ternyata, yang lebih kita percayai menjadi konsultan pribadi kita adalah diri kita yang: pedagang, politisi, seniman, cendikiawan, artis, sarjanawan, advokat, akuntan, bersurban, auditor, jabatan, berpeciputih, berkalang uang, pengusaha, tukang becak, kernet, kuli,,, hingga barometer kita untuk menilai diri kita dan orang lain adalah atribut-atribut yang menempel di diri kita itu. bukan lagi atas nama manusia yang sejati. "manusia" kita telah disekunderkan (atau tertier kali ya?..). dan pemuncak primernya adalah... ya, atribut kita itu. hmm,, begtulah kita sekarang. Begitukah?!..
Read More......
Maret 24, 2011
Manusia, Nasibmu Kini..
diakui ato tidak, bahwa selama ini kita telah mengkandangkan ke-manusia-an kita. kita bicara, berasa, bergerak, bertindak, berbuat, menganalisa, menilai, mempertimbangkan dan memutuskan segala hal tanpa menyertakan kompas kemanusiaan kita. kemanusiaan kita telah terkarantina (atau bisa jadi, sengaja dikarantina). terpasung. ia telah lama gagu karen memang telah uzur tidak pernah kita ajak bicara. kemanusiaan kita tidak lagi jadi "search engine" kita.
Am I??..
Biarkan aku menjadi cermin. Tiada berbentuk. Hanya berwujud. Kemampuanku hanya menampung bentuk. Radial, triagonal, heksagonal, pentagonal hingga poligonal lainnya bisa bersamaan kubenamkan dalam diriku. Aku tak mengenal teori simetrikal. Aku tidak simetris. Pun tidak asimetris. Bukan pula Geometris. Aku nampak seakan-akan tak lebih dari selembar materi yang hanya berdimensi satu. Namun, aku mampu menelan beragam bentuk dua dimensi, tiga dimensi hingga beragam dimensi yang tak terukur bilangannya.
Aku tetap rata tak bebentuk meski dilihat dari selaksa perspektif. Walau kamupun bersengaja berletih-letih menarik garis bidang matamu secara horizontal, vertikal maupun diagonal aku pun tetaplah sama, tak berbentuk. Tak pernah mengejawantah pada sebuah bentuk. Aku membias pada sepenampang teretori alas. Menghilang pada sebuah selapang bidang. Aku bisa menyatu menyemuka menyerupa dengan bidang manapun.
Dalam diriku terangkum pelbagai asosiasi diri. Kamu bisa menemukan dirimu dalam diriku. Diapun bisa menjumpai dirinya dalam diriku. Mereka pula bisa mendapati diri mereka dalam diriku. Aku bisa menampung kamu, dia dan mereka. Jangan paksa saya melokalisir wilayah raga saya dengan hanya melegalkan hak guna, hak pakai dan hak milik hanya untuk kamu. Tidak akan. Karena wilayah ini adalah wilayah publik. Tidak bisa diprivatisasi. Siapa saja bisa mngunjungiku, menggunakanku, memakaiku bahkan memilikiku tapi tidak untuk dimonopoli oleh refleksi tertentu.
Karena aku memiliki fleksibilitas rupa, maka aku bisa menyerupai segala macam antah berantah rupa. Kamu takkan pernah bisa menemukan hakikat rupaku. Bila pun toh kamu bersikeras mengiktikadkan hatimu bahwa ini adalah rupaku, maka ketahuilah bahwa yang kamu yakini sejatinya adalah rupamu sendiri.
Maka, janganlah sekali-kali menertawai diriku. Karena sebenarnya yang kamu tertawakan adalah dirimu sendiri. Tak usahlah kamu tersenyum padaku. Karena sesungguhnya kamu menghadiahkan senyum itu hanya untuk dirimu. Janganlah pula kamu iba menangisiku. tidak ada yang kamu tangisi melainkan kamu sedang menangisi dirimu sendiri. Aku resisten terhadap polah emosi yang ditikamkan padaku. Aku kedap emosi. Tak beraksi maupun bereaksi. Bila kamu melihat gelagat responku, maka sejatinya itu adalah pantulan energimu sendiri. Gambaranku adalah gambaranmu.
Kalau kamu amati diriku, tak ada yang terlintas dalam benakmu selain “betapa sempitnya cermin ini!!”. Padahal bila sejenak kamu mau melenyapkan dirimu dalam diriku niscaya kamu akan menemukan lipatan-lipatan maya yang tersembunyi dalam selaksa matra sisiku. Dan Bila lipatan-lipatan itu dibentangkan maka cukuplah untuk sekadar menelan dirimu. Bahkan semesta pun terserap dalam diriku. Keluasanku berbanding lurus dengan bidang pandangmu. Volume diriku takkan pernah terbatasi oleh sepotong rumus matematis.
