Maret 13, 2009

Surat Buat Wakil Rakyatku


Impian Rumah Besar Buyar,
Generasi Anak Kami Terancam “Modar”

Tuanku, pemanggul amanah kami. Sudah sebelas tahun kami merenda asa tentang rumah besar dalam awang. Sudah kami percayakan proyek pembangunan ini kepada tuan, karena kami yakin dari semua tutur dan janji tuan, tuan sanggup mengemban amanah. Seluruh peluh pengorbanan telah kami abdikan untuk proyek prestisius ini. Segala harta benda pengharapan telah kami dermakan untuk membiayai ongkos proyek ini. Demi mendapatkan rumah besar kami, tempat bernaungnya kami dan anak-anak kami dalam limpahan kesejahteraan.

Tuanku, penyambung lidah kami. Sepanjang sebelas tahun lamanya kami menanti. Ternyata telah tuan ingkari. Rumah besar yang kami idamkan tak kunjung usai. Jangankan pilar dan tembok, pondamennyapun masih tuan perdebatkan dengan tukang-tukang tuan yang katanya pakar. Eker-ekeran antar kuli-kuli tuan yang konon sangat setia dan kredibel jadi menu sehari-hari. Sketsa awal proyek besar yang susah payah dikonsep akhirnya mangkrak. Apa yang telah kami korbankan, dermakan dan abdikan segalanya sia-sia. Rumah besar yang seharusnya sudah kami tempati, kini hanya tinggal angan.

Tuanku, perpanjangan tangan kami. Kini yang bisa kami lakukan hanyalah meratap menangisi rumah besar yang telah kami rindui. Kami menangisi karena anak-anak kami yang selayaknya dapat berteduh dengannya dari teriknya kehidupan kini lekang terpapar. Kami meratap sebab anak-anak kami yang seharusnya bisa terlindung dari dinginnya kenestapaan kini lapuk tersungkur. Kami sedih ketika seharusnya anak-anak kami merasa aman dari segala marabahaya kini dirundung petaka. Petaka lapar, petaka tak bisa belajar, petaka hak kerja tak terkejar, petaka harta titipannya dirampok orang kurang ajar dan petaka hak hidup sehat tak terbayar.

Tuanku, perdengarkan suara kami. Mungkin selangkah pun tuan tak pernah berkunjung ke hati kami. Maka kami maklum tuan tak bisa dengar jerit pilu kami. Tapi setidak-tidaknya tuan berkunjunglah ke bangsal-bangsal tempat anak-anak kami bertarung dengan rasa sakit yang tak mampu ditanggung. Tahukah tuan anak-anak kami terkapar di latar, lantai dan di tempat manapun yang tak wajar, karena ketidakberdayaan kami melawan tarip yang mencekik menghajar. Bahkan karena kasta kami proletar, tampang para pejawat bangsal terpasang sangar. Dengan hati teriris kami pun hengkang pulang membopoh tubuh anak-anak kami yang lunglai malang.

Maaf, kami sudah enggan menyebutmu tuan. Jangan salahkan kami jika ada satu mata rantai generasi sehat yang hilang. Tunggulah masa di mana negeri ini akan dipimpin oleh generasi cacat tak sehat sebab tak mampu bayar obat. Negeri yang akan dipimpin generasi penyakitan kurang gizi. Sekali-kali jangan, jangan salahkan kami jika kami berduyun-duyun mengerumun bocah ingusan dekil koloran, Ponari sang dukun. Bukan karena apa. Kami hanya takut masa yang ditunggu benar-benar akan tiba.
Read More......

Meta Rostiawati, Pimpinan CSR Distribution PT. HM. Sampoerna

Poros penting lahirnya Taman Belajar Masyarakat (TBM)

“Kami Sangat Concern Dengan Generasi Penerus”


Sangat welcome, begitulah kesan pertama saat Jendela Pustaka berhasil menemuinya. Body language dan gaya tutur pimpinan CSR (Corporate Social Responsibility) Distribution PT. HM. Sampoerna ini semakin menegaskan imej enerjik dan kooperatifnya karakter mayoritas personil yang berada di bawah divisi yang dipimpinnya.

