Maret 24, 2011

IBU


cerita ini berdasarkan fakta. bila ada kesamaan nama dan tempat, itu hanya kebetulan saja. di luar kesengajaanku.. :)

Alkisah, seorang ibu yang baru melahirkan sangat terkejut ketika melihat bayi laki-laki yang baru dilahirkannya tiada memiliki daun telinga. Sempat ia tak rela. Tidak terima dengan kenyataan yang diderita bayi laki-lakinya. Nyaris ia menggugat pemberian Tuhan yang menurutnya tidak adil. Memang, ibu manakah yang tahan melihat penderitaan anaknya? Untung saja ibu ini segera menyadari kekeliruanya. Tak pantas kiranya bila ia menganulir keputusan tuhan. Tentu memang begitulah seharusnya, tiada sesiapa yang kuasa menolak takdir anak laki-laki pertamanya yang cacat, tiada berdaun telinga. Dan yang membuat ia lebih bertahan ikhlas menerima pemberian Tuhan ini adalah bahwa pendengaran bayi laki-lakinya masih cukup baik.

Waktu terus bergulir. Tahun pun senantiasa berganti, si anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mampu bergaul dengan teman seusianya. Pelajaran sekolahpun tak menjadi soal baginya. Sama sekali ia tak menemui kendala yang berarti mengenai intelegensinya. Ia cerdas dan ceria. Namun, satu yang membuat ia selalu dirundung pilu. Ia amat tak tahan dengann ocehan teman-temannya yang saban hari tiada henti-hentinya mengolok-oloknya. Air matanya perlahan merembes menetes setiap kali temannya mengatakan bahwa ia manusia planet luar angkasa. Sesekali ia menangis sesenggukan sendirian di kala teman-temanya menjauhi dirinya karena keterbatasan fisiknya yang menurut temannya bukan anak manusia. Ia sering dicibir manusia jadi-jadian. Bila sudah begini, hatinya bagai remuk tak terperi. Ia pulang dengan membawa kepingan hati yang terpecah-pecah tercerabut dari raganya. Jiwanya lumpuh merapuh. Satu-satuya yang mampu menguatkan pijak kakinya adalah sambutan hangat kasih ibu di rumah. Ya, dekapan ibunya yang berlimpah kasih jualah yang bisa merekatkan kembali hatinya yang terserak. Hanya sokongan tulus ibunyalah yang bisa menegakkan ia punya jiwa. Sungguh betapa sang ibu tiada pernah letih memotivasi si anak malang ini untuk selalu berlapang dada dengan kondisi fisiknya. Dan ibu ini jualah yang terus menerus menanamkan semangat mengembangkan potensi dirinya hingga bisa meraih prestasi gilang gemilang di sekolahnya sampai berlanjut ke perguruan tinggi.

Hingga pada hari di mana tersiar kabar menggembirakan dari dokter kenalan baik keluarga, bahwa si anak cacat yang telah tumbuh dewasa ini dapat menerima cangkok daun telinga. Dan cangkokan ini telah diterima lama dari pendonor. Mendengar berita ini, betapa bahagianya si anak tak bertelinga ini, meski ia pun tak tahu siapa gerangan orang baik yang telah tulus ikhlas mendonorkan daun telinganya. Prosesi operasi pun berjalan lancar. Sang anak malang yang lama telah kehilangan kepercayaan dirinya kini telah berubah seratus delapan puluh derajat. Ia menjelma manusia baru. Tak ubahnya seperti benar-benar baru saja dilahirkan kembali. Kontan, dengan semangat kepercayan dirinya yang melesat meningkat, prestasinyapun kian memukau.

Setelah purna studi, dan sukses menjadi seorang diplomat dengan dikarunai keluarga bahagia dengan dua orang anak, ternyata rasa penasaran tentang siapa pemilik daun telinga yang telah diberikan padanya belum terjawab. Kepada sang ayah, ia selalu pertanyakan. Namun sang ayah hanya bisa menjawab, “suatu hari kau pasti akan tahu sendiri!”.

Hingga berita duka menimpa keluarga ini. Ibunya yang selalu setia mendukungnya meninggal karena sakit. Sungguh, rasa kehilangan yang sangat menghunjam dada si anak semata wayang ini. Teringat ia, bahwa ibunyalah yang selama ini menemani kesedihannya. Ibunyalah orang pertama yang menyediakan badannya tuk jadi tempat pelipur laranya. Ibunyalah yang senantiasa setia menyalurkan telapaknya mengusap airmatanya yang mengairi pipinya. Ibunya baginya, tak ubahnya belahan badan dirinya yang terpisah. Bila ia sedih, maka suramlah ibunya. Bila ia bisa tertawa, bahagialah ibunya. Namun, kenangan selamanya tetap tinggal kenangan. Apa yang terjadi, terjadilah sudah. Sang ibu tercinta telah pergi ‘tuk selama-lamanya. Saat akan memberikan ciuman terakhir pada jasad ibunya, didampingi sang ayah, ia sempat terhenyak beberapa saat tatkala ia menyibakkan rambut ibunya. Ternyata ibunya tak memiliki telinga. Pencariannya yang bertahun-tahun yang selalu mengganjal hatinya kini terkuaklah sudah. Rupanya, perkataan ibunya selama ini diutarakan padanya bahwa lebih suka memanjangkangkan rambutnya, tiada lain adalah agar sang anak tak tahu bahwa ibunyalah yang rela mendonorkan daun telinga. Berderai dan semakin berderailah tangis sang anak.