Cermin ini, meski tiada berbentuk, sejatinya memiliki horison keluasan. Tiada yang dapat ia hadirkan melainkan kelapangan, kelegaan, kedalaman, dan ketakterhinggaan. maka, biarkan aku tetap menjadi cermin.
"Let me just to be a mirror"
Hati-Hati Kata-katamu
Bagi sedulur, taretan, bro n sist, akh n ukh, uda n uni, cak n dek, kak n lek, yg gemar sms-an atawa minimal suka nulis, ngetik dg alat apa aja dn trbiasa "ngebut" (mngkn efisiensi waktu maksudx atawa pingin ngirit ruang layar n pulsa) disarankan dan benar2 sangat disarankan (aq malah klo dperkenankn br"fatwa": fardhu 'ain) untuk mmperhatikan bbrpa hal saat brmaksud ngetik kata yg anda maksudkn. beberapa hal trsebut antara lain:
Pertama, jangan prnah mngetikkan kata "mosque" dlm layarmu ato di apa sajalah. lbh baik kita pake kata, dialek dn lahjah kita sndiri yakni "masjid". coz, "mosque" = "mosquitos". tentu sjauh ini anda telah mafhum apa itu mosquitos. "Mosquitos" hanya takut pd tiga roda. hehehe.. yup "mosquitos" = 'nyamuk".
Kedua, pakailah perbendaharaan kata kita sndirilh dlm menyebut "rumah yg senantiasa mnjadi idaman muslimin". yoe, ketik aja "makkah". jangan pada pingin nampak kliatan ke-inggris2an hingga lebih bangga nyebutin "mecca". Coba deh anda telusuri dn susuri entri2 dlm kamus yg anda punya. Namun, bila anda pun tak berhasil menemukan entri trsebut segera pikir ulang untuk mngganti kamus anda (hehehe.. kurang lengkap kali ya..). sababuhu, "mecca" it means "rumah anggur atawa bir".
Ketiga, mari kita senantiasa memuliakan "orang tua rohani" kita. memuliakn tdk cukup bersholawat saja. tp, mari merekonstruksi ato -klo boleh- harus mereformasi kebiasan ngetik ekspress kita dengan cara selalu mengetikkan nama agung beliau dengan lengkap, "full name". Ayo ketikkan nama beliau dengan utuh. gak boleh separuh. ketikkanlh "Muhammad". Janganlh sekali2 (aq tekankan anda sekali lagi, jangan sekali2!!) anda mengetikkan dengan penampakan seperti ini, "mohd". Karena eh karena, "mohd" kata orang bule itu brarti (maaf) "anjing bermulut besar".
Keempat, bila anda menemukan tulisan ini, "4JJI". di mana aja. di gambar ato di foto apapun. Jangan ditiru!!. karena, kadang kita tdk mngerti lalu menulisnya dengan maksud bermakna "ALLAH". soale kata trsebut lebih cocok dn yang lebih berhak menggunakanx adalah teman2 kita kaum nasrani. sedang "4JJI" sebenarnya akronim dari 'for judas jesus isa".
Kelima, ini nih yang paling ringan kita mengetikkan di layar HP ato situs kita mana saja. mungkin brmaksud pingin cepat dn instan kali. boleh diakui ato tidak, kebanyakan kita lebih memlihi tidak brcapek2 mengetik uluk salam khas kita yang memang panjang banget. klo diketik sprti ini jadinya, "assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh". nah panjang khan?!.. tentu pula tdk ekonomis bagi mereka yg keranjingan sms-an. okelah gpp klo mang mau disingkat. terserah anda mau singkat seperti apa, karena itu adalah hak anda. saya tidak berhak melarang anda. tp, mbok ya jangan disingkat begini bro, "ass". saya berlepas diri dari kecerobohan anda. jangan bawa2 nama saya bro. soale, anda harus segera brsiap2 dan ikhlas digampar orang. coz, bagi yg ngerti makna itu, mereka seolah2 telah dilecehkan anda. seakan2 mereka dihina anda. maksud hati anda ingin ngucapin salam, eh, trnyata yg di seberang sono tersinggung. marah. "enak aja aku dipantat2in!!", bgitu teriak batinnya. hehehe.. yup. "ass" itu yg anda dudukin itu bro. nah!, ya!!. ya!. itu!!. itu tuh!!!.. yup itu!, benar itu!. anda tepat sekali!!. itu adalah "pantat" ato kata orang jawa "bokong".
keenam dan seterusnya, hmm,, silahkan anda cari sendiri bro.. itung2 jd detektif kata dadakn.. klo dapat jg, kasih tau saya jg bro... n sebarin!! :)
*kasih tau temen yg lain ya.. :) *
Sepi
saat membongkar folder "old note" kutemukn serpihan tulisan bserta balasan komennya yg mnurutku msh mnarik dn relevan dg diri kita. so, bagi bro2 'n sista2 yg "have read" dmohon jgn dbaca ulang. aku gak berani mengambil risiko atas kedongkolan anda. anda pasti menyerapahi aku; "apa gak ada tulisan yg baru lagi ta?!!.. "note lama kok masih di-upload aja. kreatif dikit knp!!!.. tuh kan.. sudah kukatakan jangan dibaca. masih aja dibaca. dasar bengal!!.. klo anda masih maksa, terserah deh.. aku pilih kabur aja.. kabuuurrrr!!!...
