Februari 06, 2009

SENYUM SYNDROME


Hingar bingar pesta pemilu kian menampakkan kemeriahannya. Di sudut-sudut kota semakin banyak bermunculan figur wajah para kontestan. Pose mereka ramai menghiasi ruang strategis kota. Beragam gaya terpampang jelas di baliho. Namun satu yang menarik, ekspresi mereka nyaris tak ada bedanya. Sama-sama menyunggingkan senyum! Baik wanita maupun pria saling berlomba-lomba menunjukkan kebolehan mereka dalam bersenyum. Masa bodoh dengan penilaian “pasar” pemilih tentang senyumnya. Bagi mereka yang penting senyum, senyum, dan senyum.

Beragam senyum yang mereka tawarkan. Ada senyum natural (karena memang pada dasarnya murah senyum, kalee), senyum artifisial rekayasa (sudut bibir ditarik keras ke atas meski terasa kurang pas dengan bibirnya yang pas-pasan), ada senyum sedikit kemalu-maluan, ada pula senyum meyakinkan sok kemanisen serta senyum bimbang tak bisa ditebak mau senyum atau manyun, tak jelas.

Memang seiring dekatnya masa-masa kampanye mendadak banyak orang yang suka tersenyum. Senyum yang dulunya seakan seberat pesawat kini seringan kapas. Tak jarang orang yang tadinya kalau dilihat sepet dipandang tiba-tiba suedepp nian di mata. Orang yang sebelumnya sangat ekonomis banget, mau senyum saja masih harus dihitung untung ruginya kini berani obral senyum. Di mana pun tempat dan suasana selalu tebar pesona, setiap orang yang ditemuinya disuguhi senyum, tak peduli kenal apa tidak. Bahkan kalau bisa mereka mengundang masyarakat hanya untuk unjuk senyum. Senyum seolah-olah menjadi epidemi baru negeri ini.

Sindrom epidemi ini sudah mulai mewabah. Tiba-tiba di seantero negeri dipenuhi orang-orang “pengidap” senyum. Dari tembok kosong, di lengangnya trotoar, di kaca-kaca angkot, nebeng space iklan hingga bergelantungan liar di pohon tak lepas dari foto orang tersenyum. Nyaris tak ada “lahan tidur” yang tak dimencloki sang pengidap senyum.

Banyak jurus jitu yang diperagakan si pesenyum. Dari pendistribusian beribu gambar “photogenic”-nya yang belepotan senyum di stiker, pamflet, kalender maupun dalam bentuk karya kreatif lainnya. Acara pertemuan kejutan tingkat RT/RW hingga acara hiburan besar lainnya yang dikemas begitu apik tak henti-hentinya disusupi orang SKSD (sok kenal sok dekat) yang bertopeng senyum. Bahkan aneka pertemuan nampak seolah-olah bazaar senyum yang menyuguhkan beragam etalase senyum dengan aneka kategori senyum. Baik dari yang kelas “kacangan” hatta yang high quality senyum.

Lain halnya bagi pesenyum yang tergolong kaum elitis. Pesenyum yang memang sedang mengunduh buah “kursi” yang lebih besar, terutama pesenyum yang berkantong lebar. Senyum “bertuahnya” ditebarkan melalui media yang lebih strategis dan bergengsi. Maka tak heran masyarakat saban harinya disuguhi tontonan pengidap senyum di televisi.

Beragam gaya dan warna tingkah lakunya ramai dipertontonkan di televisi. Ada pesenyum yang seakan-akan merasa paling manis sendiri senyumnya, dengan angkuhnya meremehkan pesenyum yang lain –padahal, bukankah sesama pengidap senyum dilarang saling melecehkan-. Hingga ada beberapa yang saling mengklaim senyumnyalah yang paling menarik, saling mengklaim kemajuan yang telah dicapainya musim lalu. Ada juga pesenyum yang lihai mengambil keuntungan di balik perseteruan antar pesenyum, dengan cerdasnya mengekspos dan mengeksploitasi adegan pesenyum yang saling klaim tersebut. Ada pula pesenyum yang nampak seolah-olah kurang percaya diri hingga masih saja menyandingkan figur dan nama besar klannya di setiap eksibisi senyumnya.

