Juni 12, 2009

GENERASI MUDA DAN DERASNYA ARUS VALENTINE

SEBUAH AJAKAN UNTUK (LEBIH) MEMBACA

Kalau saja ada lembaga survei yang mau menghitung ungkapan yang sering digunakan di bulan februari ini mungkin “Happy Valentine Day”-lah yang menempati posisi tangga chart teratas. Banyak ungkapan yang beredar di bulan ini yang kental dengan nuansa hari yang konon diyakini sebagai hari kasih sayang. Dari yang paling sederhana, sms valentine, kartu ucapan hingga assesoris bermuatan kasih sayang jamak dijumpai.


Tak kalah dalam semaraknya, pusat bisnis, perkantoran dan tempat hiburan lainnya di pelbagai kota sibuk berbenah menyambut hari “pink” ini. beragam assesoris yang identik dengan valentine digelar. Di pintu masuk, etalase hingga lobi tempat-tempat umum penuh dengan simbol valentine. Ditambah lagi dengan gebyar pemberitaan di sejumlah media massa makin menambah gegap gempitanya hari ini. Perlahan pasti kota akan menjelma ke “pink”-an.

Seremonial ini telah merebut hati para muda negeri ini. Dari tahun ke tahun pengaruh valentine kian menggeliat. Dulu, valentine masih berkutat di kalangan perkotaan, kini valentine sudah menjalar ke pedesaan. Valentine bukan lagi identik dengan kaum muda metropolis, orang udik pun tak mau dianggap ketinggalan karena tak ber-valentine ria. Hari valentine sungguh sudah menjadi fenomena baru negeri ini. hari valentine telah menjelma hari raya baru bagi mereka yang ingin mengungkapkan ekspresi kasih sayangnya. malah bisa dikatakan valentine telah tumbuh membudaya.

Namun, Sayangnya sumber sejarah valentine begitu sangat kaburnya di mata muda mudi kita. Hampir dipastikan mereka tidak tahu persis apa yang sebenarnya yang mereka rayakan. Malah yang lebih parah mereka tak berusaha cari tahu, tak tergerak “membaca” sejarah sesungguhnya dari valentine. Ketiadaan minat membaca ini membuat mereka semakin terpuruk pada ketidaktahuan. Ketidaktahuan ini akhirnya membuat kaum muda yang seharusnya adalah subjek dari budaya itu kini menjadi objek di sisi lain. Hingga disadari ataupun tidak budaya ini telah mendikte anak muda negeri ini.

Memang tak jelas dari mana valentine ini berawal. Yang pasti, di catatan warisan “eyang” kita tak ditemukan satu pun laporan tentang seremonial kasih sayang ini. Dari lembaran daun lontar, “diarinya” pencatat sejarah moyang kita, tak terukir upacara ini. Dari serat centhini maupun joyoboyo-nya “wong jowo” tak termaktub seremonial ini. Dari prasasti peninggalan kerajaan se antero negeri ini pun tak terpahat ritual ini. Lantas kalau begitu dari manakah valentine berasal?

Dalam ensiklopedia katolik disebutkan ada tiga versi yang melatarbelakangi munculnya seremoni hari kasih sayang, valentine. Satu yang paling terkenal dan yang paling “sahih” adalah, untuk mengenang kematian salah satu santo Katolik, St. Valentine oleh raja Romawi kala itu, Raja Claudius (268-270 M) di tanggal 14 Februari 270 M. St.Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M dihukum bunuh karena menyebarkan Agama Nashrani, agama yang bertentangan dengan agama paganis (penyembah berhala), agama resmi kerajaan Romawi masa itu.

Versi kedua, Raja Claudius melarang warganya yang bujang untuk menikah. Menurutnya tentara yang masih bujang lebih gahar dan trengginas di medan tempur dari pada mereka yang sudah menikah. Peraturan ini dapat membuat kekuatan militer romawi menjadi lebih kuat. Namun St. Valentine melanggar aturan kerajaan lalu diam-diam santo tetap menikahkan para bujang dalam gereja hingga akhirnya perbuatannya terendus kerajaan, lalu ditangkap dan dijebloskan dalam penjara. Dalam penjara, St. Valentine berkenalan dengan puteri seorang penjaga penjara yang menderita sakit yang kemudian diobatinya hingga sembuh. Lambat laun benih-benih cinta tumbuh. di antara keduanya. Hingga sebelum dieksekusi mati, St. Valentine mengirim kartu padanya yang berisi ucapan, “from your Valentine”. Hal ini terjadi setelah perempuan itu memeluk Agama Nashrani bersama 46 kerabatnya.

Versi ketiga, pada setiap pertengahan februari orang-orang paganis Romawi kuno mengadakan ritual untuk memperingati Dewi Juno, dewi cinta mereka. Para gadis dan bujang dikumpulkan jadi satu. Nama gadis satu persatu diundi. Bagi nama gadis yang terpilih maka si gadis harus mau menjadi pasangan bersenang-senang si bujang, si gadis harus rela menjadi eksploitasi hiburan para bujang selama sesukanya. Di sela ritual itu si bujang mengirimkan kartu ucapan yang bertuliskan, “Demi nama tuhan ibu (Dewi Juno), kukirimkan kepadamu kartu ini”. Namun setelah Agama Nasrani mulai menyebar di Eropah, Demi lebih mengikat para pemuda dalam Agama Nashrani, kalimat tersebut diubah menjadi, “Demi nama pendeta Valentine, kukirimkan kepadamu kartu ini”.