knp y prbncangan hari2 ini kok bnyak yg mrasa sepi. tak satu dua yg qtemui yg trlontar psti sepi. tulisan pun trbaca sepi. mski tuts2 gemeletak brbunyi, yg trkirim pun sinyal sepi. apakah sepi itu pilihan ato,, kiriman(Nya)?! klo mang pilhan, sepikah yg memilih qt, atokh qt yg memilih (me) sepi?! klo mang sepi memilih qt, brrti qt sndirilah yg tlh mncipta lingkaran medan magnet hngga energi sepi trsedot dlm pusaran dn menikam qt. klo qt yg mmilih sepi. tntu ada klebihan riuh dlm diri ini yg merindu sepi. riuh bisa hadir dr ktakseimbangan emosi yg saling mencarut yg qt sndri pun tak mmpu menguraix kmbali dn qt pun trhanyut d keruhx. bila sepi mang kiriman, bisakh qt mnghibur sepi ato qt yg trhibur sepi?!.. mang ada sih yg mmpu mnerima sepi dg sukacita hngga ia pun mrasa ada keriuhan dlm sepi. ada pula yg mrasa excited dg sepi. bagix sepi adalh santapan brgizi. sehari tnpa (ber) sepi bak dehidrasi. wajah kuyu pucat pasi, urat melunglai tak mmpu mmbopong telulang. bhkan dlm kasus trtentu ada yg tlh mncapai maqom addicted sepi. lupa knsumsi sepi, kejang2 pasti. ruh tak ubahnya mau lepas dr ubun2. hmm,, sepi, sepi.semoga ini bkn epidemik sepi. hngga q pun turut trinjeksi trinfeksi sepi.
sepi.. sepi.. sepi..
sepi kadangkala menjadi kbutuhan vital sbgai trnsisi dr kkeruhan aktvitas dunia yg mnjenuh. sepi mmpu mmberi lmpatan besar dr kterletihan ruhani. pd titik ini sepi mnjelma wahana yg trasa amat sakral. seringkali sepi djadikn satu2x... sarana mrekonstruksi kmbali jiwa yg sdang mengaus ragawi dn ruhani. bhkn seringpula mnjdi tabung energi unutk mlesatkn spiritualitas qt pd Sang Asasi. agama hindu pun tlh mnjdikn sepi sbagai salah satu ritualitas ibadahx yg gk boleh dganggu gugat. islam pun scra eksplisit demikian. pnciptaan hari mmbuktikn penyisaan satu hari sbagai hari mnyepi untk kontlemplasi. dlm islam hari prtama dmulai dr hari ahad (sbagaimn arti bhasa arabx). isnain/senin (kedua). tsulasa'/selasa (kdua). arbi'a'/ rabu (keempat). khamis/kamis (klima). jum'ah/jumat (dr kata jama'a: brkumpul. hari brkumpul brsama tuk nambah ilmu dn silaturrahmi). sabtu (dr kt sabata: diam, tetap, endap, sepi). so, hari sabtu adlh hari tuk mngendapkn ilmu yg tlh qt dpt d hr jumat jg tuk kntemplasi(mnyepi) sjenak tuk mrenungi prjalanan hari qt dlm sminggu. ada progres kualitaskh nilai guna qt sbgai manusia ato stagnan. dus, jgn prnh mnghindari sepi. sambut ia. cium tanganx. rngkuh ia dlm pangkuan.
