membaca.. jazirah arab dulunya kawasan tak bertuan, sebuah kawasan yang dikuasai oleh kelompok-kelompok suku yang saling berperang satu sama lain. Bangsa arab adalah bangsa yang suka mengubur bayi perempuannya hidup-hidup. Bagi mereka wanita hanya membawa kemalangan, memilikinya merupakan aib terbesar. Di sepanjang jazirah arab praktik perbudakan tak berperikemanusiaan telah lama berlangsung. Bahkan daerah ini pun merupakan pusat terbesar pasar bebas perbudakan di zamannya.

Namun setelah kedatangan Islam semuanya berubah. Agama yang meletakkan perintah Iqra’ (membaca) sebagai perintah pertamanya bangsa arab menjelma menjadi bangsa besar. Dengan menempatkan membaca sebagai landasan utamanya, bangsa yang dulu kerdil mampu menaklukkan dua legenda imperium besar, romawi di Eropah dan Persia di Asia. Bangsa yang sebelumnya gemar mengubur anak perempuan kini menjadi bangsa yang pertama kali mengangkat dan melindungi harkat martabat dan derajat wanita. Bangsa yang mana hak-hak hidup budak tak dianggap telah berubah menjadi bangsa yang memelopori persamaan hak, seketika budak-budak banyak dimerdekakan. Serta merta diskriminasi rasial (pemicu utama perbudakan) lenyap. Semua ini tak lain dan tak bukan karena geliat membaca telah mengakar membentuk karakter baru sebagai bangsa berbudaya membaca.

Namun membaca pun tak mutlak bisa mengendalikan karakter barbarisme suatu bangsa. Membaca pun bukan garansi utama mampu mengikis kejahiliyahan akhlak suatu bangsa. sang bapak manusia pun, yang malaikat tunduk takzim padanya karena kecerdasannya bisa terusir dari surga karena kelengahan pada napsunya. Adam terperangkap pada jerat-jerat ketamakan yang diimingi-imingi iblis. Adam melalaikan larangan Allah karena tergoda napsu keserakahannya.

Maka jangan heran jika Israel yang kesohor dengan bangsa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata bangsa lainnya. Bangsa tak bertanah (Negeri Israel sekarang tuh hasil merampok tanah bangsa lain) yang jumlah rasnya tak sampai 20%nya penduduk bumi dengan kegemarannya membaca mempu mengendalikan dunia, masih saja berkarakter brutal. Begitu banyak kerusakan yang dibuat oleh tangan mereka hanya disebabkan karena napsu angkaranya. keserekahannya telah membatu, kecongkakan menganak pada benaknya.

Seolah baru mendapat setetes hikmah dari lautan kebijaksanaan. Kuterpekur lama. Perlahan kuterangguk sendiri. “ …..Ternyata Tuhan punya misi agung dengan membaca. Memang tak bisa dipungkiri, manusia punya naluri dasar perusak, tapi bukankah dengan membaca watak tersebut bisa dieliminir. Namun membaca saja pun tidak cukup, harus ada kekuatan moral yang bersumber dari kecerdasan spiritual sebagai pengawal.. Antara membaca dan kebersahajaan sikap dengan menanggalkan napsu serakah peradaban dunia kan tercipta. Membaca memang segalanya tapi tanpa cahaya hikmat membaca tak ada artinya. Adam, bapakku. Telah terusir hina dari surga akankah kan kuulangi??…..”

“mas!..mas!…mas!! ku terkejut tergagap. Suara halus mnyadarkanku. Ku kerjap-kerjapkan mata. Kulihat seorang anak muda berpeci putih tersenyum melihatku. Rupanya pemuda ini yang sedari tadi kusimak mengaji. “ Tadi kulihat mas bicara sendiri. Kebetulan aku baru saja selesai mengaji. Kuhampiri mas lalu kubangunkan”.

Kutersadar. Nampaknya kuterlelap lama dalam perenungan. “ Oh ya mas, ini al-Qur annya, tadi kutemukan di samping jendela lantas kubaca. Terima kasih. Besok boleh kubaca lagi ya mas?..” Tanpa menunggu jawaban dariku seketika anak muda itu ngeloyor pergi. Ku terbengong. Hingga tubuhnya perlahan mengecil menghilang lenyap dari pandangan.

Abdul Rohman

STO Gunung Anyar

Read More......