Di sini. Masih saja belum tuntas kumenghitung berbiji-biji kerikil yang telah lama kusimpan sedari awal tahun lalu. Sedang berbiji-biji pijar mesiu yang terlontar mengelegar di serentangan garis langit tiada hentinya menarik garis bidang abstrak mataku. Warna pijarnya memprovokasi mata ini tuk merengek pada kepala agar berkenan mendongakkan dirinya di ketinggian kaki langit.
Bagai sepuhan kuning tembaga di langit yang gosong. Kembang-kembangan api merekah menjilat-jilat pipi langit membekaskan wewarna indah. Deru tarikan pedal gas motor membahana meraung-raung terdengar di kejauhan sana. Sesekali liukan asap putih menyusup kisi jendela kamar ini menebarkan aroma gurihnya daging pembakaran. Rupanya malam ini ada pesta di ujung juru sana. Ada hingar bingar terdengar. Sedang di sini, aku masih diam terpaku. Menatap bisu pada dua toples kaca yang kujuru. Diri ini sedari tadi menekur kabur. Llinglung menghitung. Ya, menghitung yang belum juga tuntas kuhitung.
Saat ini. Lidahku telah menjentikkan ucap bilangan ratusan. Gebyar di luar tak mampu membungkam gundah dalam hati. Semakin bilangan menanjak, hati kian terinjak gulana. Ucap mengendap-endap bergerak tersendat oleh hati yang berubah cemas. Bibir sudah tak karuan membentuk formasi ucap. Bergetar. Lirih. Nyaris tak jelas terdengar. Sesekali lidah terkilir. Tersaruk-saruk. Hati kian berhasil membajak sistem koordinasi faal tubuh ini.
Seribu tujuh ratus sekian sudah hitungan kerikil di tanganku ini. Galau kian menjadi-jadi. Pikiran ini kembali mengingat-ingat hasil hitungan kerikil-kerikil dalam toples yang pertama. Astagfirullah!!.. hanya sebelas biji!! Betapa menyisakan jarak teramat jauhnya hasil hitungan kerikil-kerikil ini. Kerikil dari toples berlabel “kiri” jauh mengungguli jumlah kerikil dari toples berbandrol "kanan". Kerikil kiri berhasil menghempaskan kerikil kanan. Mempecundanginya. Kalah angka. Telak. Men-TKO. Babak belur. Berdarah-darah.
Dalam seperjalanan ini aku telah memproduksi potensi kerikil-kerikil kiri jauh melampaui kerikil kanan. Tanpa pernah kusadari kerikil kiri mereproduksi dirinya sendiri. Menduplikasi. Membelah diri. Beranak pinak. Berkoloni. Membentuk persekutuan yang tak mampu aku antisipasi karena memang eksistensinya muncul atas prakarsa orisinil diriku. Bukan siapa-siapa. Tidak ada intervensi. Keberadaannya tanggung jawab diriku. Perkembangbiakan kerikil kiri meruah hingga aku lupa semestinya aq menyertakan kerikil kanan sebagai pihak oposan sebagai kekuatan penyeimbang. Bahkan atau pula seharusnya sebagai pihak penguasa. Bukan sebaliknya.
Pihak kerikil kanan terlunta-lunta. Tak terurus dalam diriku. Dia selalu menjadi pihak yang teraniaya. Termarjinalkan dalam kosmologi kedirianku. Selama ini aku lebih asyik memperanakkan nafsu kerikil kiriku. Aku terlupa bahwa kerikil kananlah yang kelak menolongku. Membopongku. Menggendongku. Meraih tanganku saat ku terjatuh. Kerikil kanan adlah daya hangat saat dingin menyengat. Kerikil kananlah yang sebenarnya menjadi peneman sejati di hari yang tiada ada keluarga, saudara dan teman yang bakal berguna bagiku. Karena semuanya mesti sibuk dengan dirinya sendiri. Terpontang panting menyelamatkan dirinya sendiri.
Sedang kerikil kiri sesungguhnya adalah duri dalam daging. Tak terasa keberadaannya. Tiada tersadari bahwa duri ini telah melukai daging. Bahkan kelak bila telah berpuak-puak mereka akan menenggelamkan diriku. Memerosokkan diriku dalam kubangan kebinasaan. Meludahiku. Menyerapahiku. Mereka yang akan menyiksa diriku yang dulu pernah kupiara.