gk mau sepi lg??!!.. knp??.. apa yg salah dg sepi??!!.. mngkin intrpretasi km aja yg tak adil pd sepi. km mnghakimi ia sbgai salah satu "teroris" yg mnebarkn hawa horor. km mnganggap kbradaanx adlh ktknyamanan yg hrs sgra dienyahkn.... bkankh km ngerasa ada kbersamaan saat tlh trendap dlm sepi?!. esktasi dr hati yg mrasa terisi sbnarx adlah manipulasi dr kamuflase hati. d antara hati yg terasa terisi itu sbnrx ada ruang kosong tmpt hak sepi mngisi. kosong dn terisi adlh sunatullah. kbradaanx absolut. krn sgla ssuatu d kosmos ini d samping berisi ada jg "ber-ruang, berrongga". di balik alam kbendaan yg brwujud brisi ssungguhx ada palung dlm tmpt sepi brdimensi. meja mmrlukn ruang kosong d bawahx untk mngakomodasi knyamanan qt saat qt duduk. penat skali loh! bila meja tak brkolong. ranjang pun demikian. bumi yg padat pun mmbutuhkn ruang "kosong" langit. sngguh aq pun gk habis pikir bila bola sepak tak mnyisakn ruang kosong d dlmx. hmm,, q jamin gk bakalan ada yg trtarik brmain bola. ingtkh qt pd psn sang pmburu sepi, "Rasulullah" saw, bhw lmbung qt ini jgnlh mlulu terisi mkanan dn mnuman. lambng pun mmliki hak sbuah ruang kosong. so, snntiasalah mnceburkan diri dlm sepi. qt bakal mnemukn hakikat realitas dr sepi. nmun ttp brhati2lh, coz seringkali sepi trbajak oleh salahsatu dr sunnah energi pasangan. sbagai ssuatu entitas yg kosong mk sepi harus netral dr hal2 kcndrungan dua kutub yg snntiasa brseberangan. sepi adlah zona steril. sepi hrs bnr2 zero zone dr psitif ato negatif. sepi adlh ranah kntemplasi. brbahagialah bagi yg tlh mnemukn hakikat sepi.. hmm,,, serasa ingin sllu mngecupx,, mncumbux... hmm...
Kerikil Kiri di Perbatasan
Di sini. Masih saja belum tuntas kumenghitung berbiji-biji kerikil yang telah lama kusimpan sedari awal tahun lalu. Sedang berbiji-biji pijar mesiu yang terlontar mengelegar di serentangan garis langit tiada hentinya menarik garis bidang abstrak mataku. Warna pijarnya memprovokasi mata ini tuk merengek pada kepala agar berkenan mendongakkan dirinya di ketinggian kaki langit.
Bagai sepuhan kuning tembaga di langit yang gosong. Kembang-kembangan api merekah menjilat-jilat pipi langit membekaskan wewarna indah. Deru tarikan pedal gas motor membahana meraung-raung terdengar di kejauhan sana. Sesekali liukan asap putih menyusup kisi jendela kamar ini menebarkan aroma gurihnya daging pembakaran. Rupanya malam ini ada pesta di ujung juru sana. Ada hingar bingar terdengar. Sedang di sini, aku masih diam terpaku. Menatap bisu pada dua toples kaca yang kujuru. Diri ini sedari tadi menekur kabur. Llinglung menghitung. Ya, menghitung yang belum juga tuntas kuhitung.
Saat ini. Lidahku telah menjentikkan ucap bilangan ratusan. Gebyar di luar tak mampu membungkam gundah dalam hati. Semakin bilangan menanjak, hati kian terinjak gulana. Ucap mengendap-endap bergerak tersendat oleh hati yang berubah cemas. Bibir sudah tak karuan membentuk formasi ucap. Bergetar. Lirih. Nyaris tak jelas terdengar. Sesekali lidah terkilir. Tersaruk-saruk. Hati kian berhasil membajak sistem koordinasi faal tubuh ini.
Seribu tujuh ratus sekian sudah hitungan kerikil di tanganku ini. Galau kian menjadi-jadi. Pikiran ini kembali mengingat-ingat hasil hitungan kerikil-kerikil dalam toples yang pertama. Astagfirullah!!.. hanya sebelas biji!! Betapa menyisakan jarak teramat jauhnya hasil hitungan kerikil-kerikil ini. Kerikil dari toples berlabel “kiri” jauh mengungguli jumlah kerikil dari toples berbandrol "kanan". Kerikil kiri berhasil menghempaskan kerikil kanan. Mempecundanginya. Kalah angka. Telak. Men-TKO. Babak belur. Berdarah-darah.
Dalam seperjalanan ini aku telah memproduksi potensi kerikil-kerikil kiri jauh melampaui kerikil kanan. Tanpa pernah kusadari kerikil kiri mereproduksi dirinya sendiri. Menduplikasi. Membelah diri. Beranak pinak. Berkoloni. Membentuk persekutuan yang tak mampu aku antisipasi karena memang eksistensinya muncul atas prakarsa orisinil diriku. Bukan siapa-siapa. Tidak ada intervensi. Keberadaannya tanggung jawab diriku. Perkembangbiakan kerikil kiri meruah hingga aku lupa semestinya aq menyertakan kerikil kanan sebagai pihak oposan sebagai kekuatan penyeimbang. Bahkan atau pula seharusnya sebagai pihak penguasa. Bukan sebaliknya.
Pihak kerikil kanan terlunta-lunta. Tak terurus dalam diriku. Dia selalu menjadi pihak yang teraniaya. Termarjinalkan dalam kosmologi kedirianku. Selama ini aku lebih asyik memperanakkan nafsu kerikil kiriku. Aku terlupa bahwa kerikil kananlah yang kelak menolongku. Membopongku. Menggendongku. Meraih tanganku saat ku terjatuh. Kerikil kanan adlah daya hangat saat dingin menyengat. Kerikil kananlah yang sebenarnya menjadi peneman sejati di hari yang tiada ada keluarga, saudara dan teman yang bakal berguna bagiku. Karena semuanya mesti sibuk dengan dirinya sendiri. Terpontang panting menyelamatkan dirinya sendiri.
