Februari 16, 2009

Fajar Kurniawan, Community Development Manager PT. Sampoerna : Sosok Di Belakang Lahirnya Taman Belajar Masyarakat


“Semangat Kita Adalah Bagaimana Membuat (Masyarakat) Lebih Berdaya”


Tahukah anda keberadaan “perpustakaan kampung” TBM (Taman Belajar Masyarakat) dan “perpustakaan mobil keliling” STO (stop over) yang sudah tersebar di dua kota, Surabaya dan Pasuruan, yang sekarang bisa melahirkan Buletin Jendela Pustaka yang ada di tangan anda, berawal dari gagasan pria ramah satu ini.

Pria yang biasa disapa mas fajar ini bergabung dengan perusahaan Sampoerna pada tahun 2005. Sebelum bergabung sebenarnya program serupa yang dikelola oleh Sampoerna telah ada, Program tersebut bernama Program Bimbingan Sampoerna. Namun, masih hanya menggarap segmen anak sekolah. Setelah mas fajar diberi amanah meneruskan program ini, ia segera melakukan terobosan baru. Melalui sentuhan tangannya terjadilah pergeseran arah sasaran program. Program yang telah berdiri tahun 2003 lalu yang awalnya hanya khusus sekolah kini diperluas sasarannya dan sekarang telah eksis di tengah masyarakat. Program yang telah bermetamorfosis menjadi Program Pustaka Sampoerna tersebut akhirnya berhasil mendirikan sepuluh TBM dan mengoperasikan delapan STO di dua kota tersebut.

Satu hal momen paling berat yang dialami bapak berputera tiga ini, adalah kala harus melewati fase transisi dari program yang sebelumnya akrab di sekolah menuju layanan pengabdian ke masyarakat. Karena betapa masih cukup tingginya animo sekolah terhadap kehadiran program ini hingga masih saja beberapa di antaranya “enggan” dilepaskan begitu saja. Kendati pun demikian, pergeseran sasaran tak dapat dielakkan. Dengan berat hati bapak yang mengaku bisa bahasa arab meski hanya sedikit ini, harus konsisten dengan arah kebijakan barunya ini

Untuk menjalankan kebijakan baru ini, awalnya Sampoerna bermitra dengan sebuah yayasan yang juga mengajak kantor arsip dan kepustakaan Surabaya dan Pasuruan. Namun program tersebut berjalan tidak sesuai harapan.

“Ternyata masyarakat membutuhkan pendampingan, membutuhkan orang yang bisa diajak berbagi cerita, untuk curhat dan juga bisa memberikan wawasan baru. Akhirnya kita mencoba memilih YPPI (Yayasan Pengembangan Pustaka Indonesia) untuk menjadi mitra kita, karena selain bertugas teknis ngurusin buku, dia juga memberikan pendampingan kemudian menciptakan inovasi baru berupa pelatihan, penerbitan buku. Itu kan inovasi yang diharapkan. Sebelum dengan YPPI itu semua gak muncul”, urainya menjelaskan.

Bantur. Di desa yang secara geografis berada di daerah Malang Selatan inilah pria tersebut dilahirkan 31 tahun silam. Masa kecil putera dari seorang ayah yang berprofesi sebagai guru ini tak beda jauh dengan masa kecil anak lain seusianya. Selepas SMA, dengan berbekal keyakinan merenda masa depan yang lebih cerah, pria berperawakan tinggi sedang ini menjejakkan kakinya di Bogor guna melanjutkan studinya di IPB (Institut Pertanian Bogor).

Hari-hari di luar bangku kuliahnya banyak diisi dengan menerjuni beragam kegiatan sosial. Hingga perlahan kematangan insting sosialnya berkembang. Setelah meraih S1 di IPB tahun 2000, putra sulung dari dua bersaudara ini bekerja sebagai konsultan di Jakarta lalu bekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit yang bertugas di bidang sosial. Maka jangan heran jika pria enerjik ini dipercaya menduduki posisi Community Development Manager. Posisi yang menangani divisi pendidikan, sosial dan lingkungan di perusahaan Sampoerna. Sebuah bidang yang sangat relevan dengan pengalaman hidupnya selama ini.

“..Semangat kita adalah bagaimana membuat (masyarakat) lebih berdaya (pen; secara pendidikan, ekonomi dan sosial). Hingga bisa mereduksi masalah yang timbul baik illiterasi (buta aksara), kemiskinan dan lain-lain...” ujarnya menuturkan salah satu motivasi program pustakanya.

Menurutnya.lagi, program pustaka ini bisa dikatakan berhasil. Pertama, manakala masyarakat bisa melanjutkan program TBM ini secara mandiri. Karena tak selamanya mereka didampingi dan disusui. Suatu saat mereka pun pasti disapih. Kedua, manakala banyak orang yang berhasil di lingkungan tersebut sebagai hasil akibat dari terinspirasi dengan keberadaan TBM.

Di akhir sesi obrolaannya, pria yang hobi banget baca buku ini memaparkan pandangan dan harapannya. “Kita berharap buletin menjadi sebuah alat untuk mempererat jalinan komunikasi antar TBM, mahasiswa dengan STO ataupun dengan masyarakat secara luas. Yang perlu lagi bahwa itu saja tidak cukup. Harus ada semangat kebersamaan untuk lebih memacu TBM dan STO-nya dalam menjadi pusat aktivitas masyarakat. Karena kalau sudah mengarah ke situ berarti program itu berhasil. Tapi kalau program itu hanya dinikmati beberapa orang, itu-itu saja, berarti program itu gagal. Tapi ketika TBM dan STO menjadi pusat nongkrongnya anak muda, bapak-bapak rapat, pengajian ibu-ibu itu justru adalah keberhasilan. Karena pertama, apresiasi terhadap keberadaan TBM. Kedua, berusaha menghidupkan TBM” begitu pungkasnya.

0 komentar:

Posting Komentar