Terlahir dengan nama Meta Rostiawati, bungsu dari empat bersaudara dari pasangan ayah betawi dan ibu sunda ini menghabiskan masa kecil dan pendidikannya di Jakarta. Uniknya, komunikasi sehari-hari yang dipakai keluarganya lebih banyak menggunakan bahasa yang dipakai ibunya, bahasa sunda. Sebuah piranti komunikasi yang sulit ditemui di Jakarta, basecamp-nya etnis betawi yang rata-rata menggunakan dialek betawi maupun bahasa prokem.

Merasa dibekali karunia kemampuan sekaligus “hobi” berhubungan dengan orang lain, neng geulis kelahiran Jakarta 17 Mei 1976 ini melanjutkan studi S1 komunikasi di UI (Universitas Indonesia) Jakarta. Demi pendalaman bakat yang dimiliki dan menimba pengalaman, eksekutif yang sesekali melontarkan kepiawaiannya cas cis cus bahasa inggris di sela obrolannya ini juga mengambil D1 manajemen bisnis di Management Development Institute of Singapore, Singapura.

Ranah kerja diterjuninya semenjak tahun 1998 sampai penghujung 2001, baru pada tahun 2003 perempuan yang masih single ini memantapkan hatinya bergabung dengan perusahaan yang sampai sekarang ditekuninya, PT. HM. Sampoerna. Di perusahaan inilah dia ikut punya andil besar dalam melahirkan Program Pustaka Sampoerna (PPS). Karena di tangan eksekutif yang berkantor di Jakarta ini semua kebijakan strategis diputuskan. Dari sosok sentral decision maker di divisi CSR inilah maka kemudian masyarakat bisa memanfaatkan keberadaan TBM dan STO yang telah eksis di Kota Surabaya dan Pasuruan.

Dalam lingkungan kerjanya, boleh dibilang pimpinan CSR yang secara struktural membawahi dua divisi, divisi Community Development dan divisi PPKS (Program Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna) ini adalah sosok eksekutif muda yang sangat menikmati profesinya. Dalam menyikapi dunianya, Meta, panggilan akrabnya, tidak ingin melewatkan waktu kerjanya tanpa menyertakan rasa cintanya. Menurutnya, menjalani delapan jam kerjanya di salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia ini tanpa menjiwainya sama saja mengundang stres. Maka jangan heran jika dalam kesehariannya nampak selalu enjoy. Lagipula pemicu stres baginya dipandang bukan sebagai problema, melainkan bagian dari warna hidup yang bisa memperindah harinya, dan justru bisa memacu kinerja hidupnya untuk lebih berkualitas.

Mengenai kepeduliannya tentang dunia pustaka tak bisa diragukan lagi. Divisi CSR yang dinakhodainya ini sangat getol dengan masa depan generasi penerus. “PBAS (Program Bimbingan Anak Sampoerna) memang kami tujukan khusus antara lain kami sangat concern dengan generasi penerus. Jadi prinsipnya adalah, bimbingan kita, masa depan mereka” tegas perempuan bookaholic yang selalu merasa miris dengan keberadaan gedung perpustakaan yang ada di sekolah.

Tantangan awal program PBAS ialah menekankan pada pemberdayaan anak sekolah serta mereformasi mindset sekolah tentang kepustakaan yang selalu termarjinalkan. “setiap kami berkunjung ke sekolah, kami melihat ruang perpustakaan masih ditempatkan di pojok tersembunyi dari gedung lainnya. Ruangannya jorok, gelap, pintu tak tergembok, lemarinya rusak tak teratur. Maka kami berusaha mendahulukan merubah cara pandangnya dan membekali anak sekolah dengan ilmu kepustakaan. Cara pengklasifikasian buku, misalnya” terang perempuan yang mengaku selalu tidak lupa membawa buku, genre apa saja, ke manapun dia hang out dengan hobi travellingnya.