Sedang kerikil kiri sesungguhnya adalah duri dalam daging. Tak terasa keberadaannya. Tiada tersadari bahwa duri ini telah melukai daging. Bahkan kelak bila telah berpuak-puak mereka akan menenggelamkan diriku. Memerosokkan diriku dalam kubangan kebinasaan. Meludahiku. Menyerapahiku. Mereka yang akan menyiksa diriku yang dulu pernah kupiara.
Mencubit. Menyikut. Menampar. Menelikung. Menyerobot. Menjegal. Menjarah. Merampas. Sudah menjadi kebiasaanku di sepanjang tahun lalu. Tak satupun kutemui seseorang maka kugamit tangannya dengan salam kebencian. Tak jua kutinggalkan seseorang melainkan meninggalkan luka di hatinya. Fakir, apa yang dia dapati hanya cemoohan dariku. Orang lemah hanya menjadi bulan-bulanan pelampiasan superiotas tengiknya diriku. Tiada pula yang diterima sang peminta kecuali wajah bengisku. Aitam tersia-siakan dalam terang mataku. Hardik dan keluhan senantiasa menyapa mereka. Tangan ini tak pernah sedikitpun merekahkan jemari selain menggerogoti hak-hak mereka. Kalaupun toh ada tersiar-siar khabar sepanjangan tangan pemberian maka itu hanya atribut mulut. Hati selamanya mengempedu. Tangan senantiasa mengabadi mengepal tak rela apa yang berada di genggamannya berpindah tangan. Pemberian tak lebih hanya alat propaganda diri yang selalu diselebrasi. padahal sejatinya aku kemas duri dalam pemberian. Aku sepuh loyang keemasan hanya demi sebuah reputasi diri.
Aku sangat anti konglomerasi yang hanya sibuk meunumpuk materi tanpa peduli orang kecil. Akulah yang tak segan-segan menghujat mereka. Membenci prilaku mereka. Mengutuk mereka karena kenapa bukan aku yang dilimpahi materi sebagaimana mereka.
Teriakanku selalu mengudara membahana lantang meneriaki si bejat laknat: “ maling!!..maling!!.. Sumpah serapah sudah menjadi selinganku mengutukinya. Aku pun selalu mesti berada di barisan terdepan dalam membendung aksi maling. Telunjukku menuding-nuding wajah maling. Padahal jauh dalam lipatan dompetku terselip lembaran-lembaran plastik merah hasil rekayasa nota kantor. Semua yang kukenakan. Kupakai. Kumakan adalah hasil jerih payahku dari sekian proyek yang telah aku mark up dengan cara elegan.
jangan tanyakan seberapa menggeloranya semangatku untuk melawan para penindas. Hegemoni penindasan, pendholiman, penganiayaan dari yang kuat adalah musuhku. Siapapun yang berdiri di belakangnya maka bersiap-siaplah menanti terjanganku. Aku tak sanggup bersabar hati melihat penindasan yang terjadi. Aku pasti menghadangnya. Melawannya. Aku rela memberikan diri ini untuk melawan si penindas bukan karena aku tak kuat hati melihat si tertindas. Melainkan aku tak kuat hati untuk tidak membalas si penindas untuk balik menindas. maka, terabadikanlah mata rantai penindasan.
Mempergunjingkan. Memakan bangkai saudara yang lain. Mensyiriki kelebihan orang. Menisbikan kebaikan sesama. Menihilkan peran orang lain, Adalah dzikir harian diriku. Aku tak melihat apapun dalam diri orang lain melainkan kekotoran, kedekilan, kesuraman, kekerdilan, keberkurangan dan kebejatan. Diri ini segala-galanya. Diri ini adalah bersih sejati. Benderang. Agung. Berkelimpahan. Sumber dari segala derma. Tiada yang bisa meng-atasiku. Dan memang tidak ada yang berhak dan boleh meng-atasiku. Karena Diri ini adalah atas dari segala yang atas.
Tapi bila aku sedikit saja agak berkanan-kanan rupa maka aku pun serta merta menjelma sosok berjanggut bersorban agung berselempangkan tasbih bak resi arab paling saleh. Padahal hakikatnya yang terselip di lipatan hati adalah keriyaan. Ubudiah 'alan nafsi. Pemberhalaan diri. Bila kuberjalanan menunduk-nunduk sejatinya bukan goddul bashor ataupun adab asor. Ketertunduk-tundukanku hanyalah strategi memfasilitasi keluasan bidang lirikan mata agar mampu menangkap sinyal simpatik dari sekitar.
Bahkan bila pula aku kelihatan lebih dalam mendalami kekanan-kananan maka tak ada yang bisa kudedikasikan selain keabaian. Lalai. Bermalas-malasan. Meremehkan. Cuek. Menomorduakan. Menyepelekan. Bahkan seringkali belagu tak pernah mengenal diri-Mu. Tiada kesalehan selain meninggalkan-Mu. Seolah-olah belagak pongah aku mampu hidup tanpa-Mu. Sanggup berjalan tanpa titian cahaya-Mu. Padahal aku hanya mampu meniti pada setapak yang telah Engkau terangi cahaya. Sedang bila cahaya-Mu Engkau redupkan. Dan lenyaplah cahaya itu. Gelap gulita menyergap. Maka sejatinya aku tak kuasa melangkah. Aku tak akan pernah tahu arah. Tak akan pernah tahu akan kubawa ke mana jasad ini tanpa cahaya-Mu...
Celakalah sudah Setahun perjalananku. Celakalah!!..
Wa qul Rabbi adkhilnii mudkhola shidqin
Wa akhrijnii mukhroja shidqin
Waj’alnii min ladunka sulthonan nasiron
*di seperbatasan malam 2010-2011*
SEBUAH KOMA
Sejatinya kita tak lebih adalah koma. Bentuk peran kita sebagai manifestasi dari sebuah ke-eksistensi-an diri adalah koma. Ritme hidup, siklus dan metamorfosa kebermanusiaan kita sebagai makhluk, selamanya tetap melakoni kaidah sebagaimana layaknya koma. Kita tiada akan pernah mengabadi dalam satu titik, melainkan mengabdi pada sebuah koma. Kita pun senantiasa terus bergerak tak pernah berhenti pada satu titik meski sepertinya kita ternampak sedang berhenti. Pemberhentian kita tak lain adalah kesejenakan dari hakikat sebuah koma.
Kita sampai saat ini adalah perwujudan dari akumulasi deretan koma yang saban waktu menyisipi hari kita. Kelak pun dalam hari-hari lain yang niscaya kita jelang, deretan koma ini akan selalu setia menanti dan melingkupi hari-hari. Kita tiada akan pernah dibiarkan menyendiri tanpa kehadiran dirinya. Kita tidak diperkenankan bahkan tak berdaya menitik pada sebuah titik. karena kita dicipta bukan untuk mendiami dan memposisikan diri sebagai titik. Sepanjang sejarah perjalanan kita sebagai makhluk yang tercipta dan dicipta, koma selamanya menyertai hidup kita. Inti dari kemakhlukan kita adalah koma. koma adalah fitrah semesta.
Hidup kita adalah koma. Denyut dan pernak pernik hidup kita selamanya mengabdi pada koma. Kita didisain dan diperjalankan oleh Sang Maha Titik di atas konsep koma. kesedihan yang kita idap, bahagia yang kita kecap, tak lain adalah aplikasi dari sunnah koma. Tak selamanya kita berlinang airmata. Tidak pula terus menerus bergelimang sukacita. Di antara keduanya ada gap koma yang memberi jeda kita untuk bernapas sejenak. Keberadaan gap koma ini hadir memenggal sesengalan suka dan duka ini untuk mendedahkan hikmah yang mesti kita tafakuri. Dalam tiap sesengalan ini tak usah terjeremabab dalam kubang duka, tak patut pulalah terlena menantikan terbitnya penggalan sesengalan berikutnya. Yang mesti kita tadabburi adalah memaknai dan mengoptimalisasi esensi kesabaran di kala kita berduka. Dan harus pulalah kita mensyukuri karunia bahagia bila kita terlimpahi suka. Dan tentu melalui gap koma ini pulalah kita sedang diajari dan disadarkan kembali bahwa tiada sesuatu pun yang abadi dalam sebuah titik.
Maka, tak usahlah bemuram durja bila terendam duka. Tak patut pulalah pongah bila
Bahagia menyapa. Karena cepat atau lambat mekanisme koma akan segera mengintervensi hidup kita.
IBU
cerita ini berdasarkan fakta. bila ada kesamaan nama dan tempat, itu hanya kebetulan saja. di luar kesengajaanku.. :)
Alkisah, seorang ibu yang baru melahirkan sangat terkejut ketika melihat bayi laki-laki yang baru dilahirkannya tiada memiliki daun telinga. Sempat ia tak rela. Tidak terima dengan kenyataan yang diderita bayi laki-lakinya. Nyaris ia menggugat pemberian Tuhan yang menurutnya tidak adil. Memang, ibu manakah yang tahan melihat penderitaan anaknya? Untung saja ibu ini segera menyadari kekeliruanya. Tak pantas kiranya bila ia menganulir keputusan tuhan. Tentu memang begitulah seharusnya, tiada sesiapa yang kuasa menolak takdir anak laki-laki pertamanya yang cacat, tiada berdaun telinga. Dan yang membuat ia lebih bertahan ikhlas menerima pemberian Tuhan ini adalah bahwa pendengaran bayi laki-lakinya masih cukup baik.
