Mei 20, 2010

FENOMENOLOGI SYNDROME MISKIN


Jangan kau tanyakan tentang kemiskinan!! Membicarakan kemiskinan di negeri yang konon sesepuh negeri ini menarsiskannya sebagai surganya dunia ini, tak ubahnya meremah angin. Di negeri yang pernah didendangkan Koes Plus sebagai “…bukan lautan tapi kolam susu,,, tongkat kayu dan batu tumbuh tanaman…”, mempertanyakan kemiskinan seperti halnya merubah arah arus sungai. Ia sesuatu yang tak mudah disentuh dengan sekadar piranti pemahaman fisik. Di sini, kemiskinan seumpama kode-kode abstrak yang terpahat menjelajari sekujur dedinding Chichen Itza, kuil piramida peningalan suku maya. Ironi kemiskinannya sama sulit dipahaminya dengan aksara hierogliph (aksara paku) hamurabi babilonia kuno. Bahkan kemiskinan di negeri Indonesia ini setakkasatmatanya dengan eksistensi pola gerak energi prana yang terinisiasi oleh sang praktisi, meski sungguh sebenarnya ia menggeliat ada di balik ketakkasatmataannya. Keberadaannya absurd untuk dicerna. Ia simbol wujuuduhu kaadaamihi, adaamuhu kawujuudihi. Ke-ada-annya tak murni ada. Nisbinyapun tak benar-benar tiada.

Jangan lagi kau tanyakan tentang kemiskinan!! Aku tak sanggup untuk menjelaskannya. Bukan aku tak tahu apa itu miskin. Justru aku malah sungguh mengenali apa itu miskin. Sehari-hari Ia selalu dekat padaku dan tak pernah mau jauh dariku. Hubunganku dengannya terjalin sangat mesra dan intim. Kadang pada titik-titik tertentu kita pernah mengalami pencapaian hubungan setinggi level harmonis. Mungkin kalau diperkenan, hubungan ini tak ubahnya sekelas visi hubungan yang selalu diidamkan setiap orang, sakinah mawaddah wa rahmah, begitu Al Quran mengistilahkan. Namun ironisnya, kedekatan itu masih juga belum mampu memberikan sebentuk pemahaman yang utuh padaku tentang apa itu miskin. Miskin bagiku tak ubahnya hidung di haluan wajahku. Ia tiada berjarak dariku. Ia tak akan pernah kutahu entitasnya jika kutak pernah berusaha mencoba memperdekatkan jarak pandang mataku padanya. Eksistensinya mengada jika kurehatkan sejenak mataku dari cakupan jauh pandang mata. Ia akan selalu niskala jika ekor mataku enggan berhenti mengibaskan pandangan pada ambang batas kapasitas jangkauan pandang mataku. Hidung pun hanya akan menampakkan sebagian dari sisi tubuhnya bila kujamah ia melalui salah satu dari sepasang mataku. Jika sepasang mata ini pun kukerahkan juga untuk menatapnya, maka yang ada adalah kebiasan. Hidung membias dari pandang mata. Membias di antara ada dan tiada. Miskin seumpama Hidung, dekat tapi pekat.

Sekali lagi kukatakan, jangan tanya teorema miskin!! Aku tak punya referensi yang akurat untuk itu. Memang beberapa sumber pijakan linguistik baik secara epistimologis maupun morfologisnya pernah kutemukan membicarakan miskin. Tapi, Beragam referensi yang ada hanya mampu beretorika di sebatas ranah sampul. Uraiannya belum mengupas sisi terdalam dari sebuah miskin. Hakikat miskin sampai saat ini masih terdapat di alam uninong uning unong, begitu tutur sang pendaki kemakrifatan jawa. Ia ada di antara ketidakadaan pengetahuanku tentang ke-ada-annya. Ia bersemayam di kesenyapan. Ia memeram diam kediriannya di atas onar orang-orang ribut memperdebatkan teori sejatinya. Sampai saat ini belum ditemukan titik kesepakatan dan kesepahaman tentang miskin. Rumusan yang tepat benar-benar mengabur. Konsep lughatan atau istilahan-nya benar-benar majhul. Ia tak bisa terjamah dari sekadar rumusan asumsi akademisi.