Mencubit. Menyikut. Menampar. Menelikung. Menyerobot. Menjegal. Menjarah. Merampas. Sudah menjadi kebiasaanku di sepanjang tahun lalu. Tak satupun kutemui seseorang maka kugamit tangannya dengan salam kebencian. Tak jua kutinggalkan seseorang melainkan meninggalkan luka di hatinya. Fakir, apa yang dia dapati hanya cemoohan dariku. Orang lemah hanya menjadi bulan-bulanan pelampiasan superiotas tengiknya diriku. Tiada pula yang diterima sang peminta kecuali wajah bengisku. Aitam tersia-siakan dalam terang mataku. Hardik dan keluhan senantiasa menyapa mereka. Tangan ini tak pernah sedikitpun merekahkan jemari selain menggerogoti hak-hak mereka. Kalaupun toh ada tersiar-siar khabar sepanjangan tangan pemberian maka itu hanya atribut mulut. Hati selamanya mengempedu. Tangan senantiasa mengabadi mengepal tak rela apa yang berada di genggamannya berpindah tangan. Pemberian tak lebih hanya alat propaganda diri yang selalu diselebrasi. padahal sejatinya aku kemas duri dalam pemberian. Aku sepuh loyang keemasan hanya demi sebuah reputasi diri.
Aku sangat anti konglomerasi yang hanya sibuk meunumpuk materi tanpa peduli orang kecil. Akulah yang tak segan-segan menghujat mereka. Membenci prilaku mereka. Mengutuk mereka karena kenapa bukan aku yang dilimpahi materi sebagaimana mereka.
Teriakanku selalu mengudara membahana lantang meneriaki si bejat laknat: “ maling!!..maling!!.. Sumpah serapah sudah menjadi selinganku mengutukinya. Aku pun selalu mesti berada di barisan terdepan dalam membendung aksi maling. Telunjukku menuding-nuding wajah maling. Padahal jauh dalam lipatan dompetku terselip lembaran-lembaran plastik merah hasil rekayasa nota kantor. Semua yang kukenakan. Kupakai. Kumakan adalah hasil jerih payahku dari sekian proyek yang telah aku mark up dengan cara elegan.
jangan tanyakan seberapa menggeloranya semangatku untuk melawan para penindas. Hegemoni penindasan, pendholiman, penganiayaan dari yang kuat adalah musuhku. Siapapun yang berdiri di belakangnya maka bersiap-siaplah menanti terjanganku. Aku tak sanggup bersabar hati melihat penindasan yang terjadi. Aku pasti menghadangnya. Melawannya. Aku rela memberikan diri ini untuk melawan si penindas bukan karena aku tak kuat hati melihat si tertindas. Melainkan aku tak kuat hati untuk tidak membalas si penindas untuk balik menindas. maka, terabadikanlah mata rantai penindasan.
Mempergunjingkan. Memakan bangkai saudara yang lain. Mensyiriki kelebihan orang. Menisbikan kebaikan sesama. Menihilkan peran orang lain, Adalah dzikir harian diriku. Aku tak melihat apapun dalam diri orang lain melainkan kekotoran, kedekilan, kesuraman, kekerdilan, keberkurangan dan kebejatan. Diri ini segala-galanya. Diri ini adalah bersih sejati. Benderang. Agung. Berkelimpahan. Sumber dari segala derma. Tiada yang bisa meng-atasiku. Dan memang tidak ada yang berhak dan boleh meng-atasiku. Karena Diri ini adalah atas dari segala yang atas.
Tapi bila aku sedikit saja agak berkanan-kanan rupa maka aku pun serta merta menjelma sosok berjanggut bersorban agung berselempangkan tasbih bak resi arab paling saleh. Padahal hakikatnya yang terselip di lipatan hati adalah keriyaan. Ubudiah 'alan nafsi. Pemberhalaan diri. Bila kuberjalanan menunduk-nunduk sejatinya bukan goddul bashor ataupun adab asor. Ketertunduk-tundukanku hanyalah strategi memfasilitasi keluasan bidang lirikan mata agar mampu menangkap sinyal simpatik dari sekitar.
Bahkan bila pula aku kelihatan lebih dalam mendalami kekanan-kananan maka tak ada yang bisa kudedikasikan selain keabaian. Lalai. Bermalas-malasan. Meremehkan. Cuek. Menomorduakan. Menyepelekan. Bahkan seringkali belagu tak pernah mengenal diri-Mu. Tiada kesalehan selain meninggalkan-Mu. Seolah-olah belagak pongah aku mampu hidup tanpa-Mu. Sanggup berjalan tanpa titian cahaya-Mu. Padahal aku hanya mampu meniti pada setapak yang telah Engkau terangi cahaya. Sedang bila cahaya-Mu Engkau redupkan. Dan lenyaplah cahaya itu. Gelap gulita menyergap. Maka sejatinya aku tak kuasa melangkah. Aku tak akan pernah tahu arah. Tak akan pernah tahu akan kubawa ke mana jasad ini tanpa cahaya-Mu...
Celakalah sudah Setahun perjalananku. Celakalah!!..
Wa qul Rabbi adkhilnii mudkhola shidqin
Wa akhrijnii mukhroja shidqin
Waj’alnii min ladunka sulthonan nasiron
*di seperbatasan malam 2010-2011*
0 komentar:
Posting Komentar