Selang kurang lebih tiga tahun, perempuan yang baru saja menjadikan diving sebagai koleksi hobi barunya ini merasa ada sesuatu yang njomplang. “kami melihat anak-anak kesadarannya tumbuh, tapi para orang tuanya juga perlu disamakan minat bacanya, tingkat bacanya. Karena sering terjadi anaknya ada yang (suka) membaca, orang tuanya nggak. Jadi mereka sulit mendapatkan akses buku. Makanya mobil pustaka ini kami arahkan ke komunitas. jadi biar bisa penggunanya lebih luas lagi” paparnya menjelaskan sejarah cikal bakal perluasan programnya dari PBAS yang hanya menggarap segmen sekolah menjadi PPS yang merangkul kalangan lebih luas.

Bagi perempuan berambut sebahu yang memiliki filosofi hidup, it is good to be important but it is more important to be good (memang baik jadi orang penting tapi jauh lebih penting jadi orang baik, pen) ini menggeluti pekerjaannya di PT. HM. Sampoerna tak ubahnya seperti menimba ilmu. Banyak hal pengetahuan yang dia dapatkan dari sini sebagaimana dia dapatkan dari bangku kuliah. Makanya saat ditanya mengenai keinginannya melanjutkan S2-nya, perempuan yang berobsesi pensiun dini supaya lebih sering travelling ini tersirat keengganan untuk melanjutkan studi. “dalam waktu dekat ini gak ada rencana melanjutkan studi. Saya sudah merasa cukup. Karena banyak ilmu yang saya peroleh sambil bekerja di perusahaan ini. Sudah dapat ilmu, dibayar lagi.” tegasnya sambil terkekeh.



Meta dalam Data

Nama : Meta Rostiawati
TeTaLa : Jakarta, 17 Mei 1976
Pendidikan : SMPN 115 Tebet, Jakarta selatan
SMAN 8 Bukit Duri, Jakarta Selatan
S1 Komunikasi, Universitas Indonesia
D1 Business Management, Management Development Institute of
Singapore, Singapura.
Kerja : (1998-2000) Berlitz Language Center.
(2000-2001) Indo Pacific Reputation Management.
(2003-Kini) PT. HM. Sampoerna, Tbk.
Read More......

BACALAH, MAKA RAMBO TAKLUK PADA ANDA


Menangkal Tontonan “Buruk” Melalui Revitalisasi Membaca

Rambo. Masih ingatkah kita dengan nama lakon yang satu ini. Nama lakon yang sekaligus nama film fenomenal 80-an, film box office genre perang dengan tiga sekuel yang dibintangi aktor laga legendaris, Sylvester Stallone. Untuk ukuran seusia penulis waktu itu, rasa-rasanya tidak ada yang tidak kenal dengan yang namanya Rambo.

Dengan kisah heroiknya yang luar biasa, Rambo bisa mengambil alih hati dan merampas perhatian anak muda kala itu. Rambo menjadi buah bibir di mana-mana. Karakter dan ciri khas Rambo pun menjadi trendsetter. Maka, gaya macho, muka belang-belang hitam jelaga dan rambut gondrong dengan ikat kepala khas gaya Rambo banyak digandrungi. Yang lebih ekstrim, lengan mereka ditato gambar bendera Amerika sebagaimana Rambo. Memang siapa yang tak ingin seperti Rambo? Dipuja di mana-mana. Rambo benar-benar menjadi ikon masa itu.

Film Rambo menceritakan perang antara Amerika dengan Vietnam yang menurut. alur awal film menggambarkan keterdesakan Amerika. Pasukan tentaranya dibuat kocar-kacir hingga datanglah sesosok tentara AS gagah perkasa. Dengan peran single- nya mampu merubah keadaan dari terdesak menjadi mampu memukul mundur Vietnam. Dengan keberaniaannya seorang diri, Rambo mampu meluluhlantakkan dan menaklukkan Vietnam.