***

…Seperti udara kasih yang engkau berikan,, begitulah petikan syair lagu indah Iwan Fals buat sang ibu. Terasa sangat pas dengan segala kasih ibu. Kasihnya tak perlu ia ungkapkan hingga anaknya tahu. Kasihnya tak membutuhkan pengakuan apalagi penghargaan. Kasihnya bak udara. Tak terlihat, tapi ia senantiasa ada memberi hidup. Sayangnya, dari saking tak terlihatnya kasih sang ibu, kita selalu saja dibuat lupa atau bahkan –sengaja- melupakan kasih ibu. Maka, tak jarang sampai-sampai kita berani membentak, menghardir bahkan mengancam satu-satunya orang yang selalu mendekap pertama kali kala kita terbekap dingin, susah. Puncaknya, saat ibu telah kehilangan kemampuan untuk mencurahkan kasih sayangnya, ia semakin dicuekkan oleh kita. Tatkala kehadirannya dianggap hanyalah merepotkan, ibu semakin disengsarakan. Dalam titik ini ia tak ubahnya sebuah barang yang telah aus, yang layak masuk gudang. Ya, ibu sekarang telah banyak dipensiunkan, digudangkan dalam “wisma sengsara” panti jompo. Sungguh betapa kita telah gelap mata. Durhaka sedurhakanya bila kita tak mampu membalas budi kasih sang ibu, walau hanya secuil!. Karena, pada dasarnya bilapun kita kumpulkan semua klaim kebaikan balas budi kita padanya, niscaya sepanjang usia kita, tiada mampu menggenapi kasihnya. Apatah lagi kita mengacuhkannya, mencuekkannya bahkan menelantarkannya. Teganya kita.

Mungkin kalau berani mau menakar, sejatinya kekuatan terbesar makhluk ciptaan Allah adalah Ibu. Ia terlampau perkasa bila hanya disejajarkan dengan ayah. Sudah umum, bahwa kuantitas duda atau janda beranak saling bersaing. Tapi, kalau dihitung tingkat kemampuan tekanan terhadap kehidupan, janda adalah jagonya. Keradaan Duda beranak hanyalah selintasan kedipan mata. Tak beberapa lama ia akan mengeluh dan tentu ia pun segera menanggalkan kedudaannya, mencari ibu baru bagi anaknya. Namun, tidak bagi janda beranak, ia mampu bertahan dari beratnya memikul sebuah beban (bukan berarti ia tak mau kawin lagi loh!). bukankah telah santer terdengar ibu-ibu mampu berdiri kokoh sebagai single parent. Ya, hanya ibulah yang mampu mengintegralkan dua kekuatan. Sekali waktu ia mapu menjelma bak ayah bagi anaknya dan sesekali pula ia kembali ke kodratnya hakikinya sebagai ibu. Beda dengan ayah, seberapapun kuatnya kodrat ia tercipta, ia tiada akan kuat dan mampu memerankan figure seorang ibu. Maka, pantas Rasulullah menegaskan sampai tiga kali saat ditanya sahabatnya, siapakah orang yang layak dimuliakan. Ibumu, ibumu, ibumu. Lalu, ayahmu.

Dalam khazanah bangsa-bangsa di seantero duniapun betapa ibu sangat disakralkan. Ia simbol kesucian. Bahkan posisinya, saking melimpahnya kasihnya, ditempatkan sejajar bersanding tuhan. Maka, jangan kaget bila Rasulullah pernah berujar lantang, “sungguh kalau tidak karena diwajibkan menyembah Tuhan, maka manusia kuwajibkan menyembah ibu!” Kita pula patut belajar banyak dari orang India. Coba sejenak putar kembali film-film jadul India. Bukankah film jadul India tak pernah lepas dari kisah-kisah epik?!, meski alur ceritanya mudah ditebak. Ibu, dalam film jadul India digambarkan sosok suci, tak boleh sedikitpun tersakiti, walau hanya seujung kuku. Maka, jangan sekali-kali Si Antagonis berani menyentuh ibu si protagonis. Karena, ia akan segera mengundang musibah. Seolah ada kekuatan besar merasuk bila ibunya diganggu, Sang Protagonis seketika menjelma monster pembunuh yang hebat bila kehormatan ibunya dipermainkan.

Oleh karenanya, sapai kapan lagi kita menunggu meneempatkan ibu kita dalam maqom tertinggi dalam dada kita? Beruntunglah sebenar-benarnya beruntung bagi mereka yang masih diberi kesempatan ditemani ibu. Namun mereka akan celaka secela-celakanya bila keberadaan ibu di sisi tak mampu menambah hormat dan cinta kepadanya. Akankah kita menunda mengekspresikan cinta kita hingga tercerabutnya ibu kita dari sisi kita?! Jangan pernah!!!

"met hari ibu (22 Des)" jangan undang neraka dalam mulutnya!!! hati2, kata2x amat bertuahnya."

(kisah diambil dan disariceritaulangkan dari tulisan "telinga sang ibu" dalam buku "setengah isi setengah kosong", karya marpaung parlindungan. serta diperkaya dan dibumbuhikmahkan oleh penulis)

0 komentar:

Posting Komentar