Impian Rumah Besar Buyar,
Generasi Anak Kami Terancam “Modar”
Tuanku, pemanggul amanah kami. Sudah sebelas tahun kami merenda asa tentang rumah besar dalam awang. Sudah kami percayakan proyek pembangunan ini kepada tuan, karena kami yakin dari semua tutur dan janji tuan, tuan sanggup mengemban amanah. Seluruh peluh pengorbanan telah kami abdikan untuk proyek prestisius ini. Segala harta benda pengharapan telah kami dermakan untuk membiayai ongkos proyek ini. Demi mendapatkan rumah besar kami, tempat bernaungnya kami dan anak-anak kami dalam limpahan kesejahteraan.
Tuanku, penyambung lidah kami. Sepanjang sebelas tahun lamanya kami menanti. Ternyata telah tuan ingkari. Rumah besar yang kami idamkan tak kunjung usai. Jangankan pilar dan tembok, pondamennyapun masih tuan perdebatkan dengan tukang-tukang tuan yang katanya pakar. Eker-ekeran antar kuli-kuli tuan yang konon sangat setia dan kredibel jadi menu sehari-hari. Sketsa awal proyek besar yang susah payah dikonsep akhirnya mangkrak. Apa yang telah kami korbankan, dermakan dan abdikan segalanya sia-sia. Rumah besar yang seharusnya sudah kami tempati, kini hanya tinggal angan.
Tuanku, perpanjangan tangan kami. Kini yang bisa kami lakukan hanyalah meratap menangisi rumah besar yang telah kami rindui. Kami menangisi karena anak-anak kami yang selayaknya dapat berteduh dengannya dari teriknya kehidupan kini lekang terpapar. Kami meratap sebab anak-anak kami yang seharusnya bisa terlindung dari dinginnya kenestapaan kini lapuk tersungkur. Kami sedih ketika seharusnya anak-anak kami merasa aman dari segala marabahaya kini dirundung petaka. Petaka lapar, petaka tak bisa belajar, petaka hak kerja tak terkejar, petaka harta titipannya dirampok orang kurang ajar dan petaka hak hidup sehat tak terbayar.
Tuanku, perdengarkan suara kami. Mungkin selangkah pun tuan tak pernah berkunjung ke hati kami. Maka kami maklum tuan tak bisa dengar jerit pilu kami. Tapi setidak-tidaknya tuan berkunjunglah ke bangsal-bangsal tempat anak-anak kami bertarung dengan rasa sakit yang tak mampu ditanggung. Tahukah tuan anak-anak kami terkapar di latar, lantai dan di tempat manapun yang tak wajar, karena ketidakberdayaan kami melawan tarip yang mencekik menghajar. Bahkan karena kasta kami proletar, tampang para pejawat bangsal terpasang sangar. Dengan hati teriris kami pun hengkang pulang membopoh tubuh anak-anak kami yang lunglai malang.
Maaf, kami sudah enggan menyebutmu tuan. Jangan salahkan kami jika ada satu mata rantai generasi sehat yang hilang. Tunggulah masa di mana negeri ini akan dipimpin oleh generasi cacat tak sehat sebab tak mampu bayar obat. Negeri yang akan dipimpin generasi penyakitan kurang gizi. Sekali-kali jangan, jangan salahkan kami jika kami berduyun-duyun mengerumun bocah ingusan dekil koloran, Ponari sang dukun. Bukan karena apa. Kami hanya takut masa yang ditunggu benar-benar akan tiba.
Maret 13, 2009
Surat Buat Wakil Rakyatku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar