suatu ketika, seperti biasa, Nabi Ibrahim mencari seseorang yang bisa diajaknya makan bersama. memang begitulah kebiasaan "Eyang" Nabi Muhammad ini. Ia takkan pernah bisa makan tanpa ada orang yang bisa diajaknya makan serta.
Sibuk Ia mencari. tergopoh-gopoh. luar biasa hasrat pencariaannya, bak orang yang mencari sesuatau miliknya yyang telah terhilang dari dirinya. Masih saja Ia terus mencari. Tak kunjung jua Ia menemukannya. Peluh pun tak terasa membasahi tubuhnya. hingga sampailah Ia pada sudut sebuah pasar. dijumpainyalah seorang tua, kurus, dekil, terduduk di atas tanah. pucat air mukanya, tanda betapa lapar telah lama mengular dalam perutnya. compang camping pakaiannya yeng melilit tubuhnya, tak karuan, orang pun mungkin sudah enggan menatapnya, walau barang sejenak. "pak, sudikah bapak makan bersamaku di kedai itu?", tanya Ibrhaim sopan penuh takzim.
ternampaklah binar mata. Berkilat-kilat mata itu, betapa bahagianya orang tua itu. segeralah ia bangkit tanpa bersuara, seolah-olah limpah kebahagiaannya menelan lidahnya hingga tak bisa melahirkan suara.
Ibrahim pun membimbing berjalan orang tua ringkih itu. menggamit tangannya dan memandu tubuh yang sepertinya tak mampu lagi disangga oleh pemilik tubuh itu sendiri. tibalah mereka berdua pada kedai ramai itu. segera Ibrahim memesan makanan terenak yang ada di kedai itu. setelah makanan terhidang di atas meja keduanya, nampaklah lembaran lembut asap putih menyembul keluar dari makanan itu. "Duhai betapa nikmatnya makanan ini", pikir orang tua itu. Lidahnya seperti sudah tak sabar segera mencicipi lezatnya makanan itu. berkali-kali ludahnya ia telan sendiri, hanya karena tak kuasa menahan dahsyatnya lapar. Orang tua itu pun sudah hampir mendekati puncak hasratnya, namun tiba-tiba Ibrahim bersuara, "kalau boleh tahu agama apa yang bapak anut?". "Majusi..", ucap orang tua polos.
terkejutlah Ibrahim. berubahlah raut muka Ibrahim. segera Ia berdiri, lari keluar meninggalkan orang tua itu dan menjauh dari kedai. menghilang di ujung jalan. tak pernah kembali lagi.
Sungguh betapa malunya orang tua itu. ia ditinggal sendirian. bengong. tak tahu harus apa. makanan telah tersaji di depannya, namun si "pentraktir asing" telah lari meninggalkannya tanpa mengerti maksudnya. ia bingung mau diapakan makanan di depannya, sedang iapun tiada sekeping uang dimilikinya. ia merasa tersudut keadaan. ia merasa dipermainkan Ibrahim. ia telah ditipu, pikirnya. terbitlah bulir airmata di ekor matanya. namun jerit hatinya tiada yang bisa mendengarnya.
Seketika datanglah suara keras membahana di telinga Ibrahim, " Ibrahim! tahukah engkau, meski manusia yang telah Ku-ciptakan dari tangan-Ku sendiri ini telah membangkang dari titah-Ku, tapi aku masih tetap memberinya makan!.. tahukah engkau, walau mereka terang-terangan dengan jelas di mata-Ku mengkhianati sumpahnya pada-Ku, takkan berkurang sedikitpun kasih-Ku padanya. Tahukah engkau, apa yang telah kau perbuat?!.. betapa sempitnya hatimu wahai Ibrahim!!".
tersungkurlah Ibrahim. menangis tersedu. tersadarlah Ia dengan apa yang telah ia perbuat. segera Ia kembali ke kedai di mana telah ditinggalkannya orang tua lapar tadi. namun, tak dijumpainya di sana. bertambah sedihnya Ibrahim. Ia pun terus mencari dan mencari. takkan pulang Ia sebelum benar-benar bisa ditemuinya orang tua itu. tiada henti-hentinya Ibrahim mencari hingga tepi langit barat telah memerah senja, orang tua itupun berhasil ditemui. menghamburlah Ibrahim menuju orng tua itu. diciumi tangannya meminta maaf. dipeluklah tubuh kotor bau itu. bahkan Ibrahim pun menyuapinya makan.
. . . . .
semoga kita tidak menduplikasi teguran Allah pada Ibrahim. Siapapun kita, kita adalah manusia yang membawa misi rahmatan lil'alamin. kasih bagi semesta. bukan sekadar kasih pada kelompok sendiri. Kita boleh beda, tapi cinta harus tetap ada. kita boleh berbeda pendapat dengan golongan lain tapi sampaikanlah dengan cinta.
apakah cintamu karena merasa sama?
apakah bencimu karena merasa beda?
cintailah tanpa melihat kesamaan dan perbedaan!
karena, inna arsalnaka rahmatan lil'alamin..
0 komentar:
Posting Komentar