Berhentilah menanyakan kata miskin!! Cukuplah engkau sebatas tahu miskin seperlunya. Kau akan terjebak pada pusingan kebingungan bila kau masih saja berkutat terus menerus pada tataran tematik. Miskin tak cukup dikenali melalui kacamata teks. Ia mesti pula digali secara konteks. Miskin selama ini hanya diformulasikan pada kenyataan fisik. Padahal sejati penampakan fisik tak melulu mencerminkan realitas sebenarnya dari sebuah substansi. Realitas lahiriah kemiskinan sampai saat ini justru lebih banyak mengemuka sebagai kamuflase. Sesekali ia nampak kelihatan, tapi sejenak pula ia tenggelam dari pandangan.

Sudahlah, tak usah kau tanyakan itu lagi!! Bisakah kau menjamin kelebatan orang yang penuh dengan atribut dan simbol kemiskinan adalah sebenar-benarnya objek kemiskinan yang selama ini kita cari?! Atau bilakah ia enggan melegalkan asesoris miskin pada tubuhnya sebagai identitas kemiskinan juga adalah memang benar-benar bukan subjek miskin?! Atau bisa juga ada kemungkinan lain, beberapa oknum yang secara lahir sangat jauh dari kepantasan menyandang predikat miskin juga terbebas dari sindrom kemiskinan?!

Cukup! Tak perlu kau pertanyakan itu lagi!! Karena sampai detik ini, aku pun tak pernah habis berpikir. Oknum yang secara audit metematis bukanlah lagi pantas disebut sekumpulan orang dengan kemampuan finansial nol koma sekian rupiah. Oknum yang secara mata lahir adalah segerombolan orang dengan perbendaharaan rupiah melimpah. Ya, oknum-oknum inilah yang saban hari di setiap pentas siklus kepemimpinan pemerintahan kami tiada henti-hnetinya mempertontonkan tabiat kemiskinan yang mengurat. Kemasan perlente penampilannya tak memberi jaminan bahwa mereka merdeka dari rongrongan mental miskin. Properti yang mereka miliki hanyalah menjadi legalitas artifisial untuk mengelabui bahwa mereka sebenarnya miskin. Tengoklah, berapa duit yang mereka util dari kas dan jalur yang tak selayaknya. Berapa ribu nol rupiahkah yang mereka rampok hanya sekadar memenuhi nafsu mental miskinnya yang sejatining raga tiada sesiapalah ia orang miskin. Berapa banyak sindikasi korupsi oleh begundal-begundal “white collar” yang mengurat mengulat. Betapa ironisnya, sungguh materi berlimpah yang meningkahi kehidupan mereka sehari-hari ternyata tak cukup membuat mereka merasa berada. Keberadaaan materi yang selalu tersedia ternyata tak mampu memungkasi naluri miskin mereka. Sebenarnya, sejatining rasa, mereka adalah miskin sebenar-benarnya. Bedanya, mental miskin mereka berkedok dan terjebak dalam wadag raga kaya.