Waktu terus bergulir. Tahun pun senantiasa berganti, si anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mampu bergaul dengan teman seusianya. Pelajaran sekolahpun tak menjadi soal baginya. Sama sekali ia tak menemui kendala yang berarti mengenai intelegensinya. Ia cerdas dan ceria. Namun, satu yang membuat ia selalu dirundung pilu. Ia amat tak tahan dengann ocehan teman-temannya yang saban hari tiada henti-hentinya mengolok-oloknya. Air matanya perlahan merembes menetes setiap kali temannya mengatakan bahwa ia manusia planet luar angkasa. Sesekali ia menangis sesenggukan sendirian di kala teman-temanya menjauhi dirinya karena keterbatasan fisiknya yang menurut temannya bukan anak manusia. Ia sering dicibir manusia jadi-jadian. Bila sudah begini, hatinya bagai remuk tak terperi. Ia pulang dengan membawa kepingan hati yang terpecah-pecah tercerabut dari raganya. Jiwanya lumpuh merapuh. Satu-satuya yang mampu menguatkan pijak kakinya adalah sambutan hangat kasih ibu di rumah. Ya, dekapan ibunya yang berlimpah kasih jualah yang bisa merekatkan kembali hatinya yang terserak. Hanya sokongan tulus ibunyalah yang bisa menegakkan ia punya jiwa. Sungguh betapa sang ibu tiada pernah letih memotivasi si anak malang ini untuk selalu berlapang dada dengan kondisi fisiknya. Dan ibu ini jualah yang terus menerus menanamkan semangat mengembangkan potensi dirinya hingga bisa meraih prestasi gilang gemilang di sekolahnya sampai berlanjut ke perguruan tinggi.
Hingga pada hari di mana tersiar kabar menggembirakan dari dokter kenalan baik keluarga, bahwa si anak cacat yang telah tumbuh dewasa ini dapat menerima cangkok daun telinga. Dan cangkokan ini telah diterima lama dari pendonor. Mendengar berita ini, betapa bahagianya si anak tak bertelinga ini, meski ia pun tak tahu siapa gerangan orang baik yang telah tulus ikhlas mendonorkan daun telinganya. Prosesi operasi pun berjalan lancar. Sang anak malang yang lama telah kehilangan kepercayaan dirinya kini telah berubah seratus delapan puluh derajat. Ia menjelma manusia baru. Tak ubahnya seperti benar-benar baru saja dilahirkan kembali. Kontan, dengan semangat kepercayan dirinya yang melesat meningkat, prestasinyapun kian memukau.
Setelah purna studi, dan sukses menjadi seorang diplomat dengan dikarunai keluarga bahagia dengan dua orang anak, ternyata rasa penasaran tentang siapa pemilik daun telinga yang telah diberikan padanya belum terjawab. Kepada sang ayah, ia selalu pertanyakan. Namun sang ayah hanya bisa menjawab, “suatu hari kau pasti akan tahu sendiri!”.
Hingga berita duka menimpa keluarga ini. Ibunya yang selalu setia mendukungnya meninggal karena sakit. Sungguh, rasa kehilangan yang sangat menghunjam dada si anak semata wayang ini. Teringat ia, bahwa ibunyalah yang selama ini menemani kesedihannya. Ibunyalah orang pertama yang menyediakan badannya tuk jadi tempat pelipur laranya. Ibunyalah yang senantiasa setia menyalurkan telapaknya mengusap airmatanya yang mengairi pipinya. Ibunya baginya, tak ubahnya belahan badan dirinya yang terpisah. Bila ia sedih, maka suramlah ibunya. Bila ia bisa tertawa, bahagialah ibunya. Namun, kenangan selamanya tetap tinggal kenangan. Apa yang terjadi, terjadilah sudah. Sang ibu tercinta telah pergi ‘tuk selama-lamanya. Saat akan memberikan ciuman terakhir pada jasad ibunya, didampingi sang ayah, ia sempat terhenyak beberapa saat tatkala ia menyibakkan rambut ibunya. Ternyata ibunya tak memiliki telinga. Pencariannya yang bertahun-tahun yang selalu mengganjal hatinya kini terkuaklah sudah. Rupanya, perkataan ibunya selama ini diutarakan padanya bahwa lebih suka memanjangkangkan rambutnya, tiada lain adalah agar sang anak tak tahu bahwa ibunyalah yang rela mendonorkan daun telinga. Berderai dan semakin berderailah tangis sang anak.
