Juni 12, 2009

MENELADANI JEMPOL


Sebut saja jempol. Ia adalah salah satu anggota “paguyuban” jemari. Postur tubuhnya sangat berbeda dari empat cs lainnya. Berperawakan “bundeg” pendek gemuk melebar. Jika yang lain memiliki tiga buku maka ia hanya berbuku dua.

Dengan perawakannya yang nyentrik, ternyata jempol memiliki peran unik. Boleh dikata ia adalah pentolan komunitas jari. Ia seolah-olah sengaja diplot oleh Sang Kreatornya sebagai tokoh sentral tim jari. Disetujui atau tidak, jempol adalah supermodel pemimpin sejati. Ia sangat layak jadi bahan referensi teori kepemimpinan. Maka, jika hendak jadi pemimpin atau ingin memilih pemimpin belajarlah pada jempol.

Jempol laksana seorang bapak bagi rekan-rekannya. Dalam kesehariannya tubuhnya selalu dihadapkan ke arah tubuh rekan lainnya, ia selalu nampak berada di tengah mereka seolah sedang mengayominya. Ia rela mewakafkan tubuhnya untuk melindungi mereka. Rupanya semua tenaga dan karier hidupnya didedikasikannya untuk melayani “kaumnya”.

Keberpihakan pada wong alit daripada wong elit telah mendarah daging pada jiwa jempol. Betapa ia sangat welas asih pada kaum kecil pinggiran. Jika sudah berhadapan dengan mereka hatinya mudah luruh. Berbeda dengan orang-orang besar, ia selalu bersikap tegas. Jempol tak mudah silau oleh pangkatnya alih-alih disuap. Masih ingatkah dengan permainan suit? Jempol yang dilambangkan sebagai gajah selalu mengalah pada semut, simbol representasi kelingking. Tetapi kepada manusia (jari telunjuk), sedikitpun ia tak mau mengalah.

Jempol bukanlah figur pemimpin otoriter. Tidak pula berlagak bak menara gading yang selalu berpangku tangan setiap menjalankan roda pemerintahan. Yang selalu ia lakukan adalah pola sinergi. Ia bersinergi dengan jari telunjuk menghasilkan cubitan. Anda tentu tak akan pernah bisa mencubit tanpa partisipasi jempol. Bisakah anda mencubit memakai sinergi jari telunjuk dan kelingking? Kemampuan mencubit anda akan sirna jika jempol anda buntung.

Jempol pribadi gagah berani. Dalam dirinya sama sekali tidak ada jiwa kepengecutan. Dalam momen mempertahankan diri jempol selalu berada di garis terdepan. Ia selalu menampakkan muka saat unjuk kekuatan. Tengoklah bagaimana anda mengepal. Di saat rekan yang lain menyembunyikan wajahnya dan hanya menyorongkan punggungnya, jempol dengan keperwiraannya tampil di lingkaran terluar. Sembunyi baginya adalah kedunguan tak terampuni. Maka di setiap anda mengepal untuk menghasilkan pukulan tak pernah satu kali pun jempol ngumpet dalam pelukan rekan-rekannya. Jika anda mengepal cara begini, bersiap-siaplah anda menjadi bahan tertawaan orang.

Jempol sangat piawai mengorganisir birokrasinya. ia sangat mafhum pentingnya pendelegasian wewenang. Untuk urusan yang tak perlu keterlibatan jempol maupun urusan yang sekiranya tidak bisa dilakukannya sendiri. Ia delegasikannya pada yang ahli. Dengan modus ini, maka kita mengenal aksi ketok pintu. Seumur-umur bukankah anda tak pernah mengetok pintu dengan jempol?

Hidup jempol jauh dari sorotan media. Ia nampaknya sangat tidak berselera menonjolkan kelebihan dirinya. Ia lebih mengutamakan kelebihan orang lain daripada dirinya. Dalam setiap acara ia enggan menunjukkan dirinya. Bukankah tiap anda mengacungkan diri tak sekalipun anda pernah memakai jempol? Jempol pun tak pernah berebut dengan jari telunjuk. Ia lebih memilih diam tawadu’, duduk manis mempersilahkan jari telunjuk menunjukkan dirinya di depan khalayak. Jempol memang seorang pribadi low profile.

