Juni 12, 2009

RUANG KELUARGA DAN BUKU


Sebuah Harmoni Yang Hilang

Sampai saat ini saya masih selalu merindukan suasana unik ruang keluarga masa lalu. Suasana saling berebut sebuah benda yang pernah menjadi satu-satunya benda yang paling digemari di tengah keluarga. Meski kadang perebutan berujung pada pertengkaran sesama saudara. Eureka! betapa sangat puas dan bangganya jika benda yang satu ini berada di genggaman sang pemenang rebutan. Yap! Buku, benda ini, telah menjadi tradisi objek bulan-bulanan antar saudara. Dan memang bukulah biang kerok keributan kecil ini.

Namun, sayang kini ajang serupa tak pernah saya jumpai. Yang tersisa hanyalah keributan. Tapi lagi-lagi tetap memperebutan sebuah benda. Malahan keributan sekarang ini berskala lebih besar. Peserta “perang” meluas hingga melibatkan ortu, terutama –tak bisa dipungkiri- ibu.

Uniknya, meski telah diberlakukan jam bergilir untuk menguasai benda satu ini pada tiap kubu, tetap saja benih keributan mudah meletup. Bukan apa, karena memang potensi bertubrukan jam-jam favorit antar kubu terbuka lebar. Makanya masing-masing kubu punya strategi sendiri. Seolah seperti terlatih, mereka saling mengintai kesempatan menyerobot kubu yang lain. Siapa yang lengah pasti akan kalah. Dalam hal ini, berlaku hukum ; siapa yang lebih kuat pamornya maka kuatlah otoritasnya. Namun ironisnya bukanlah buku yang menjadi pemicu. Ternyata, sebongkah remote-lah “the one and only” provokator. Apa lagi kalau bukan remote tipi (TV).

Kalau mau sejenak melipat waktu ke masa lalu, memang dahulu ruang keluarga punya nilai penting dalam tiap rumah. Di sinilah dinamika keluarga tercipta. Dari hanya sekedar melepas penat menanti malam merapat, hingga tempat mencumbui beragam buku yang biasa akrab meski kerap berebut kitab. Di samping menjadi ruang utama tempat berkumpulnya keluarga bercengkerama, ruang keluarga juga memiliki fungsi sebagai area pembelajaran keluarga. Betapa sangat mudahnya ditemukan benda-benda pustaka di ruang ini. Maka, pantaslah kiranya jika ruangan ini bisa disebut juga ruang perpustakaan.

Bila dicermati, sebenarnya ruang keluarga adalah sokogurunya rumah. Sekedar membandingkan dengan mikroba, misalnya. Ruangan ini adalah nukleusnya, inti sel. Di sini dan dari sinilah denyut kehidupannya bermula. Seberapa besar kemampuan mikroba mempertahankan eksistensinya dan mampu memperlanjutkan keturunan unggulnya tergantung dari seberapa bergairah dan berdaya hidup sebuah inti selnya.

Oleh karenanya, saya berani bertaruh, orang besar terlahir dari bagaimana keluarganya memanfaatkan dan mengelola ruang keluarga. Jika ruang keluarga sangat dekat dengan dunia baca, tentulah generasi cerdas akan tertetas. Jika ia terlecut dari semangat pembelajaran. Maka, terlahirlah barisan orang besar berpengetahuan menghunjam. Bukankah orang besar terbentuk dari kegairahan tradisi membaca yang terbangun sedari ranah keluarga. Sangat sukar ditemui dalam lembaran sejarah bila ada satu orang besar malas membaca. Mustahil pula pengidap “book adicted” (pecandu buku) tidak bisa jadi orang besar. Toh kalaupun ada, paling tidak dia mampu membesarkan orang besar.

Maka bangsa Indonesia pun pernah diwarnai figur-figur sekaliber Buya Hamka, Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan sederetan orang besar lainnya yang kesemuanya terlahir dan terdidik dari ruang keluarga. Merekalah prototype produk ruang keluarga yang memang kala itu masih belum begitu terkontaminasi oleh kehadiran si kotak ajaib hasil olah teknologi peradaban jaman ini, tipi. Benda inilah yang telah mencerabutkan romantisme masa lalu. Kehadirannyalah yang mampu menggeser peran buku sebagai agen pembelajaran.

Oleh karenanya, jangan heran jika buku sudah sangat susah dijumpai di ruang keluarga. Eksistensi buku telah terlucuti dari ruang keluarga. Tidak ada lagi benda tebal persegi yang dulunya mengisi rak-rak lemari. Kalau pun toh masih ada, itu pun bukan ditempatkan dalam ruangan tempat berkumpulnya keluarga. Posisinya kini tersudutkan, terpojok sendirian, tak terjamah, kumal berdebu –karena tak pernah tersentuh-, tergeletak tak bergerak dalam seraknya rak.

Keberadaan buku tak ubahnya souvenir. Nilai gunanya tak lebih hanyalah sebagai hiasan. Entah untuk menghias apa. Konon bisa menghias status sosial si empunya buku. Semakin banyak stok buku yang dimiliki, semakin tinggi pula prestise-nya. Semakin tebal jilid buku, kian ampuh ujaran sang empu. Malahan jika kitabnya lebih menguning dan berdebu apalagi penuh robekan hasil dicicipi rayap, maka semakin gilap aura kharismatis si kolektor kitab. Lalu, bagaimanakah dengan buku anda?

0 komentar:

Posting Komentar