Untungnya ada beberapa pesenyum yang masih santun –mudah-mudahan saja begitu-memasang senyumnya, dengan tidak terjebak pada saling menjatuhkan pesenyum lainnya. Malah dengan kata-kata indah penuh bijak mereka tak henti-hentinya menggugah semangat kemajuan dan spirit kemandirian yang kini sulit ditemukan di negeri ini.

Namun terlepas dari keindahan tuturnya, mereka tetap sama saja dengan pesenyum lainnya, sama-sama mengidap senyum musiman ini. Pada dasarnya mereka telah terjangkit epidemi ini. Tak bisa didiagnosa apa faktor penyebab epidemi ini. yang pasti epidemi ini muncul saat negeri sedang mengadakan hajatan pemilu.

Tidak bisa diketahui dengan pasti dari mana asalnya sindrom ini. Hipotesa awal memperkirakan kemungkinan disebabkan oleh sejenis “virus” lokal yang langka adanya hanya di Indonesia. Virus ini memiliki sifat unik, tak bisa terdeteksi dengan mikroskop paling canggih manapun. Seolah tak kasat mata. Para ahli pun hanya bisa mengetahuinya setelah si korban telah memasuki stadium kronis. Barulah dinyatakan bahwa si virus telah menjangkiti korban. Virus ini memiliki masa inkubasi singkat. Perlahan virus berkembang pesat. Grafiknya pun terus menaik hingga mencapai puncaknya pada musim coblos menjelang.

Gejala sindrom ini diawali demam caper (cari perhatian) dengan suhu ambisi kuasa tinggi. Sering juga disertai jantung berdebar-debar (khawati kalah) dengan kejang-kejang kepentingan. Bahkan ada kasus tertentu yang saking napsunya mengalami “muntah-muntah” suap. Sindrom ini kalau tidak segera diatasi bisa memperparah keadaan juga bisa menular secara cepat. Tapi jangan takut, virusnya hanya menular pada kalangan tertentu saja.

Ironisnya, dari sebagian besar para korban nyaris tak ada satu pun yang merasa menderita penyakit ini. meski toh “penyakit” yang diderita sudah masuk stadium akut. Korban, tak lain “pengunduh posisi” tidak sadar bahwa mereka sedang sakit. Mereka tidak merasa dirinya sedang ada “kelainan”. Makanya kemana mana mereka tidak risih menebar senyum. Semakin besar respon masyarakat semakin lebar pulalah senyumnya. Semakin kumat jua pulalah penyakitnya.

Satu hal lagi yang aneh dari fenomena virus ini adalah ketiadaan minat dari pakar untuk mencari anti virusnya. Seolah-olah “penyakit” ini dibiarkan parah begitu saja tanpa adanya upaya bagaimana menanggulanginya. Karena dari pengalaman bertahun-tahun sebelumnya virus ini memiliki karakter yang pasti, masa hidupnya berangsur berkurang bahkan hilang dengan sendirinya setelah berlalunya masa jangkitnya, musim pemilu.

Pasti. Selepas musim perebutan kursi usai, sindrom senyum lenyap seketika. Bak sekedipan mata perilaku tebar senyum, yang biasa dilakukan si “penyakitan” saat turba ke masyarakat untuk merangsang dan menjemput suara, kini tak terlihat. Masyarakat yang sering mereka kunjungi, masyarakat yang acapkali mereka suguhi senyum dengan aneka bingkisan menarik berikut janji-janji menggairahkan mendadak terlupa. Padahal baru saja kemarin mereka beramah tamah mengobral senyum.

Memang benar si penderita telah sembuh dari sindrom senyum. Negeri telah siuman dari teror virus senyum. Namun sayangnya kepergian virus ini menyisakan problema baru. Masyarakat sekali lagi dibuat terperangah. Seiring “buah” kursi yang telah berhasil diunduh dengan galah suara rakyat, si penderita yang telah sembuh kembali terjangkit sindrom lain. Sindrom yang tak kalah ganjilnya. Sindrom amnesia! Bisa lupa segalanya. Lupa senyum yang dijaja kemarin hingga lupa bahwa mereka pun pernah berjanji!

1 komentar:

Reng Benyar mengatakan...

tulisannya belum padat, tapi penggambarannya sudah bagus.
coba baca tulisan cacatatan pinggirnya gunawan muhammad yang hampir setema dengan ini judulnya "potret" fi majalah tempo
situsnya tempointeraktif.com

Posting Komentar