Lagi-lagi, jangan pernah lagi kau tanyakan itu lagi!!. Hanya penat yang kau dapat bila hanya berputar-putar sia-sia meributkan miskin. Bila kau ada sesempat waktu, cobalah sesekali berbaur, atau bila perlu menyemplunglah ke dalam komisi amil zakat ad hoc yang biasa muncul dan tersebar merata di belahan lingkungan mana saja saat idul adha menjelang. Komisi “kagetan” inilah yang membidani lintasan distribusi vertikal harta dari si berharta menuju si miskin. Cobalah diingat-ingat momen idul adha yang baru saja berselang. Amatilah saat timing pendistribusian yang berlangsung. Adakah semuanya benar-benar miskin?! Apakah himpitan kemiskinan jualah yang mendorong mereka berkerumun berebut jatah harta yang memang hak mereka?! Jika memang mereka benar-benar tercekik tangan seram miskin, adakah mereka mengambil sesuai dengan jumlah jatah hak mereka?! Bukankah kesempatan untuk memanipulasi jumlah jatah yang diperuntukan untuk mereka mudah dimanipulasi?! Bukankah tak sedikit pula beberapa oknum yang terendus dan teringkus menggunakan jumlah jatah melebihi jumlah hak yang seharusnya mereka terima?! Tidakkah mereka telah menyerobot hak orang miskin lainnya yang tiada kebagian mendapatkan hak jatah mereka?!.

Belum tuntas persoalan sang miskin diketengahkan, kita pula dibuat tergeleng-geleng dengan tingkah sang empunya harta kurban. Kurban yang telah diritualkan tak murni berangkat dari kerelaan jiwa. Sebelum hewan kurban di-”eksekusi”, beberapa bagian favorit dari badan hewan telah disepakati bersama untuk disisihkan sebagai hak otonomi penuh dari si empunya kurban. Sebelum harta kurban didistribusikan, daging pilihan dari beberapa anggota badan si hewan telah menjadi hak milik kembali dari peng-kurban. Ekstrimnya lagi, modus ini sudah termaktub dalam MoU (Memorandum of Understanding) antara si pengkurban dengan tim komisi.

Belum pula kita selesai bernapas sejenak, kita pun dibuat tersedak oleh ulah komisi. Tahukah anda justru di sinilah, letak sentral terparah terselenggaranya tingkah mental miskin. Jangan kaget bila kau melihat beberapa oknum komisi saling berebut jatah bagian teristimewa dari properti kurban. Sudah lumrah bila mereka di samping mendapatkan jatah lebih besar dari jatah kaum miskin sebenarnya, mereka tak segan dan sungkan berebut bagian kepala –bagian yang cenderung memiliki nilai ekonomis yang tinggi-- . memang jatah yang mereka dapatkan absah secara yuridis agama. Hak mereka memang termaktub jelas dalam dalil kitab. Namun, persentase kelayakan menerima jatah jauh melampaui jumlah jatah sebenarnya. Bahkan sebelum momen pendistribusian digelar, aksi util tanpa sepengetahuan anggota komisi yang lain tergelar, meski kadang dengan wajah innocent mereka tak risih menampakkannya di tengah anggota lainnya.Betapa kokohnya pilar mental miskin di relung jiwanya.

Sudahlah, sudah. Berhentilah kau mempertanyakan hal itu lagi!! Sobat, teorema miskin adalah teorema relativitas yang tiada terukur dengan angka-angka pasti. Kmiskinan sejatinya bukan hanya berada dalam ranah nominal harta. Jauh dari itu, kemiskinan berhulu dari kebersahajaan jiwa. Kemiskinan yang hakiki tiada pernah bisa diterjemahkan dengan perangkat akademis yang selalu berpedoman pada suatu sistem metodologi tertentu yang rumit, kaku nan berliku. Kemiskinan sejati hanya bisa dijangkau melalui interpretasi jiwa. Miskin adalah persoalan jiwa yang berpijak pada seberapa qonaah dan bersyukurnya kita terhadap kenyataan kesempatan kepemilikan kita terhadap harta. Miskin bukanlah takdir baku jalan kita, melainkan sebuah pilihan jiwa. Konglomerat bisa selalu bermental melarat jika cita rasa syukurnya telah lama sekarat. Si miskin papa pun akan senantiasa hidup dalm keberlimpahan cita sentausa bila defisitnya harta tak mampu mengusik qonaah-nya jiwa.

(Selamat hari Anti korupsi 9/12)
Say NO to Corrupt!!,,,. Don’t Judge Other. Start first From and By Ourselves!!...

0 komentar:

Posting Komentar