Memang, kehebatan Rambo bisa membuat siapa saja terkesima. Tapi, sadarkah anda bahwa anda telah dibohongi. Sebenarnya sosok Rambo hanya rekayasa belaka. Skenarionya penuh dengan pemutarbalikan fakta. film ini memang bersetting sejarah namun isinya telah menyimpang jauh dari sejarah aslinya. Amerika yang digambarkan menghajar Vietnam bulan-bulanan melalui aksi tunggal Rambo, sebenarnya adalah pecundang sesungguhnya.

Dalam catatan dokumen kemiliteran Amerika, disebutkan sejak tahun 1961 sampai 1967 Amerika telah mengirimkan total 3,3 juta tentara. Dari jumlah tersebut, 57.000 tewas, 300.000 cidera/cacat, 700 ditawan dan 5000 hilang. Belum lagi yang telah pulang ke negaranya rata-rata mengalami mental disorder, gangguan berat mental. Mereka pulang membawa trauma berkepanjangan. Sebagian besar dari mereka mendekam di rumah sakit jiwa. Tak sedikit yang telah gila juga jadi gelandangan. Kondisi ini jauh bertolak belakang dengan opini yang terhunjam dalam benak setelah menonton film Rambo.

Hebatnya lagi, film ini mampu menggiring opini penonton pada pengakuan universal tentang superioritas Amerika. Apalagi bagi mereka yang tidak sadar sejarah, maka dengan mudahnya opini yang dibentuk sedemikian rupa memagut erat alam bawah sadarnya. Sehingga yang ada adalah imej hegemoni Amerika tertanam kuat dalam relung sadarnya. Bagaimana berpengaruhnya film ini pada penonton?

Dalam istilah psikologi behaviorisme, ada teknik yang disebut conditioning, pengondisian emosi seseorang pada tingkatan tertentu sebagaimana yang diinginkan. Kita disuguhi dengan banyak adegan mengharu biru, yang membuat mata kita sembab. Kadang pula kita dibuat terpikat dengan sang protagonis yang gagah berani. Jika emosi kita telah terbajak, peran alam sadar yang sangat vital untuk mencerna dan menyeleksi pesan pun menjadi pasif –karena ia bekerja secara sitematis, rasional, logis dan kedap emosi-. Kemudian yang mengambih alih adalah kerja alam bawah sadar yang sangat sensitif dengan emosi.

Karena cara kerja alam bawah sadar menampung segala informasi yang masuk tanpa menyaring terlebih dahulu. Alam bawah sadar tak bisa membedakan mana informasi realita dan rekaan. Maka semua pesan yang mendompleng film Rambo akan tersimpan utuh dalam bentuk seperti realita adanya. Sehingga tanpa sadar kita telah membenarkan sejarah yang sudah dimanipulasi ini. Akhirnya terjadilah indoktrinasi dalam diri kita untuk mengakui superiotas Amerika, seketika kita pun merasa inferior di hadapanya.

Namun hal ini akan sulit terjadi, jika penonton tahu dan benar-benar sadar sejarah. Sepanjang kita masih mau belajar dan sudi membaca, informasi palsu akan bisa terdeteksi. Kita pun lebih terjaga dan aware dengan yang kita tonton. Bagaimanapun canggih dan halusnya doktrin yang menbonceng, kalau kita telah punya stok pengetahuan yang memadai, maka tidak akan ada istilah korban tontonan.

Karenanya, tingkat keterpengaruhan kita pada dasarnya terletak pada keberlimpahan pengetahuan yang kita miliki. Pengetahuan tidak akan tersedia jika kita tidak intens membaca. Sedari itu percerdaslah membaca, bijaklah mencerna. Pertajam saraf kehati-hatian kita terhadap apa yang kita tonton. Karena masih banyak “Rambo-Rambo” lain gentayangan. Sinetron, infotainment maupun acara hiburan lainnya adalah “Rambo-Rambo” dengan wajah lain yang sedang mendrakulai kehidupan kita sehari-hari. Jika kita lengah, maka “taring” doktrinnya bisa menggigit opini dan gaya hidup kita. Dan lambat laun mereka pun akan menghisap mental karakter kita. Jika mau selamat, rajinlah membaca.
Read More......