***
…Seperti udara kasih yang engkau berikan,, begitulah petikan syair lagu indah Iwan Fals buat sang ibu. Terasa sangat pas dengan segala kasih ibu. Kasihnya tak perlu ia ungkapkan hingga anaknya tahu. Kasihnya tak membutuhkan pengakuan apalagi penghargaan. Kasihnya bak udara. Tak terlihat, tapi ia senantiasa ada memberi hidup. Sayangnya, dari saking tak terlihatnya kasih sang ibu, kita selalu saja dibuat lupa atau bahkan –sengaja- melupakan kasih ibu. Maka, tak jarang sampai-sampai kita berani membentak, menghardir bahkan mengancam satu-satunya orang yang selalu mendekap pertama kali kala kita terbekap dingin, susah. Puncaknya, saat ibu telah kehilangan kemampuan untuk mencurahkan kasih sayangnya, ia semakin dicuekkan oleh kita. Tatkala kehadirannya dianggap hanyalah merepotkan, ibu semakin disengsarakan. Dalam titik ini ia tak ubahnya sebuah barang yang telah aus, yang layak masuk gudang. Ya, ibu sekarang telah banyak dipensiunkan, digudangkan dalam “wisma sengsara” panti jompo. Sungguh betapa kita telah gelap mata. Durhaka sedurhakanya bila kita tak mampu membalas budi kasih sang ibu, walau hanya secuil!. Karena, pada dasarnya bilapun kita kumpulkan semua klaim kebaikan balas budi kita padanya, niscaya sepanjang usia kita, tiada mampu menggenapi kasihnya. Apatah lagi kita mengacuhkannya, mencuekkannya bahkan menelantarkannya. Teganya kita.
Mungkin kalau berani mau menakar, sejatinya kekuatan terbesar makhluk ciptaan Allah adalah Ibu. Ia terlampau perkasa bila hanya disejajarkan dengan ayah. Sudah umum, bahwa kuantitas duda atau janda beranak saling bersaing. Tapi, kalau dihitung tingkat kemampuan tekanan terhadap kehidupan, janda adalah jagonya. Keradaan Duda beranak hanyalah selintasan kedipan mata. Tak beberapa lama ia akan mengeluh dan tentu ia pun segera menanggalkan kedudaannya, mencari ibu baru bagi anaknya. Namun, tidak bagi janda beranak, ia mampu bertahan dari beratnya memikul sebuah beban (bukan berarti ia tak mau kawin lagi loh!). bukankah telah santer terdengar ibu-ibu mampu berdiri kokoh sebagai single parent. Ya, hanya ibulah yang mampu mengintegralkan dua kekuatan. Sekali waktu ia mapu menjelma bak ayah bagi anaknya dan sesekali pula ia kembali ke kodratnya hakikinya sebagai ibu. Beda dengan ayah, seberapapun kuatnya kodrat ia tercipta, ia tiada akan kuat dan mampu memerankan figure seorang ibu. Maka, pantas Rasulullah menegaskan sampai tiga kali saat ditanya sahabatnya, siapakah orang yang layak dimuliakan. Ibumu, ibumu, ibumu. Lalu, ayahmu.
Dalam khazanah bangsa-bangsa di seantero duniapun betapa ibu sangat disakralkan. Ia simbol kesucian. Bahkan posisinya, saking melimpahnya kasihnya, ditempatkan sejajar bersanding tuhan. Maka, jangan kaget bila Rasulullah pernah berujar lantang, “sungguh kalau tidak karena diwajibkan menyembah Tuhan, maka manusia kuwajibkan menyembah ibu!” Kita pula patut belajar banyak dari orang India. Coba sejenak putar kembali film-film jadul India. Bukankah film jadul India tak pernah lepas dari kisah-kisah epik?!, meski alur ceritanya mudah ditebak. Ibu, dalam film jadul India digambarkan sosok suci, tak boleh sedikitpun tersakiti, walau hanya seujung kuku. Maka, jangan sekali-kali Si Antagonis berani menyentuh ibu si protagonis. Karena, ia akan segera mengundang musibah. Seolah ada kekuatan besar merasuk bila ibunya diganggu, Sang Protagonis seketika menjelma monster pembunuh yang hebat bila kehormatan ibunya dipermainkan.
Oleh karenanya, sapai kapan lagi kita menunggu meneempatkan ibu kita dalam maqom tertinggi dalam dada kita? Beruntunglah sebenar-benarnya beruntung bagi mereka yang masih diberi kesempatan ditemani ibu. Namun mereka akan celaka secela-celakanya bila keberadaan ibu di sisi tak mampu menambah hormat dan cinta kepadanya. Akankah kita menunda mengekspresikan cinta kita hingga tercerabutnya ibu kita dari sisi kita?! Jangan pernah!!!
"met hari ibu (22 Des)" jangan undang neraka dalam mulutnya!!! hati2, kata2x amat bertuahnya."
(kisah diambil dan disariceritaulangkan dari tulisan "telinga sang ibu" dalam buku "setengah isi setengah kosong", karya marpaung parlindungan. serta diperkaya dan dibumbuhikmahkan oleh penulis) Read More......
Langganan:
Postingan (Atom)