Namun seiring perjalanan waktu sejarah cikal bakal terciptanya hari raya ini lambat laun mengalami pergeseran. Mulai abad 16 M, ritual yang sejatinya penuh dengan praktik berhalaisme dan dikemas ulang untuk memperingati kematian pendeta St. Valentine berubah menjadi perayaan jamuan kasih sayang yang disebut sebagai Supercalis. Terlebih lagi pada abad pertengahan dalam bahasa Prancis-Normandia terdapat kata yang secara lafal dan tulisan mirip dengan kata valentine, yaitu galantine yang bermakna cinta. Dari sinilah akhirnya pergeseran sejarah valentine bertahan sampai sekarang.

Kalau kita cermati dari beragam versi ternyata tak satu pun yang mengusung tema hari kasih sayang yang sejati. Justru yang ditemui adalah untuk mengenang kematian pendeta Valentine yang bertentangan dengan agama sebagian besar negeri ini. toh kalaupun ada yang agak nyerempet tema kasih sayang, itu pun hanya kamuflase demi kepentingan agama tertentu. Malahan yang agak ekstrim adalah adanya sisipan ritual pergaulan bebas antar muda mudi hingga mengarah pada eksploitasi “seks”. Betapa sungguh sangat bertentangya tradisi ini dengan budaya adi luhung kita apalagi tradisi ini disinyalir bisa merusak akidah kita, akidah sebagian besar pelaku tradisi ini, akidah agama terbesar negeri ini.

Ternyata karena ketidaktahuan kita, karena ogahnya kita membaca, kita telah tertipu oleh “kemasan” tradisi ini yang memang benar-benar sangat menarik. Kemasan ini dipermak sedemikian rupa hingga menyentuh psikologi muda mudi. Perlahan tradisi pun sangat mudah diterima.

Berkat peran agen budaya dan propagandanya (media massa, film dan lainnya), seremonial valentine perlahan menyebar ke berbagai belahan dunia lainnya. Tak terkecuali di negeri yang mayoritasnya muslim. Seremonial valentine ini tak ubahnya virus, di mana pun hinggap maka virus ini akan hidup. Apalagi jika tanah yang dihinggapi rapuh dari karakter lokal aslinya, budaya adi luhungnya kurang menghunjam kuat, dikarenakan kerontang akan ilmu dan gersang dari minat baca, maka, dengan mudahnya virus ini tumbuh menjamur. Jangan heran jika akulturasi budaya secara tak sehat akan terjadi.

Maka, sudah saatnya kita menempatkan kembali budaya membaca menjadi peran terdepan dalam mengokohkan character building muda-mudi Indonesia. Masuknya tradisi asing yang bisa mempengaruhi adentitas kita sebagai bangsa, tak lain karena kita tak mampu menyaring “kotoran” yang mendompleng tradisi ini. Ketidakmampuan kita menyaring disebabkan kita telah kehilangan etos membaca. Tiadanya gairah dalam membaca, kita akan tergerus oleh derasnya budaya yang kita sendiri tak tahu esensinya. Sudah banyak budaya “impor” yang cenderung kurang “sehat” telah merasuk dalam denyut kehidupan kita.

Membaca di sini bukan berarti hanya sekedar membaca belaka, namun membaca di sini bisa juga berarti mengkaji, mendalami dan menelaah sungguh-sungguh berbagai informasi apa saja yang terhampar luas di kehidupan kita. Baik dari dan berupa literatur, fenomena alam, dinamika sosial ataupun interaksi budaya. Dengan penanaman budaya membaca ini akan melahirkan karakter sikap yang kritis terhadap segala sesuatu yang baru dan asing. Tak serta merta asal comot budaya orang yang tak jelas sejarahnya

Disinilah betapa menjadi sangat urgennya untuk terus menerus membumikan budaya membaca dalam menciptakan filter kuat yang nantinya bisa menyeleksi mana kira-kira budaya yang laik untuk diadaptasikan. Selama ini yang kita tahu proses infiltrasi budaya nyaris tak tersaring mana yang kategori “bergizi” maupun yang “sampah”. Tak pelak krisisnya ilmu yang dimiliki sebagai akibat dari minimnya intensitas membaca, membuat muda-mudi kita membebek buta budaya yang sama sekali tidak sesuai dengan sejarah budaya ketimuran kita. Terlebih dengan akidah agama penganut sebagian besar bangsa ini.

Dengan kembali pada “khittah” kita sebagai “makhluk membaca” proses infiltrasi budaya akan kembali sehat. Dengan membaca. kemandirian budaya bangsa akan terjaga. Dengan banyak membaca muda-mudi kita akan merdeka dari segala penjajahan budaya. Hanya dengan banyak membaca kita pun akan lebih cerdas menyikapi sebuah budaya.

2 komentar:

Muhammad falikh mengatakan...

salam dari jauh............

m falikh

nulisblogkutuk mengatakan...

semoga yang jauh sgera pulang brlabuh...

Posting Komentar