Susah senang ditanggung bersama, begitulah pepatah orang bijak. Sebagai pemimpin, jempol sudi turun tangan ikut menyelesaikan tugas susah sekalipun. Ia tidak mau ongkang-ongkang memilih happy sendiri, apalagi clubbing. Dalam momen tertentu ia rela menyingsingkan lengan bajunya, menanggalkan sejenak jabatan mentereng yang disandingnya demi bermandi peluh turut menyelesaikan misi gladi resik yang dipimpin oleh telunjuk karena memang postur telunjuklah yang paling proporsional. Jika telunjuk tak mampu menjangkau yang lebih dalam, kelingkinglah yang mengambil alih. Bila pula ia butuh daya gedor yang lebih besar, tampillah jempol di depan. Dengan antusiasnya mereka bersatu padu mengerahkan tenaga mengorek-orek gumpalan putih abu-abu dari cerobong hidung kita.

Dengan telatennya mereka mengeluarkan lembar demi lembar kotoran yang menggemaskan ini. Saking gemasnya kadang kita tidak langsung membuang “hasil tambang” tersebut. Entah, apa karena memang kita terlalu berat hati melepasnya pergi. Yang jelas kita masih sempatkan barang sejenak “bermain-main” dengannya hingga aroma khasnya terasa menyeruak. Untuk urusan satu ini jempol dan telunjuk sudah sangat paham keinginan empunya upil.

Jempol bukanlah pribadi yang suka merendahkan orang lain. Tidak pula meremehkan tugas sekecil apapun sebagaimana yang dilakukan kelingking bila ia terpetik. Jempol pribadi simpatik. Ia selalu menghargai kinerja bawahannya dengan sikap hormat mengangkat badannya berdiri. Ia simbol kualitas. Terasa kurang absah jika produk tertentu yang diklaim bermutu baik tidak menampangkan wajahnya yang tembem. Kehadiran wajahnya pertanda keunggulan kualitas.

Jempol sangat piawai merebut hati seseorang. Jika badannya telah teracung, maka moral juang seseorang perlahan terangkat. Sikap badannya tersebut biasa diterjemahkan sebagai ekspresi apresiasi dan empati bagi seseorang. Ia pun sangat menjunjung tinggi adab adi luhung. Ia sangat mengagungkan lawan bicaranya. Ia tidak suka menudingkan telunjuk untuk menunjuk. Ia lebih suka merundukkan badannya sendiri sembari membentuk formasi menunjuk, begitulah kesopanannya. Jempol juga bukanlah pribadi yang gemar mencela seseorang. Ia terbiasa menjaga kebersihan sikapnya dari prilaku asosial. Ia sangat segan mengata-ngatai orang lain apalagi mencaci. Ia bukanlah jari tengah yang jika teracung terluncurlah kata minor bernada sumbang menohok hati: fuck you man!

Meski sebagai pemimpin, tak sekalipun jempol tergiur kemewahan yang terhidang di depannya. Ia sama sekali bukanlah oportunis yang selalu memanfaatkan jabatan. Ia bukan pula penganut paham aji mumpungisme, mumpung ada kesempatan menumpuk kekayaan. Jempol adalah pemimpin yang zuhud. Kendati secara de jure ia legal menggunakan fasilitas negara yang memang ia pantas mendapatkannya, jempol enggan menggunakannya.

Coba periksalah jemari anda, di jari manakah perhiasan mentereng nangkring. Jika hanya satu cincin berbatu akik yang anda punya, tentu yang selalu dimanja adalah jari manis. Jika perbendaharaan cincin bertambah, terjadilah silang sengkarut saling berebut antara jari tengah, kelingking dan telunjuk. Masing-masing saling mengklaim merasa dirinya lebih berhak dan merasa lebih pantas. Hingga jika koleksinya pun bertambah, jempol tetap saja mengalah, ia lebih memilih hidup sederhana. Namun jika anda pun tetap ngotot memaksakan jempol untuk mengenakannya. Maka, dinamika perketoprakan Indonesia makin berdenyut. Srimulat pun akan bangga. Tidak bukan, karena telah terlahir Tesi yang baru. “Hidup Tesi!”..

0 komentar:

Posting Komentar